Rabu, 14 Mei 2014

TASAWUF DAN PROBLEM KEMODERNAN PSIKOLOGIS (MAKALAH)



I.             PENDAHULUAN
Secara naluriah, manusia selalu berusaha menyandarkan hasrat kehidupannya kepada sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan absolut. Hal ini bisa terlihat dalam rentangan sejarah kehidupan mamnusia, baik pada zaman klasik sampai kepada kondisi kekinian. Pada zaman klasik, manusia banyak menyandarkan keyakinannya kepada benda-benda yang dinggap sakti, keramat dan lain sebagainya.[1] Pada zaman modern, dikarenakan rasionalitas manusia sudah mengalami kemajuan, kepercayaan seperti ini sudah tidak begitu kental berada ditengah-tengah masyarakat. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tanpa adanya ajaran agama langit yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, mereka akan berusaha membentuk sebuah keyakinan berdasarkan kemampuan, pengalaman dan ilmu yang mereka miliki.
Era modern ini juga ditandai dengan kemajuan di segala bidang pada kenyataanya malah memanjakan manusia. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat manusia menjadi malas dan tidak sehat. Padahal di sisi kehidupan manusia yang tidak bisa di gantikan dengan mesin. Manusia menjadi terasing dengan dunianya sendiri, sehingga manusia kehilangan eksistensinya sebagai manusia yang multi dimensi.[2]
Selama ini manusia modern mementingkan dimensi materialnya daripada spiritualnya. Materi ini dijadikan segalanya dalam kehidupan manusia. Bahkan segala sesuatu seperti kebahagiaan dan kesuksesan hidup yang sebenarnya lebih terkait dengan psikologi kehidupan pun juga diukur materialistik.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana hubungan tasawuf dan psikologi?
B.     Apa problem-problem psikologis di era modernitas?
C.     Bagaimana peran tasawuf dalam mengahdapi problem psikologis di era modernitas?

III.       PEMBAHASAN
A.    Hubungan Tasawuf dan Psikologi
1.      Definisi Tasawuf
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Secara etimologi arti kata Tasawuf memiliki bermacam perkiraan asal kata. Diantaranya, ada yang mengatakan tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu sophos  yang memiliki pengertian Hikmat. Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari bahasa Arab dengan berbagai macam pandangan pula. Diantaranya al-Suffah (ahl al-Suffah) orang yang ikut bersama Nabi pindah dari kota Mekka ke Madinah, saf (barisan), sufi (suci), dan suf (kain wol). Kata ahl as-Suffah misalnya, menggambarkan keadaan yang rela mencurahkan jiwa dan raga, tenaga, harta dan sebagainya hanya untuk Allah.[3]
Adapun pengertian tasawuf secara terminologi: upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari berbagai pengaruh kehidupan dunia sehingga mencerminkan akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tasawuf dapat diartikan sebagai bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Jadi, tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai islam, dengan pengertian bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh agama islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Tuhan pencipta alam semesta.
2.      Definisi Psikologi
Secara etimologi, psikologi berasal dari kata Psiko dan logos. Psiko berarti Jiwa, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi Psikologi dapat diartikan sebagai “ilmu tentang jiwa”.
Secara terminologi, menurut Wilhem Wund Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran,, perhatian, persepsi, inteligensi, kemauan, dan ingatan. Kemudian John Watson juga mempelopori pengertian psikologi yang lain yaitu Psikologi merupakan ilmu pengetahuan tentang perikaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya.[4]
Dalam wacana psikologi kontemporer, pengertian Jonh Watson inilah yang lazim di pakai, karena teori ini memandang bahwa semua organisme memiliki gejala kejiwaan. Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakikat jiwa itu tidak dapat diketahui, yang dapat diketahui hanya proses, fungsi dan kondisi kejiwaan.
Dalam kajian Psikologi Islam, sebagai induk dari cabang-cabang Ilmu psikologi dalam Islam, psikologi diartikan sebagai “Studi tentang jiwa”. Pengertian dianggap paling cocok dengan Psikologi Islam sebagai cabang ilmu mandiri yang masih berada pada proses awal dan memandang jiwa manusia sebagai jiwa yang khusus dan tidak sama dengan jiwa binatang.[5]
Jadi, psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara umum dapat dilihat dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan untuk mencapai kaidah kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif perilaku, mengenali dan memastikan gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku. Dalam percakapan sehari-hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan.
3.      Hubungan Tasawuf dan Psikoogi
Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi ini dibahas dalam psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi yang merupakan pengembangan dari psikologi humanistik yaitu yang menolak teori dan metode sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha mengembangkan potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat adikodrati dan spiritual.
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi ditemukan persamaan yaitu Persamaan konsepsi tentang potensi dasar dan perkembangan jiwa manusia.
Manusia yang sehat secara psikologis memiliki potensi yang bersifat kodrati maupun ruhaniah. Potensi ini dalam bahasa psikologi, dipandang mempunyai hubungan dengan tingkah laku psikologis, yang tercermin pada keterkaitan motivasi dengan perilaku yang ditampilkan.[6]
Dikalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hampir terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah disni adalah bahwa manusia ketika dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memilih dosa sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah.[7]
Konsep tentang fitrah, memiliki kesamaan dengan pandangan Maslow ahli psikologi humanistik, dalam perspektif Maslow, dikendalikan bukan dikendalikan bukan oleh faktor eksternal dan kekuatan tak sadar, melainkan oleh potensi manusia sendiri yang bersifat kodrati. Kemungkinan ini terjadi karena setiap manusia secara biologis dan psikologis memiliki kodrati yang tidak dapat diganti atau dihilangkan.[8] Dengan demikian, manusia memiliki peluang untuk berbuat kreatif sesuai dengan potensi kodrati yang ada dalam dirinya. Namun pada umumnya manusia hanya menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada pilihan mundur, atau kejahatan.
Menurut Maslow dalam teori motivasinya, asumsi optimistis tentang intrinsik manusia yang bersifat baik (kodrati), memandang sebagai corak biologis paling utama, yang secara umum menjadi spesies yang utuh, dan menjadi bagian individu dan unik. Ia memandang dasar atau diri ini sebagai dinamika untuk tumbuh dan beraktualisasi.[9]
Jadi, konsepsi tentang potensi dasar dan perkembangan jiwa manusia, dalam ajaran tasawuf dan psikologi mempunyai persamaan yang saling mempunyai peluang untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, dimna pilihan ini lah yang dapat merubah kondisi psikologis manusia.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri". (QS. Ar-Ra'd, 13/53).
Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan fitrahnya maka ia akan berkembang secara wajar.
B.     Problema Psikologis di Era Modern
Ketika inovasi teknologi mempunyai tempat penting dalam masyarakat, inovasi juga membawa gaya hidup yang membahayakan. Pola-pola aktivitas manusia sebagian besar berkutat disekitar wacana. Mungkin wacana berfungsi sebagai medium penting dalam hubungan yang dijalin. Karena wacana berada dalam pasar terbuka, yang ditandai oleh kekacauan dan perubahan yang menyebar dengan cepat. Maka pola-pola tindakan manusia itu akan terus terjadi selamanya.
Sebenarnya zaman modern ditandai dengan dua hal sebagai cirinya, yaitu:
a.       Penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia
b.      Berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia.[10]
Manusia modern adalah manusia yang berfikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Semestinya manusia modern lebih bijak dan arif dengan kecerdasan dan teknologi, akan tetapi dalam kenyataanya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah disbanding kemajuan teknologi yang dicapainya. Akibat dari tidak keseimbangan ini kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan.
Salah satu dertita manusia modern adalah manusia yang sudah kehilangan makna seperti ‘manusia dalam kerangkeng’. Ia resah setiap kali harus mengambil keputusan, ia tidak tahu apa yang diinginkan. Para sosiolog menyebutnya sebagai gejala keterasingan alienasi[11], yang disebabkan oleh:
a.       Perubahan sosial yang berlangsung cepat
b.      Hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi yang gersang
c.       Lembaga tradisional sudah berubah menjadi lembaga rasional
d.      Masyarakat yang homogen sudah berubah menjadi heterogen
e.       Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial.[12]
Begitulah manusia modern, ia melakukan sesuatu bukan karena ingin melakukannya, tetapi karena merasa orang lain menginginkan agar ia melakukannya. Ia sibuk meladeni keinginan orang lain sampai ia lupa kehendak sendiri.
Gangguan Kejiwaan Manusia Modern
Sebagai akibat problema moderinitas yang telah disebutkan maka manusia modern mengidap gangguan kejiwaan antara lain:
a.      Kecemasan
Perasaan cemas yang diderita manusia modern bersumber dari hilangnya makna hidup. Sebagaimana fitrah manusia memiliki kebutuhan akan makna hidup. Makna hidup dimiliki seseorang manakala ia memiliki kejujuran dan merasa hidupnya dibutuhkan oleh orang lain dan telah mengerjakan sesuatu yang bermakna untuk orang lain.[13]
Sebagai contoh para pejuang yang memiliki dedikasi tinggi untuk apa yang ia perjuangkannya, ia sanggup berkorban, bahkan korban jiwa sekalipun. Meskipun yang dilakukan pejuang itu untuk kepentingan orang lain tetapi dorongan untuk berjuang lahir dari diri sendiri bukan untuk memuaskan orang lain.
Adapun manusia modern justru tidak memiliki makna hidup, karena mereka tidak memiliki prinsip hidup. Segala yang dilakukannya adalah mengikuti trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan tuntutan sosial belum tentu berprinsip yang mulia. Sehingga ia diperbudak untuk melayani perubahan. Karena merasa hidupnya tidak bermakna, tidak ada dedikasi dalam perbuatannya, maka ia dilanda kegelisahan dan kecemasan yang berkepanjangan.
b.      Kesepian
Sebagai akibat dari hubungan manusia yang gersang, di kalangan masyrakat modern yang tidak lagi tulus dan hangat. Manusia modern ini merasa sepi, meski ia berada ditengah keramaian. Ini disebabkan karena semua manusia modern menggukan topeng-topeng sosial untuk menutupi wajah kepribadiannya.
c.       Kebosanan
Karena hidup tidak lagi bermakna, dan hubungan dengan manusia lain terasa hambar krena ketiadaan ketulusan hati, kecemasan yang selalu menganggu jiwanya dan kesepian yang berkepanjangan, menyebabkan gangguan kejiawaan yang berupa kebosanan.
Kecemasan dan kesepian yang berkepanjangan akhirnya membuat bosan, bosan kepada kepura-puraan, kepada kepalsuan, akan tetapi tidak tahu harus melakukan apa untuk menghilangkan kebosanan tersebut.
d.      Perilaku Menyimpang
Kecemasan, kesepian dan kebosanan yang diderita berkepanjangan menyebabkan seorang tidak tahu persis apa yang harus dilakukan. Dalam keadaan jiwa yang kosong dan rapuh ini seseorang tidak mampu berfikir jauh. Maka yang terjadi mudah sekali diajak atau dipengaruhi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan meskipun perbuatan itu menyimpang dari norma-norma moral. Misalnya terpengaruh dengan obat-obat terlarang.
e.       Psikosomatik
Gangguan psikosomatik adalah gangguan jiwa yang dimanifestasikan pada gangguan susunan saraf vegetatif yang sebagian besar disebabkan oleh permusuhan,depresi, dan kecemasan dalam berbagai proporsi. Gangguan ini menggambarkan interaksi yang erat antara jiwa (psycho) dan badan (soma).[14] Psikosomatik adalah gangguan fisik yang disebabkan oleh factor-faktor kejiwaan dan sosial. Seseorang jika emosinya menumpuk dan memuncak maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya goncangan dan kekacauan dalam dirinya.
Penderita psikosomatik biasanya selalu mengeluh merasa tidak enak badan, jantungnya berdebar-debar, merasa lemah dan tidak bisa konsentrasi. Wujudd psikosomatik bisa dalam bentuk syndrom, trauma, stress, ketergantungan pada obat penenang/alkohol/narkotika atau perilaku menyimpang.[15]
Jadi, psikosomatik dapat disebut sebagai penyakit gabungan fisik dan mental. Yang sakit sebetulnya jiwanya tapi menjelma dalam bentuk sakit fisik.

C.    Peran Tasawuf dalam Menghadapi Problema Psikologis
Sudah sejak awal bahwa tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub ila Allah). Akan tetapi, ini menunjukkan betapa kita pada saat ini masih jauh dari-Nya, karena kita sekarang hidup di perantauan jauh dari asal dan tempat kembali kita yang sejati.
Tasawuf bukan hanya menyadarkan kita akan keterpisahan dari sumber dan  tempat kembali kita yang sejati. Tetapi juga sekaligus menjelaskan kepada kita dari mana kita berasal dan kemana kita akan kembali. Dengan demikian tasawuf member kita arah dalam hidup kita.
Dari ajaran para sufi, kita jadi paham bahwa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual, di samping fisiknya, yang memiliki asal-usul spiritualnya pada Tuhan. Dengan menyadari betapa manusia itu juga makhluk spiritual, maka lebih mungkin kita akan bertindak lebih bijak dan seimbang dalam memperlakukan diri kita. Dengan memperhatikan kesejahteraan, kebersihan dan kesehatan jiwa.[16]
Dalam menjawab problema psikologis, tasawuf mengajarkan tentang hidup bahagia. Hidup bahagia haruslah hidup sehat, karena orang yang tidak sehat alias sakit mungkin sekali tidak bahagia. Hidup sehat meliputi fisik dan jiwa.

1.      Kesehatan Fisik
Kesehatan fisik dalam ajaran tasawuf tergantung pada makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi harus sehat dan halal. Makanan dan minuman yang tidak sehat dapat menimbulkan penyakit, dan yang haram dapat mendorong kepada pembentukan karakter yang buruk merupakan cermin jiwa yang tidak sehat.[17]
Makanan haram bukan hanya babi dan minuman yang haram. Tetapi juga penghasilan yang diperoleh dengan cara haram, seperti hasil curian dan korupsi.
Selain sehat dan halal, dalam tasawuf makanan dianjurkan lebih banyak sayur-sayuran dan buah-buahan, serta sebaiknya tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging, karena daging dapat membentuk karakter yang keras, padahal kita dianjurkan bersikap lemah lembut kepada sesama makhluk lainnya.[18]
Mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan juga sejalan dengan gerakan kembali ke alam (back to nature).
2.      Kesehatan Jiwa
Selain makanan dan minuman, ibadah seperti shalat, puasa dan dzikir juga ikut berpengaruh terhadap kesehatan fisik maupun jiwa. Shalat selain untuk beribadah ataupun melatih jiwa juga terdiri atas beberapa posisi tubuh yang masing-masing berdampak positif bagi kesehatan.
Misalnya sujud, dengan posisi ini lutut yang membentuk sudut yang tepat memungkinkan otot-otot perut berkembang dan mencegah timbulnya kegembyoran di bagian tengah, menambah aliran darah ke bagian atas tubuh terutama kepala (termasuk mata, telinga dan hidung) dan juga paru-paru.
Selain shalat, puasa juga mengandung manfaat bagi kesehatan. Puasa adalah berpantang dari makanan, minuman dan berhubungan seks mulai dari waktu imsak sampai maghrib.
Dengan berpuasa, maka fungsi-fungsi tubuh diistirahatkan dan diberi peluang untuk segar kembali. Selama berpuasa kegiatan yang biasa dalam pencernaan dikurangi, sehingga memungkinkan tubuh untuk mengeluarkan bahan-bahan yang tidak berguna serta memperbaiki kerusakan akibat kesalahan pola makan yang berlangsung lama.
Ibadah lain yang berdampak positif terhadap kesehatan adzikir. Dzikir berarti mengingat, menyebut atau mengagungkan Allah dengan mengulang-ngulang salah satu namanya atau kalimat keagungannya.[19]
Dengan dzikir, pikiran dan perasaan dapat menjadi tenang, sehingga orang akan hidup sehat, terhindar dari penyakit-penyakit yang biasa timbul dari gangguan jiwa, seperti stress.
Dzikir juga akan membentuk akselerasi mulai dari renungan, sikap, aktualisasi sampai memperhatikan alam. Dzikir berfungsi untuk memantapkan hati, energi akhlak, terhindar dari bahaya dan terapi jiwa yang semua fungsi tersebut sangat diperlukan oleh manusia sekarang ini yang cenderung sekuler.

IV.       KESIMPULAN
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai islam, pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh agama islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Tuhan pencipta alam semesta.
Maka dari itu tasawuf sangat berperan penting dalam mengatasi problem psikologis yang terjadi di era modern ini, yang sudah kehilangan makna yang disebut keterasingan (alienasi) yang disebabkan oleh: Perubahan sosial yang berlangsung cepat, Hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi yang gersang, Lembaga tradisional sudah berubah menjadi lembaga rasional, Masyarakat yang homogen sudah berubah menjadi heterogen, Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial.
Dari problem tersebut, tasawuf menawarkan agar manusia modern kembali pada yang sejati, sebagai fitrah manusia sejak lahir yang dibekali nilai-nilai rohani atau spiritual dengan memperhatikan kesejahteraan, kebersihan dan kesehatan jiwa.

V.          PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.



DAFTAR PUSTAKA
Graham, Heleb, Psikologi Humanistik (Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Sejarah), cet.1, Terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/03/11/gangguan-psikosomatik/ di unduh pada pukul 22.15 WIB. Tanggal 14 Mei 2014.
http://jannastudi.blogspot.com/2013/10/konsep-alienasi-keterasingan-karl-marx.html di unduh pada pukul 21.36 WIB. Tanggal 14 Mei 2014.
Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
Khadziq, Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, cet.1, Semarang: RaSAIL, 2005.
Madjid, Nurcholis, dkk, Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMaN dan Penerbit Hikmah, 2002.
Mujib, Abdul CS, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Edisi 1 Cet.2., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Edisi. 1 Cet. 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Suratman, Junizar, Spiritualitas dan Radikalisme dalam Perspektif Filsafat Agama, Padang: Puslit Press, 2011.
Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003.


[1] Dalam kajian antropologi Manusia, ada beberapa kepercayaan sebagai bentuk pelampiasan hasrat bertuhannya manusia.  Kepercayaan tersebut dikelompokkan pada beberapa kelompok yaitu : (1) Dinamisme, yaitu agama pada masyarakat primitif yang percaya keapada kekuatan (magic) yang terdapat pada benda-benda yang di anggap keramat, (2) Animisme, yaitu kepercayaan kepada roh-roh, (3) politeisme, yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa. Ketiga kelompok agama ini digolongkan kepada agama yang dianut oleh masyarakat primitif. Lihat: Junizar Suratman, Spiritualitas dan Radikalisme dalam Perspektif Filsafat Agama, Padang: Puslit Press, 2011, hal. 12-13.
[2] Pada dasarnya manusia mempunyai dua dimensi yaitu rohani dan jasmani. Tubuh (jasmani) manusia berasal dari materi dan mempunyai kebutuhan meteriil. Sedangkan rohani manusia bersifat immateri dan mempunyai kebutuhan spiritual. Lihat: Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 30.
[3]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Edisi. 1 Cet. 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 179-180.
[4] Abdul Mujib CS, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Edisi 1 Cet.2., Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 1-2.
[5] Ibid., hal. 3.
[6] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, hal. 58.
[7] http://lutfisayonk.blogspot.com/2013/03/tasawuf-dan-psikologi.html
[8] Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, New York: Van Nostrand Reinhold Company, 1968, hal. 3. Dalam buku: Abdullah Khadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, cet.1, Semarang: RaSAIL, 2005, hal. 193-194.
[9] Heleb Graham, Psikologi Humanistik (Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Sejarah), cet.1, Terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 86.
[10] Nurcholis Madjid, dkk, Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMaN dan Penerbit Hikmah, 2002, hal. 167.
[11] Konsep alienasi atau keterasingan yang lahir dari pemikiran Karl Marx adalah muncul akibat adanya kapitalisme yang mengguncang Eropa pasca revolusi industri. Alienisasi adalah hasil dari eksploitasi Kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikanya sebagai modal. Alienasi atau Keterasingan terjadi jika semakin banyaknya modal terkumpul untuk Kapitalis, dan semakin miskin pula si Buruh akibat dari hasil eksploitasi si kapitalis.
Lihat: http://jannastudi.blogspot.com/2013/10/konsep-alienasi-keterasingan-karl-marx.html di unduh pada pukul 21.36 WIB. Tanggal 14 Mei 2014.
[12] Nurcholis Madjid, dkk, op.cit., hal. 168-169.
[13] Ibid., hal. 171.
[15] Nurcholis Madjid, dkk, op.cit., hal. 174.
[16] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal. 272.
[17] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003, hal. 29.
[18] Ibid., hal. 30.
[19] Ibid., hal. 39.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar