Definisi jiwa
Dalam diri manusia adanya sesuatu yang bertentangan dengan
perbuatan fisik dan bagian-bagian tubuh, baik detail maupun karakteristiknya,
sementara sesuatu tersebut mempunyai perbuatanya sendiri yang bertentangan dengan perbuatan tubuh dan
karakteristiknya, sehingga dalam satu dan lain hal tidak bisa berada
bersama-sama dengannya, serta ditemukan bahwa sesuatu tersebut sangat berbeda
pula dengan bentuk-bentuk (‘aradh).
Jiwa adalah berbeda dengan tubuh dan bentuk, sedangkan tubuh dan
bentuk itu adalah bentuk, maka dari itu jiwa bukanlah tubuh, bukan pula bagian
dari tubuh, dan bukan pula bentuk. Jadi, jiwa adalah sesuatu yang tidak bisa
berganti-ganti dan tidak bisa pula berubah-ubah, dan ia mengetahui sesuatu
dalam drajat yang sama, tidak pernah menyusut, tidak pernah melemah, dan tidak
pernah berkurang.
Jiwa seluruhnya memiliki bentuk-bentuk yang sempurna, tidak
bergeser dan berubah, dan tetap memiliki bentuk yang pertama secara penuh dan
sempurna. Ciri khas jiwa ini sangat kontradiktif dengan ciri khas tubuh. Kalau
tubuh dapat menerima bentuk lain selain bentuknya yang pertama. Atas dasar ini,
maka manusia selalu mengalami peningkatan pemahaman, manakala ia terus
berlatih, lalu memproduk berbagai ilmu dan pengetahuan. Dari situ jelas bahwa,
jiwa bukan tubuh!
Tubuh dan fakultas-fakultasnya dapat mengetahui ilmu-ilmu hanya
dengan indera. Tubuh mendambakannya melalui kontak, seperti pada kenikmatan
jasadi, keinginan balas dendam dan ego untuk menang. Jadi tubuh menerima setiap
apa yang ditangkap indera. Maka dari itu, tubuh senang pada jiwa. Tubuh juga
berhasrat pada jiwa. Karena jiwa yang melengkapi kesempurnaan eksistensi tubuh,
meningkatkan dan menopang tubuh.
Entitas jiwa ini semakin jauh dari hal-hal jasadi, semakin sempurna
dan bebas dari indera, maka semakin kuatlah dan sempurna jiwa, dan semakin
mampu ia memiliki penilaian yang benar dan semakin ia menangkap Mu’qalat[1]
yang simple. Jadi, subtansi jiwa lebih mulia dan tabiat yang lebih tinggi
daripada semua benda di alam ini.
Secara garis besar, jiwa dapat mengetahui bahwa indera benar atau
salah, maka pengetahuannya ini bukan dari indera. Karena jiwa mengetahui bahwa
dirinya memahami mu’qulat-nya sendiri, ia mengetahui bukan dari sumber
lain. Dengan begitu, jiwa itu tahu karena jiwa tidak pernah membutuhkan sesuatu
yang lain untuk mengetahui sesuatu, kecuali dirinya sendiri. Dan itu berarti,
jiwa itu tahu, karena jiwa memang mengetahui dari esensi dan substansinya
sendiri yaitu akal. Untuk itu, bisa disimpulkan bahwa akal, yang berfikir (‘akil),
serta obyek yang difikirkan (ma’kul).
Kebajikan jiwa dan kendala untuk mencapainya
Dengan demikian, dari pembahasan diatas jelas bahwa jiwa bukan
tubuh, bukan bagian dari tubuh, bukan pula keadaan dalam tubuh, tetapi sesuatu
yang lain dengan tubuh, baik dari segi substansinya, penilaiannya, sifat-sifat
serta tingkah lakunya.
Kecenderungan jiwa pada perilakunya sendiri, maksudnya adalah pada
ilmu pengetahuan dan berpalingnya dari tingkah laku tubuh, merupakan kebajikan
atau keutamaannya. Oleh karena itu, keutamaan seseorang di ukur dengan sejauh
mana dia mengupayakan kebajikan. Kendala untuk mencapai keutamaan ini adalah
apa saja yang sifatnya badani, indrawi, serta yang berhubungan dengan keduanya.
Sedangkan keutamaan-keutamaan itu sendiri tidak mungkin bisa kita capai,
kecuali setelah kita suci dari perbuatan-perbuatan keji.
Kebaikan dan kejahatan
Factor-faktor yang berkaitan dengan manusia terbagi menjadi dua
bagian. Yaitu, kebaikan dan kejelekan. Karena berkat tujuan keberadaan manusia
, maka individu yang memfokuskan dirinya pada tujuan itu, hingga dia
mencapainya, di namakan orang yang baik dan bahagia. Adapun orang yang
membiarkan dirinya dihalangi darinya, maka dia di sebut orang yang keji dan
sengsara. Dengan begitu, kebaikan merupakan hal yang dapat di capai oleh
manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan
dengan tujuan di ciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan hal yang
menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan.
Empat kebajikan pokok dan perbuatan jahat
Para filosof bahwa
jenis-jenis keutamaan manusia ini ada empat: arif, sederhana, berani, dan
adil. Untuk itulah, maka seseorang tidak akan merasa bangga kecuali pada
keutamaan-keutamaan ini. Satu dari empat kebajikan ini di katakana di miliki
oleh seseorang dan terpuji karenanya hanya bila kebajikan itu hanya di rasakan
atau sampai pada orang lain. Akan tetapi jika kebajikan itu hanya ada pada
dirinya, ia pun tidak layak di sebut bajik, dan namanya pun berubah. Maka,
murah hati, bila tidak di rasakan orang lain, di sebut boros, dan begitu pula
berani, di sebut angkuh. Kebalikan dari keempat keutamaan ini adalah bodoh,
rakus, penecut, dan lalim.
Bagian-bagian dari kearifan
a.
Pandai
(al-dzaka) merupakan cepat mengembangkan kesimpulan-kesimpulan, serta
mudahnya kesimpulan-kesimpulan itu di pahami oleh jiwa.
b.
Ingat
(al-dzikru) adalah menetapnya gambaran tentang apa yang telah di cerap
jiwa, atau imajinasi.
c.
Berpikir
(al-ta’aqul) adalah upaya mencocokkan obyek-obyek yang di kaji oleh jiwa
dengan keadaan sebenarnya dari obyek-obyek ini.
d.
Kejernihan
pikiran (shafau al-dzihni) merupakan kesiapan jiwa untuk menyimpulkan
apa saja yang di kehendaki.
e.
Ketajaman
dan kekuatan otak (jaudat al-dzihni) adalah kemampuan jiwa untuk
merenungkan pengalaman yang telah lewat.
f.
Kemampuan
belajar dengan mudah (suhulat al-ta’allum) adalah kekuatan jiwa serta
ketajaman dalam memahami sesuatu, yang dengan kemampuan ini maka dapat di
pahami masalah-masalah teoretis.
Bagian-bagian
sikap sederhana
a.
Rasa
malu (al-haya) adalah tindakan menahan diri karena takut melakukan
hal-hal yang tidak senonoh, dan kehati-hatian menghindari celaan dan hinaan.
b.
Tenang
(al-da’at) adalah kemampuan seseorang untuk menguasai dirinya ketika di
landa gejolak hawa nafsu.
c.
Sabar
adalah tegarnya diri terhadap gempuran hawa nafsu, sehingga tidak terjebak
busuknya kenikmatan duniawi.
d.
Dermawan
(al-sakha’) adalah kecenderungan untuk berada di tengah untuk member
e.
Intregitas
adalah kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencari harta di jalan yang benar.
f.
Puas
(al-qana’ah) adalah tidak berlebihan dalam makan, minum, dan berhias.
g.
Loyal
(al-damatsah) adalah sikap jiwa yang tunduk pada hal-hal yang terpuji, serta
bersemangat mencapai kebaikan.
h.
Berdisiplin
diri adalah kondisi jiwa yang membuat jiwa menilai segalanya dengan benar dan
menatanya dengan benar.
i.
Optimis
(husn al-huda) merupakan keinginan melengkapi jiwa dengan moral yang
mulia.
j.
Kelembutan
(al-musalamah) adalah lembut hati yang sampai ke jiwa dari watak yang
bebas dari kegelisahan.
k.
Anggun
berwwibawa (al-wiqar) adalah ketegaran jiwa dalam menghadapi gejolak
tuntutan duniawi.
l.
Wara’
merupakan pencetakan diri agar senantiasa berbuat baik, sehingga mencapai
kesempurnaan jiwa.
Bagian-bagian dari berani
a.
Tegar
(al-najdah) merupakan kepercayaan diri dalam menghadapi hal-hal yang
menakutkan, hingga pemilik sikap ini tidak di landa kegelisahan.
b.
Ulet
(‘azam al-himmah) merupakan kebajikan jiwa, yang membuat orang bahagia
akibat bersungguh-sungguh.
c.
Tenang
merupakan kebajikan jiwa. Dengan kebajikan ini seseorang menjadi tenang dalam
menghadapi nasib baik dan nasib buruk.
d.
Tabah
merupakan kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencapai ketenangan jiwa, tidak
mudah di rasuki bisikan-bisikan yang
mendorongnya melakukan kejahatan.
e.
Menguasai
diri terlihat pada waktu berselisih.
f.
Perkasa
adalah berkemauan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dengan harapan
mendapatkan reputasi yang baik.
g.
Ulet
dalam bekerja (ihtimal al-kaddi) adalah kekuatan jiwa yang menggunakan
organ tubuh demi kebaikan melalui praktik dan kebiasaan yang baik.
Bagian-bagian dari dermawan
a.
Murah
hati (al-karam) merupakan kecenderungan untuk mudah menginfakkan
hartanya di jalan yang berhubungan dengan hal-hal yang agung dan banyak
manfaatnya.
b.
Mementingkan
orang lain (al-itsar) adalah menahan diri dari yang diingininya, demi
memberikannya kepada orang lain yang menurut hematnya lebih berhak.
c.
Rela
(al-nail) adalah bergembira hati dalam berbuat baik dan suka pada perbuatan
itu.
d.
Berbakti
(al-muwasah) adalah menolong teman atau orang yang berhak ditolong, dan
member mereka uang dan makanan.
e.
Tangan
terbuka (al-salamah) adalah membelanjakan sebagian dari apa yang tidak
boleh dibelanjakan.
f.
Pengampunan
adalah membatalkan bagian dari apa yang seharusnya.
Bagian-bagian dari Adil
a.
Bersahabat
(al-shadaqah) adalah cinta yang tulus, yang menyebabkan orang
memperhatikan masalah-masalah sahabatnya dan berbuat baik untuknya.
b.
Sedang
bersemangat sosial (al-ulfah) adalah berupaya seragam dalam pendapat dan
keyakinan. Semangat gotong royong dan saling menolong dalam mengatur kehidupan
terkandung dalam bersemangat sosial ini.
c.
Silaturrahmi
adalah berbagi kebaikan duniawi kepada kerabat dekat.
d.
Member
imbalan (mukafa’ah) adalah mmbalas kebaikan sesuai dengan kebaikan yang
diterima, atau malah lebih.
e.
Baik
dalam bekerja sama (husn al-syarikah) mengambil dan memberi (take
and give) dalam berbisnis dengan adil dan sesuai dengan kepentingan
pihak-pihak yang bersangkutan.
f.
Kejelian
dalam memutuskan persoalan (husn al-qadha) adalah tepat dan adil dalam
memutuskan persoalan, tanpa diiringi rasa menyesal dan mengungkit-ungkit[2].
g.
Cinta
(tawaddu) adalah mengharapkan cinta dari mereka yang dianggap telah
merasa puas dengan cara hidup yang dicapainya.
h.
Beribadah
adalah menggunakan Asma Ilahi Ta’ala, memuji-Nya, patuh dan tunduk pada-Nya,
dan menghormati para “pembela-pembela”-Nya. Disebut juga mengikuti perintah
syariat.
i.
Takwa
pada Allah adalah puncak dan kesempurnaan faktor-faktor di atas.
Kebajikan dalam etika merupakan titik tengah antara dua ujung, dan
dalam hal ini ujung-ujung itu merupakan keburukan-keburukan. Kebajikan adalah
titik tengah, karena letaknya di antara dua kehinaan dan pada posisi yang
paling jauh dari dua kehinaan itu. Karena itu, jika kebajikan bergeser sedikit
saja dari posisinya, lalu ke posisi paling rendah, maka kebajikan itu mendekati
salah satu kehinaan, dan menjadi kurang nilainya.
Para filosof berpendapat: Menembak satu titik sasaran dengan tepat
lebih sulit ketimbang melencenginya, dan mempertahankan agar selamanya tembakan
itu tepat akan lebih sulit lagi. Karena ujung-ujung yang disebut kehinaan,
dipandang sebagai kehinaan, dipandang dari segi tindakan, keadaan, waktu, atau
dari segi lainnya. Maka dari itu sebab-sebab kejelekan lebih banyak daripada
sebab-sebab kebaikan. Karena itu, kita harus mencari titik tengah dari semua
sebab-sebab kejelekan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Miskawaih, Abu Ali Akhmad, Menuju Kesempurnaan Akhlak, diterjmahkan
dari Tahdzib Al-Akhlaq, Bandung: Penerbit Mizan, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar