Kamis, 03 Juli 2014

IBN MISKAWAIH (PRINSIP-PRINSIP ETIKA: JIWA DAN FAKULTAS-FAKULTASNYA; KEBAIKAN DAN KEBAHAGIAAN; KEBAJIKAN DAN KEJAHATAN)



Definisi jiwa
Dalam diri manusia adanya sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan fisik dan bagian-bagian tubuh, baik detail maupun karakteristiknya, sementara sesuatu tersebut mempunyai perbuatanya sendiri  yang bertentangan dengan perbuatan tubuh dan karakteristiknya, sehingga dalam satu dan lain hal tidak bisa berada bersama-sama dengannya, serta ditemukan bahwa sesuatu tersebut sangat berbeda pula dengan bentuk-bentuk (‘aradh).
Jiwa adalah berbeda dengan tubuh dan bentuk, sedangkan tubuh dan bentuk itu adalah bentuk, maka dari itu jiwa bukanlah tubuh, bukan pula bagian dari tubuh, dan bukan pula bentuk. Jadi, jiwa adalah sesuatu yang tidak bisa berganti-ganti dan tidak bisa pula berubah-ubah, dan ia mengetahui sesuatu dalam drajat yang sama, tidak pernah menyusut, tidak pernah melemah, dan tidak pernah berkurang.
Jiwa seluruhnya memiliki bentuk-bentuk yang sempurna, tidak bergeser dan berubah, dan tetap memiliki bentuk yang pertama secara penuh dan sempurna. Ciri khas jiwa ini sangat kontradiktif dengan ciri khas tubuh. Kalau tubuh dapat menerima bentuk lain selain bentuknya yang pertama. Atas dasar ini, maka manusia selalu mengalami peningkatan pemahaman, manakala ia terus berlatih, lalu memproduk berbagai ilmu dan pengetahuan. Dari situ jelas bahwa, jiwa bukan tubuh!
Tubuh dan fakultas-fakultasnya dapat mengetahui ilmu-ilmu hanya dengan indera. Tubuh mendambakannya melalui kontak, seperti pada kenikmatan jasadi, keinginan balas dendam dan ego untuk menang. Jadi tubuh menerima setiap apa yang ditangkap indera. Maka dari itu, tubuh senang pada jiwa. Tubuh juga berhasrat pada jiwa. Karena jiwa yang melengkapi kesempurnaan eksistensi tubuh, meningkatkan dan menopang tubuh.
Entitas jiwa ini semakin jauh dari hal-hal jasadi, semakin sempurna dan bebas dari indera, maka semakin kuatlah dan sempurna jiwa, dan semakin mampu ia memiliki penilaian yang benar dan semakin ia menangkap Mu’qalat[1] yang simple. Jadi, subtansi jiwa lebih mulia dan tabiat yang lebih tinggi daripada semua benda di alam ini.
Secara garis besar, jiwa dapat mengetahui bahwa indera benar atau salah, maka pengetahuannya ini bukan dari indera. Karena jiwa mengetahui bahwa dirinya memahami mu’qulat-nya sendiri, ia mengetahui bukan dari sumber lain. Dengan begitu, jiwa itu tahu karena jiwa tidak pernah membutuhkan sesuatu yang lain untuk mengetahui sesuatu, kecuali dirinya sendiri. Dan itu berarti, jiwa itu tahu, karena jiwa memang mengetahui dari esensi dan substansinya sendiri yaitu akal. Untuk itu, bisa disimpulkan bahwa akal, yang berfikir (‘akil), serta obyek yang difikirkan (ma’kul).
Kebajikan jiwa dan kendala untuk mencapainya
Dengan demikian, dari pembahasan diatas jelas bahwa jiwa bukan tubuh, bukan bagian dari tubuh, bukan pula keadaan dalam tubuh, tetapi sesuatu yang lain dengan tubuh, baik dari segi substansinya, penilaiannya, sifat-sifat serta tingkah lakunya.
Kecenderungan jiwa pada perilakunya sendiri, maksudnya adalah pada ilmu pengetahuan dan berpalingnya dari tingkah laku tubuh, merupakan kebajikan atau keutamaannya. Oleh karena itu, keutamaan seseorang di ukur dengan sejauh mana dia mengupayakan kebajikan. Kendala untuk mencapai keutamaan ini adalah apa saja yang sifatnya badani, indrawi, serta yang berhubungan dengan keduanya. Sedangkan keutamaan-keutamaan itu sendiri tidak mungkin bisa kita capai, kecuali setelah kita suci dari perbuatan-perbuatan  keji.
Kebaikan dan kejahatan
Factor-faktor yang berkaitan dengan manusia terbagi menjadi dua bagian. Yaitu, kebaikan dan kejelekan. Karena berkat tujuan keberadaan manusia , maka individu yang memfokuskan dirinya pada tujuan itu, hingga dia mencapainya, di namakan orang yang baik dan bahagia. Adapun orang yang membiarkan dirinya dihalangi darinya, maka dia di sebut orang yang keji dan sengsara. Dengan begitu, kebaikan merupakan hal yang dapat di capai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan di ciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan hal yang menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan.
Empat kebajikan pokok dan perbuatan jahat
            Para filosof bahwa jenis-jenis keutamaan manusia ini ada empat: arif, sederhana, berani, dan adil. Untuk itulah, maka seseorang tidak akan merasa bangga kecuali pada keutamaan-keutamaan ini. Satu dari empat kebajikan ini di katakana di miliki oleh seseorang dan terpuji karenanya hanya bila kebajikan itu hanya di rasakan atau sampai pada orang lain. Akan tetapi jika kebajikan itu hanya ada pada dirinya, ia pun tidak layak di sebut bajik, dan namanya pun berubah. Maka, murah hati, bila tidak di rasakan orang lain, di sebut boros, dan begitu pula berani, di sebut angkuh. Kebalikan dari keempat keutamaan ini adalah bodoh, rakus, penecut, dan lalim.
Bagian-bagian dari kearifan
a.       Pandai (al-dzaka) merupakan cepat mengembangkan kesimpulan-kesimpulan, serta mudahnya kesimpulan-kesimpulan itu di pahami oleh jiwa.
b.      Ingat (al-dzikru) adalah menetapnya gambaran tentang apa yang telah di cerap jiwa, atau imajinasi.
c.       Berpikir (al-ta’aqul) adalah upaya mencocokkan obyek-obyek yang di kaji oleh jiwa dengan keadaan sebenarnya dari obyek-obyek ini.
d.      Kejernihan pikiran (shafau al-dzihni) merupakan kesiapan jiwa untuk menyimpulkan apa saja yang di kehendaki.
e.       Ketajaman dan kekuatan otak (jaudat al-dzihni) adalah kemampuan jiwa untuk merenungkan  pengalaman yang telah lewat.
f.       Kemampuan belajar dengan mudah (suhulat al-ta’allum) adalah kekuatan jiwa serta ketajaman dalam memahami sesuatu, yang dengan kemampuan ini maka dapat di pahami masalah-masalah teoretis.

Bagian-bagian sikap sederhana
a.       Rasa malu (al-haya) adalah tindakan menahan diri karena takut melakukan hal-hal yang tidak senonoh, dan kehati-hatian menghindari celaan dan hinaan.
b.      Tenang (al-da’at) adalah kemampuan seseorang untuk menguasai dirinya ketika di landa gejolak hawa nafsu.
c.       Sabar adalah tegarnya diri terhadap gempuran hawa nafsu, sehingga tidak terjebak busuknya kenikmatan duniawi.
d.      Dermawan (al-sakha’) adalah kecenderungan untuk berada di tengah untuk member
e.       Intregitas adalah kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencari harta di jalan yang benar.
f.       Puas (al-qana’ah) adalah tidak berlebihan dalam makan, minum, dan berhias.
g.      Loyal (al-damatsah) adalah sikap jiwa yang tunduk pada hal-hal yang terpuji, serta bersemangat mencapai kebaikan.
h.      Berdisiplin diri adalah kondisi jiwa yang membuat jiwa menilai segalanya dengan benar dan menatanya dengan benar.
i.        Optimis (husn al-huda) merupakan keinginan melengkapi jiwa dengan moral yang mulia.
j.        Kelembutan (al-musalamah) adalah lembut hati yang sampai ke jiwa dari watak yang bebas dari kegelisahan.
k.      Anggun berwwibawa (al-wiqar) adalah ketegaran jiwa dalam menghadapi gejolak tuntutan duniawi.
l.        Wara’ merupakan pencetakan diri agar senantiasa berbuat baik, sehingga mencapai kesempurnaan jiwa.
Bagian-bagian dari berani
a.       Tegar (al-najdah) merupakan kepercayaan diri dalam menghadapi hal-hal yang menakutkan, hingga pemilik sikap ini tidak di landa kegelisahan.
b.      Ulet (‘azam al-himmah) merupakan kebajikan jiwa, yang membuat orang bahagia akibat bersungguh-sungguh.
c.       Tenang merupakan kebajikan jiwa. Dengan kebajikan ini seseorang menjadi tenang dalam menghadapi nasib baik dan nasib buruk.
d.      Tabah merupakan kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencapai ketenangan jiwa, tidak mudah di rasuki  bisikan-bisikan yang mendorongnya melakukan kejahatan.
e.       Menguasai diri terlihat pada waktu berselisih.
f.       Perkasa adalah berkemauan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dengan harapan mendapatkan reputasi yang baik.
g.      Ulet dalam bekerja (ihtimal al-kaddi) adalah kekuatan jiwa yang menggunakan organ tubuh demi kebaikan melalui praktik dan kebiasaan yang baik.
Bagian-bagian dari dermawan
a.       Murah hati (al-karam) merupakan kecenderungan untuk mudah menginfakkan hartanya di jalan yang berhubungan dengan hal-hal yang agung dan banyak manfaatnya.
b.      Mementingkan orang lain (al-itsar) adalah menahan diri dari yang diingininya, demi memberikannya kepada orang lain yang menurut hematnya lebih berhak.
c.       Rela (al-nail) adalah bergembira hati dalam berbuat baik dan suka pada perbuatan itu.
d.      Berbakti (al-muwasah) adalah menolong teman atau orang yang berhak ditolong, dan member mereka uang dan makanan.
e.       Tangan terbuka (al-salamah) adalah membelanjakan sebagian dari apa yang tidak boleh dibelanjakan.
f.       Pengampunan adalah membatalkan bagian dari apa yang seharusnya.
Bagian-bagian dari Adil
a.       Bersahabat (al-shadaqah) adalah cinta yang tulus, yang menyebabkan orang memperhatikan masalah-masalah sahabatnya dan berbuat baik untuknya.
b.      Sedang bersemangat sosial (al-ulfah) adalah berupaya seragam dalam pendapat dan keyakinan. Semangat gotong royong dan saling menolong dalam mengatur kehidupan terkandung dalam bersemangat sosial ini.
c.       Silaturrahmi adalah berbagi kebaikan duniawi kepada kerabat dekat.
d.      Member imbalan (mukafa’ah) adalah mmbalas kebaikan sesuai dengan kebaikan yang diterima, atau malah lebih.
e.       Baik dalam bekerja sama (husn al-syarikah) mengambil dan memberi (take and give) dalam berbisnis dengan adil dan sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan.
f.       Kejelian dalam memutuskan persoalan (husn al-qadha) adalah tepat dan adil dalam memutuskan persoalan, tanpa diiringi rasa menyesal dan mengungkit-ungkit[2].
g.      Cinta (tawaddu) adalah mengharapkan cinta dari mereka yang dianggap telah merasa puas dengan cara hidup yang dicapainya.
h.      Beribadah adalah menggunakan Asma Ilahi Ta’ala, memuji-Nya, patuh dan tunduk pada-Nya, dan menghormati para “pembela-pembela”-Nya. Disebut juga mengikuti perintah syariat.
i.        Takwa pada Allah adalah puncak dan kesempurnaan faktor-faktor di atas.

Kebajikan dalam etika merupakan titik tengah antara dua ujung, dan dalam hal ini ujung-ujung itu merupakan keburukan-keburukan. Kebajikan adalah titik tengah, karena letaknya di antara dua kehinaan dan pada posisi yang paling jauh dari dua kehinaan itu. Karena itu, jika kebajikan bergeser sedikit saja dari posisinya, lalu ke posisi paling rendah, maka kebajikan itu mendekati salah satu kehinaan, dan menjadi kurang nilainya.
Para filosof berpendapat: Menembak satu titik sasaran dengan tepat lebih sulit ketimbang melencenginya, dan mempertahankan agar selamanya tembakan itu tepat akan lebih sulit lagi. Karena ujung-ujung yang disebut kehinaan, dipandang sebagai kehinaan, dipandang dari segi tindakan, keadaan, waktu, atau dari segi lainnya. Maka dari itu sebab-sebab kejelekan lebih banyak daripada sebab-sebab kebaikan. Karena itu, kita harus mencari titik tengah dari semua sebab-sebab kejelekan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Miskawaih, Abu Ali Akhmad, Menuju Kesempurnaan Akhlak, diterjmahkan dari Tahdzib Al-Akhlaq, Bandung: Penerbit Mizan, 1994.


[1] Mu’qulat adalah hal-hal yang bersifat penlaran yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan dipikirkan, yang merupakan lawan dari hal-hal yang inderawi.
[2] Menungkit-ungkit (al-mannu) adalah member tahu orang lain bahwa telah melakukan kebaikan ini dan itu, agar diketahui masyarakat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar