Jumat, 16 Januari 2015

JENIS KESADARAN MANUSIA



A.    Pengertian Kesadaran Manusia
Kesadaran berasal dari bahasa Latib conscio yang berasal dari kata cum yang berarti with and scio yang berarti “know”. Dalam bahasa Latin conscio bermakna berbagi pengetahuan dengan orang lain atau diri sendiri. Kata consciud dan consciusness pertama kali muncul pada awal abad 17 yang kemudian secara berurutan diikuti oleh munculnya istilah self-conscious and self-consciousness.
Secara terminologi, zaman memberikan definisi kesadaran dalam 3 kategori:
a.    Kesadaran sebagai kondisi terjaga, seperti kesadaran yang dimilki oleh seseorang saat bangun dan kemampuannya untuk memahami, berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
b.     Kesadaran sebagai pengalaman adalah isi dari pengalaman dari satu kondisi ke keadaan yang lain.
c.    Kesadaran sebagai pikiran, ini adalah kondisi mental dengan konten proporsional, seperti percaya, harapan, rasa takut, berniat, berharap dan keinginan.
Kesadaran (consciousness) merupakan aktivitas mental yang terfokus pada objek. Dalam psikologi, kesadaran diartikan sebagai tingkat kesiagaan individu yang ada pada saat menerima rangsangan eksternal dan internal : peristiwa atau fenomena lingkungan, suasana, memori dan pikiran.
Kesadaran terjadi karena adanya 5 unsur:
1)        Isi kesadaran, berupa muatan yang keluar dari pikiran bawah sadar dan kemudian naik ke permukaan dan masuk ke wilayah pikiran sadar sehingga dikenali dan disadari.
2)        Kesadaran, kesadaran atau kemampuan untuk mengetahui atau mengenali dan menyadari serta mengetahui.
3)        Energi psikis yaitu energi psikis yang berkaitan dengan indera yang dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kesadaran.
4)        Struktur psikologis yaitu optimalisasi sistem syaraf yang ada pada otak baik yang bersifat paralel dan juga asosiatif.
5)        Kondisi kesadaran yaitu kondisi terjadinya kesadaran tersebut pada situasi normal atau pada kondisi baik diatas maupun diluar kesadaran biasa.
Ada 2 model isi kesadaran:
a)        Kesadaran mengacu pada isi kesadaran.
b)        Gairah mengacu pada aktivasi otak dan tingkat kesadaran

B.     Asal Mula Kesadaran
Menurut Imam Al-Ghazali, kesadaran manusia bersumber dari hati manusia. Meskipun demikian, hati ini sesungguhnya tidak benar-benar merupakan sumber yang paling asal, karena menurutnya hati adalah laksana cermin, al-qalb ka al-mir’ah. Jadi, hati hanya memantulkan sesuatu yang ada di depannya. Lebih jauh, Al-Ghazali menggambarkan bahwa jika mempunyai cermin, dan cermin itu bersih dan berkualitas tinggi, kemudian meletakkan sebuah benda didepannya, maka di dalam cermin itu akan terdapat gambar dari benda tersebut. Gambar yang ada di cermin itulah sesungguhnya kesadaran manusia atau ilmu yang dimiliki dari manusia.
Di sisi lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa sumber kesadaran yang hakiki adalah dari Al-Haqq atau Allah, namun juva tidak menafikan adanya kesadaran-kesadaran lainyang diserap oleh hati manusia yang bukan berasal dari pancaran Al-Haqq namun dari sumber-sumber lain. Sumber kesadaran dimaksud kemungkinan berasal dari Malaikat, mungkin juga dari Iblis atau syaithan. Bahkan ada juga yang berasal dari hasil ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang sebelum dia melakukan atau menangkap sebuah objek.
Lebih jauh Al-Ghazali menyatakan, ketika hati atau self seseorang itu bersih, kemudian menghiasi hati dengan amal-amal shaleh dan ketakwaan, maka hati yang demikian itu merupakan hati yang terbuka dan terhubung langsung dengan alam malakut atau alam para Malaikat. Sebaliknya, jika hati seseorang yang tidak bersih, bahkan senantiasa terbuka langsung dengan kesadaran yang berasal dari syaithan. Firman Allah:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ     
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”(Q.S.Al-Syams 7-10)
Dari keterangan ayat di atas dapat diperoleh gambaranbahwa sesungguhnya diri manusia biasa berada di antara kesadaran pada tingkatan self beyond ego. Kesadaran self beyond ego tersebut bisa bersumber dari Malaikat, bisa juga merupakan inspirasi yang dibisikan oleh iblis.
Imam Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa self atau hati manusia memiliki kemampuan untuk menjangkau hal-hal yang bersifat fisik maupun hal-hal yang metafisik. Mengenai pengetahuan yang bersifat fisik semakin insten seseorang mengasah dan melatih pikirannya, maka semakin bagus kemampuan orang itu dalam mengetahui hal-hal fisik atau relaistis yang berada di dalam alam empiris. Sedangkan pengetahuan mengenai alam batin atau metafisik, maka seseorang dapat mencapainya melalui proses suluk, mujahadah, riyadhah, serta pembersihan dan penyucian terhadap hati atau self-nya.

C.    Jenis Kesaradan
Dari segi jenisnya, kesadaran dibagi menjadi 2:
1)        State of Consciousness (B-SoC)
Yaitu kesadaran yang bisa dialami dalam kondisi normal, seperti saat kuliah, berbicara dengan teman dan nonton TV.
2)        Altered State of Consciousness
Kesadaran ini terjadi di luar kesadaran normal, seperti ketika saat meditasi, dalam kondisi mimpi, trans dan dalam pengalaman mistik.
Tingkatan kesadaran tersebut berkaitan erat dengan pola gelombang otak. Bila otak memiliki laju 0,5-3,5 Hz per detik maka otak tidak melakukan apa-apa sehingga tidak terjadi kesadaran, seperti yang ada pada otak orang yang sedang tidur nyenyak atau koma. Tipe ini disebut Delta. Sedangkan bila otak memiliki laju 3,5-7 Hz maka otak akan mengirimkan informasi secara berkala dari hiperkompus ke penyimpanan yang lebih permanen di korteks, seperti yang terjadi pada orang yang sedang mimpi dan anak berusia 3-6 tahun. Tipe ini disebut Theta. Bila otak memiliki laju 8-13 Hz per detik, maka otak akan bekerja secara rileks dan waspada seperti yang terjadi saat relaks dan anak yang berusia 7-14 tahun. Tipe ini disebut Alfa. Bila otak memiliki laju 13,5-30 Hz maka tipe ini disebut Beta yaitu otak sangat terkonsentrasi penu, seperti kondisi sedang mengerjakan ujian dan pekerjaan lain yang serius dan butu konsentrasi penu. Di atas laju ini masih terdapat tipe Gamma yaitu otak melaju lebi cepat ;agi sekitar 40 z perdetik. Ini terjadi pada otak yang sadar baik dalam kondisi terjada maupun tidur yang disertai mimpi.

D.    Sumber Kesadaran
Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, kususnya dalam pembahasan mengenai aja’ib al-qalb (keistimewaan hati), Imam Muammad Al-Ghazali mengatakan bahwa self atau diri terkadang diungkapkan dengan beberapa istilah yang bermakna ganda dan saling tumpang tindih (musytarakh), yaitu al-nafs terkadang al-ruh terkadang al-qalb dan terkadang menggunakan istilah al-aql.
Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa keempat terminologi tersebut memiliki makna yang ganda, yaitu makna lahir dan makna batin. Dari aspek makna lahir, masng-masing bida didefinisikan sebagai berikut:
·           Qalb adalah segumpal darah yang berada di dada sebelah kiri yang darinya beredar seluruh darah, dan ini menjadi sumber dari ruh
·           Ruh yang bisa diartikan sebagai seuatau yang lembut yang bersumber di dalam qalb itu.
·           Nafs secara lahir sebagai sesuatu yang meliputi seluruh kekuatan atau daya, baik itu berupaya daya marah ataupun daya syahwat yang ada dalam diri manusia.
·           Aql sebagai tempat dimana esensi segala sesuatu dapat diidentifikasi dan diketahui (al-‘ilm bi haqa’iq al-umur) oleh jiwa.
Sedangkan daru aspek makna batin, keempat istilah tersebut mengacu pada makna dan subtansi yang sama yaitu sebagai lathifah rabbaniyyah-ruhaniyyah, sesuatu yang halus yang bersigat ketuhanan dan bersifat spritual.
Kemudian dari segi fungsinya, lathifah atau sesuatu yang halus yang bersifat ketuhanan dan spritual tersebut memiliki 3 fungsi:
a)    Berfungsi sebagai al-ba’its yaitu perangkat yang memotivasi atau mendorong baik mendorong untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan maupun mendorong sesuatu yang bertujuan untuk menghindari mara bahaya.
b)   Lathifah yang bersifat ketuhanan dan spritual tersebut berfungsi sebagai al-mubarrik li al-a’dha’ yaitu perangkat yang mengerakkan anggota badan. Mekanisme penggerakan di sini adalah seolah-olah melalui perintah.
c)    Nafs atau self  memiliki fungsi sebagai al-mudrik yaitu perangkat yang bertugas untuk menangkap atau mengetahui segala sesuatu. Dalam hal ini, apa yang dipersepsikan melalui panca indara akan ditangkap, kemudian disimpan oleh jiwa atau self ini sebagai sebuah pengetahuan.

E.     Tingkatan-tingkatan Jiwa Kesadaran
Dalam bukunya yang berjudul Misykah al-Anwar wa Mastrafah al-Asrar, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ruh atau self terdiri dari berbagai tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut diambil dari Al-Qur’an:
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ã@sWtB ¾ÍnÍqçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkŽÏù îy$t6óÁÏB ( ßy$t6óÁÏJø9$# Îû >py_%y`ã ( èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. AÍhߊ ßs%qム`ÏB ;otyfx© 7pŸ2t»t6B 7ptRqçG÷ƒy žw 7p§Ï%÷ŽŸ° Ÿwur 7p¨ŠÎ/óxî ߊ%s3tƒ $pkçJ÷ƒy âäûÓÅÓムöqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? Ö$tR 4 îqœR 4n?tã 9qçR 3 Ïöku ª!$# ¾ÍnÍqãZÏ9 `tB âä!$t±o 4 ÛUÎŽôØour ª!$# Ÿ@»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇÌÎÈ  
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus,[1] yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya).[2] yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS.An-Nuur:35)
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Allah adala cahaya langit dan bumi, dan perumpamaan cahaya-Nya seperti ceruk yang didalamnya terdapat lampu, dan lampu itu di dalam sebuah kaca. Jadi di dalam ayat ini paling tidak terdapat beberapa istila, yaitu al-misykah (ceruk), al-mishbah (lampu), al-zujajah (kaca), syajarah (pohon), kemudian zaytun (buah zaitun).
Dalam penafsirannya terhadap ayat itu Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa sesungguhnya di dalam manusia terdapat diri atau ruh atau akal yang memilki berbagai tingkatan. Tingkatan-tingkatan dimaksud adalah sebagai berikut:
1)        Ruh Al-Hassas, yaitu ruh atau self yang berfungsi sebagai penerima segala sesuatu dari hasil serapan panca indra. Menurut Al-Ghazali, al-ruh al-hassas ini merupakan ruh yang berasal dari ruh hayawani atau ruh yang sebangsa dengan hewan. Ruh yang semacam ini juga dimiliki ole manusia yang masih berada dalam tahap usia kanak-kanak.
2)        Al-ruh al-khayyali atau self yang mempunyai kemampuan untuk berimajinasi, yaitu ruh yang mampu untuk menyimpan, mempersepsi dan menginajinasikan apa yang telah diperoleh ole panca indra ketika imajinasi tersebut dibutuhkan. kemampuan semacam ini belum dimiliki oleh anak kecil yang masih menyusu. Kemampuan ini tumbuh dan berkembang secar bertahap sedikit demi sedikit sejalan dengan perkembangan kejiwaan atau self  yang dimiliki oleh manusia.
3)        Al-ruh al-‘aqli, yaitu kemampuan manusia atau self untuk mengenali makna-makna yang berada di atas makna yang diperoleh melalui penginderaan maupun imajinasi. Dalam hal ini, kemampuan yang dia miliki lebih dari sekedar mengetahui makna yang keluar dari daya imajinasi dan daya persepsi. Kemampuan seperti ini tidak dimiliki oelh binatang, demikian juga anak-anak yang masih kecil belum memilikinya.
4)        Al-ruh al-fikri, yaitu kemampuan diri untuk mengambil ilmu-ilmu yang bersifat rasional murni, kemudian dari situ ditemukan berbagai campuran maupun kreativitas-kreativitas serta inovasi. Karena adanya kreativitas dan inovasi inilah maka dia mampu melahirkan sebuah sintesa berupa ilmu baru yang lebih tinggi.
5)        Al-ruh al-qudsi al-nabawi, yaitu ruh yang dimiliki oleh para Nabi dan sebagian para Wali. Ruh atau self  pada tingkatan ini memiliki kemampuan untuk ber-tajalli, yakni mampu menangkap manifestasi dari berbagai hal yang ghaib, ketentuan-ketentuan akhirat, serta berbagai pengetahuan yang ada di langit maupun di bumi. Al-ruh al-qudsi al-nabawi ini mampu memperoleh atau menyerap pengetahuan-pengetahuan yang bersifat ketuhanan (rabbaniyyah) yang oelh al-ruh al-‘aqli maupun al-ruh al-fikri tidak mungkin bisa diperolehnya, ini sesuai dengan firman Allah:
y7Ï9ºxx.ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) %[nrâ ô`ÏiB $tR̍øBr& 4 $tB |MZä. Íôs? $tB Ü=»tGÅ3ø9$# Ÿwur ß`»yJƒM}$# `Å3»s9ur çm»oYù=yèy_ #YqçR Ïök¨X ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±®S ô`ÏB $tRÏŠ$t6Ïã 4 y7¯RÎ)ur üÏöktJs9 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÎËÈ  
dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”(QS.Al-Syura:52)
Inilah tingkatan-tingkatan ruh atau jiwa menurut Al-Ghazali, dimana pada level yang terakhir sekaligus tertinggi adalah al-ruh al-qudsi al-nabawi. Dalam tingkatan ruh ini seseorang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman transedental atau religious experience atau mystical experience. Dalam tingkatan ruh yang kelima inilah manusia mengalami apa yang disebut sebagai “trans”, dia berada dalam kondisi self beyond ego. Self beyond ego merupakan sebuah pengalaman batin yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata, namun sangat menyakinkan karena seseorang merasakannya secara nyata.
Abu Abdullah Muhammad Ibn Hakim Al-Tirmidzi, dalam bukunya


[1] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.
[2] Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.