Senin, 19 Mei 2014

BAB 12 "ADAB NIKAH" (Al-Ghazali: Ihya' Ulumuddin)



BAB KEDUA BELAS
ADAB NIKAH
Patut diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah nikah. Sebagian ulama berpendapat bahwa menikah lebih utama dari pada tidak dalam beribadah kepada Allah Swt. Dan ulama lainnya mengakui keutamaan menikah, namun tidak dikuti dengan pengamalannnya. Mereka tetap menyendiri selama tidak mempengaruhi jiwa jika tidak menikah.
Namun, sebagian ulama lain di masa sekarang meninggalkan (pendapat yang kedua). Alasannya, karena sebagian besar mata pencaharian adalah terlarang, dan umumnya akhlah kaum wanita tercela. Pendapat ini diperkuat dengan firman Allah Swt, "Dan nikahilah orang-orang yang belum menikah di antara kamu."
Di lain ayat, Allah berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
Artinya, "Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."
Rasulullah Saw bersabda ;
النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ أَحَبَّ فِطْرَتِيْ, فَلْيَسْتُنَّ بِسُنَّتِيْ.
Artinya, "Pernikahan adalah bagian dari sunnatku, siapa yang menyukai fitrahku, hendaklah ia mengikuti sunnatku."
Yang menunjukkan dorongan untuk menikah, sabda Rasulullah Saw, "Sebaik-baik manusia setelah dua tahun adalah orang yang ringan bebannya, tidak berkeluarga dan dan tidak beranak."
Di lain hadits, Nabi bersabda, "Akan datang suatu masa di mana seseorang akan hancur karena ulah istri, orang tua dan anak-anaknya. Mereka menjelakkannya karena kemiskinannya. Mereka membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dipikulnya. Dan masuk ke tempat-tempat agamanya hilang hingga ia binasa."

Pasal Pertama
Keburukan-Keburukan Menikah dan Faedah-Faedahnya
Faedah menikah, diantaranya adalah melahirkan anak, menyalurkan syhawat, mengatur rumah tangga, memperbanyak keluarga, pahala dengan memberi nafkah kepada mereka. Jika anak yang dilahirkan tumbuh menjadi anak shaleh, maka orang tuanya memperoleh berkah dari do'anya, dan setelah si anak meninggal, maka ia dapat memberi syafa'at.
Keburukan-keburukan menikah, di antaranya kikir memberi nafkah dari hasil mata pencahariannya yang halal, padahal merupakan kewajiban baginya. Mungkin pula kurang memenuhi hak-hak istrinya. Padahal dia harus memenuhi hak-hak istrinya dengan berperan yang baik dan menemaninya. Semua ini tidak akan terlaksana kecuali bagi yang kuat.
Termasuk kejelekan-kejelekan besar menikah adalah bila istri dan anak lalai dari mengingat Allah Taa'ala dan meninggalkan amalan menuju ke akhirat. Hal seperti itu, sangat mungkin memunculkan sifat kikir dan pada akhirnya menuju kepada kehancuran.
Kami telah menyampaikan sisi-sisi kebaikan dan keburukan dari menikah, yang kejadiannya berbeda pada masing-masing orang. Maka, perhatikanlah keadaanmu, dan pilihlah jalan yang dapat mendekatkanmu kepada akhirat. Wallahu A'lam.
Pasal Kedua
Do'a-Do'a Yang Bersumber Dari Nabi Saw. Tentang Keadaan Perempuan di Waktu Aqad Nikah dan Syarat-Syarat Aqad
Kesempurnaan aqad terlaksana dengan empat syarat. Yaitu, izin wali, jika tidak ada wali, maka dilimpahkan kepada penguasa sebagai penggantinya. Ridha perempuan yang sudah berstatus janda dan balig. Serta, adanya dua orang saksi yang memiliki sifat-sifat adil yang jelas.
Aqad terlaksana dengan ijab dan qabul dengan lafal menikahkan dan mengawinkan. Atau maknanya khusus dengan kalimat yang diucapkan oleh dua orang laki-laki mukallaf dan bukan perempuan. Apakah dari pihak mempelai pria, wali, atau selain dari keduanya.
Adab menikah adalah didahului dengan melamar kepada wali perempuan. Si perempuan tidak dalam keadaan sedang beriddah, dan tidak pula sedang dalam pinangan dari orang lain. Rasulullah Saw sangat melarangnya, dengan bersabda, "Rasulullah Saw melarang meminang seorang perempuan yang sedang dalam pinangan orang lain."
Tata cara melangsungkan aqad nikah, dengan membaca Hamdalah untuk mengucapkan ijab dan qabul. Yang menikahkan, berkata; "Bismillahi wa al-Hamdulillah. Wa al-Shalâtu 'ala Rasulillah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam zawwajtuka." Suami kemudian mengikuti lafaz itu, lalu berkata; "Qabiltu nikahahâ 'ala hâdza al-Shadâq." Yang artinya, Aku menerima nikahnya dengan mahar tersebut.
Dianjurkan bagi kaum laki-laki untuk mengawini yang masih gadis, karena dengan itu dapat lebih memunculkan rasa kasih sayang. Demikian pula, dianjurkan untuk memandang (calon mempelai perempuan) terlebih dahulu, serta menghadirkan dua orang shaleh di samping dua orang saksi. Menikah bertujuan untuk menjaga pandangan (dari hal-hal yang dilarang), sebagai jalan untuk mendapat keturunan shaleh dan sarana untuk memperbanyak umat.
Syarat-syarat menikah, di antaranya adalah kaum perempuan bukan dari golongan hamba sahaya, selama laki-laki mampu mengawini perempuan-perempuan merdeka. Bukan perempuan yang haram dinikahi, seperti saudara sesusuan. Haram mengawini saudara sesusuan sebagaimana haramnya menikah dengan saudara satu keturunan. Diharamkan jika lebih dari lima kali menyusu (5 kali isapan). Kurang dari itu, tidak diharamkan.
Hal-hal yang dituntut bagi dalam pernikahan, ada delapan, yaitu; agama, cantik, akhlak yang baik, mahar yang ringan, berketurunan, perawan, nasab dan hubungan kekerabatan yang tidak terlalu dekat. Semuanya itu, didukung dengan dalil-dalil dari atsar maupun khabar.

Pasal Ketiga
Adab Pergaulan Suami Istri
Untuk pengantin pria, hendaknya mengadakan acara walimah. Rasulullah Saw bersabda, "Adakanlah acara walimah meskipun hanya satu kambing."
Kemudian, pria harus bergaul dengan baik dan bijaksana, baik dalam mengatur, mengajar, membagi dan membimbing bagi istri yang menyeleweng serta pada saat berhubungan suami istri, dan tidak melakukan azal.
Ketika istri melahirkan, suami mengumandangkan azan ke telinga anak yang baru lahir, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Selain itu, memberi nama yang baik, Rasulullah Saw bersabda, "Kamu semua akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama masig-masing. Maka perindah namamu." Barang siapa yang memiliki nama yang buruk, hendaknya diganti. Rasulullah Saw telah melakukannya. Nabi bersabda, "Jangalah kalian menggabungkan antara nama dan gelaranku." Dianjurkan menyuapi bayi dengan kurma dan makanan yang manis-manis.
Bagi kaum perempuan, wajib ta'at kepada suaminya dalam semua keadaan, kasih sayang dan memelihara hartanya. Diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda, "Allah Swt mengharamkan setiap anak cucu Nabi Adam masuk surga dengan melewatiku, namun ketika aku menoleh ke sebelah kanan, tiba-tiba seorang perempuan mendahuluiku masuk pintu surga." Aku berkata, "kenapa perempuan ini mendahuluiku.?"  Lalu dijawab, "Perempuan ini dahulunya telah berbuat baik, yaitu dia memelihara beberapa anak yatim dan bersabar hingga selesai urusan mereka. Kemudian, dengan itu ia bersyukur kepada Allah
Diriwayatkan bahwa, Rasulullah Saw bersabda, "Tidak dibenarkan bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali kepada suaminya selama empat bulan sepuluh hari." Seorang perempuan diharuskan tetap tinggal di rumah hingga lepas masa iddahnya. Wallahu A'lam Bisshawâb.

BAB 11 "ADAB MAKAN DAN MINUM" (Al-Ghazali: Ihya' Ulumuddin)



BAB KESEBELAS
ADAB MAKAN DAN MINUM
Dianjurkan agar dalam niat makan dapat menambah tenaga dan kekuatan, yang di dalamnya terkandung makna ta'at kepada Allah Swt. Artinya bahwa makan adalah bentuk ibadah kepada Allah dengan makanan yang halal, seperti yang akan dijelaskan di depan. Allah Swt berfirman;
يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا.
Artinya, "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Jika engkau makan dengan niat karena Allah Swt, maka engkau akan mendahuluinya dengan mencuci  tangan, sebagaimana dalam sabdanya, "Wudhu sebelum makan dapat menolak kefakiran dan mencegah kegilaan."
Hendaknya makan dengan sufrah (makanan musafir), karena dengan itu dekat kepada sunnah. Jika Rasulullah Saw menghadapi makanan, beliau meletakkannya di atas lantai, karena hal tersebut menunjukkan sifat tawadhu. Beliau bersabda, "Aku tidak makan dengan bersandar, sesungguhnya aku seorang hamba yang makan seperti makannya seorang hamba ketika makan, dan minum sebagaimana minumnya seorang hamba."
Kami tidak mengatakan bahwa makanan di atas meja itu terlarang. Dan tidaklah setiap yang baru itu dilarang. Saat menghadapi makanan yang sudah siap saji, dianjurkan untuk memperbaiki posisi duduk dan mempertahankan duduknya hingga akhir. Demikian yang dicontohkan Rasulullah Saw. Sesekali beliau duduk di atas kedua lututnya, atau duduk di atas kedua punggung telapak kakinya. Di lain waktu beliau menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas kaki kirinya. Makruh hukumnya makan dan minum dalam posisi tidur dan bersandar kecuali makanan yang disodorkan kepadanya karena terpaksa, misalnya sakit. Diperintahkan pula agar tidak terlalu kenyang, karena dengan kenyang maka berpengaruh kepada (khusyu) dalam beribadah.
Rasulullah Saw bersabda;
مَا مَلَأَ آدِمِيٌ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ, حَسَبَ إِبْنُ آدَمِ لَقِيْمَاتٍ يُقِمْنَ صَلْبَهُ, فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَثُلُثُ لِلطَّعَامِ وَثُلُثُ لِلشَّرَابِ وَثُلُثُ لِلنَّفْسِ.
Artinya, "Manusia tidak akan mengisi wadahnya (perutnya) dengan sesuatu yang buruk. Cukuplah bagi anak cucu Nabi Adam beberapa suap makan untuk menegakkan sulbinya (tulang punggung). Jika ia tidak melakukannya, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk nafas."
Oleh karena itu, hendaknya tidak makan dulu sebelum merasakan lapar. Karena sesungguhnya, rasa kenyang dapat mengeraskan hati. Berhenti sebelum merasakan kenyang dan tidak menunggu makanan dan kuah yang enak. Kelezatan makan roti adalah ketika banyak tangan (orang) yang ikut menikmatinya, baik dari kalangan keluarga maupun anak-anaknya. Dan sebaik-baik makanan adalah manakala banyak orang yang ikut makan berjama'ah. Rasulullah Saw tidak pernah makan sendiri. Seperti yang disebutkan oleh Malik.

Pasal Pertama
Adab Sedang Makan
Ketika makan, dimulai dengan membaca Basmalah dan di setiap menyuap makanan dan diakhiri dengan membaca Hamdalah. Dianjurkan membaca Basmalah setiap menyuap makanan sehingga tidak diganggu dari hal-hal buruk dan lengah dari mengingat Allah Swt. Pada suap yang pertama, membaca Bismillah. Suap yang kedua membaca Bismillahi Rahman. Suap yang ketiga membaca Bismillahi Rahman Rahim. Hendaknya membaca dengan agak keras supaya orang lain di sekitarnya mendengarkan.
Hendaknya makan dengan tangan kanan dan dimulai dari makanan yang terasa asin dan diakhiri dengan yang asin pula. Menyuap makanan sedikit demi sedikit, tapi dibolehkan pula dalam bentuk segenggam tangan. Dianjurkan tidak menjulurkan tangan (kesana kemari) di hadapan orang lain yang agak jauh untuk menjangkaunya. Tidak mencela makanan, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, bahwa beliau sama sekali tidak pernah mencela makanan, kalau Nabi suka maka dimakan, sebaliknya jika tidak, maka beliau meninggalkannya.
Dianjurkan makan makanan yang ada didepannya kecuali buah-buahan. Rasulullah Saw bersabda, "Makanlah apa yang ada didepanmu." Kemudian, ketika menginginkan buah, beliau menjulurkan tangannya. Nabi Saw berkata, "Buah-buahan ini tidak hanya satu macam."  Selain itu, hendaknya tidak memotong/mengambil makanan dari bagian tengah, namun dimulai dari pinggir. Tidak memotong roti maupun daging dengan pisau, karena Nabi melarangnya. Beliau bersabda, "Gigitlah sekuat-kuatnya."
Tidak meletakkan piring maupun lainnya di atas roti, kecuali alat-alat makanan. Nabi bersabda, "Hormatilah roti (makanan), karena Allah Swt menurunkannya sebagai berkah dari langit."
Tidak melap tangannya dengan roti. Beliau bersabda, "Apabila makanan kalian terjatuh, maka hendaknya dipungut dan kotoran yang melekat pada makanan tersebut di bersihkan, serta tidak meninggalkanya untuk syaithan." Hendaknya pula menjilat (makanan pada) jari-jarinya dan tidak meniup-niup makanan panas karena hal tersebut dilarang.
Dianjurkan makan kurma dengan jumlah yang ganjil dan tidak menyatukan antara kurma dan bijinya dalam satu tampan.
Adab Minum
Ketika mengambil gelas dengan tangan kanan, lalu membaca Bismillah. Hendaknya ia minum dengan mengisap, bukan dengan meneguk. Setelah minum, lalu membaca
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَهُ عُذْبًا فُرَاتًا بِرَحْمَتِهِ وَلَمْ يَجْعَلْهُ مِلْحًا أُجَاجُا بِذُنُوْبِهَا.
Artinya, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan air menjadi segar dan tawar dengan rahmat-Nya, dan tidak menjadikannya sebagai asin lagi pahit karena dosa-dosanya."
Setiap kali akan menghidangkan makanan, maka bergeraknya ke arah kanan. Dianjurkan minum dalam tiga nafas; membaca Hamdalah di akhirnya dan membaca Bismillah di awalnya.
Setelah selesai makan, hendaknya memungut makanan yang tercecer, lalu membersihkan sela-sela gigi. Dalam satu pendapat; barang siapa yang menjilat sisa-sisa makanan pada di piring dan meminum kuahnya, sama dengan memerdekakan hamba sahaya. Kemudian membaca;
الْحَمِدُ للهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ, وَتَنْزِلُ الْبَرَكَاتُ, اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْهُ قُوَّةً عَلَى مَعْصِيَتِكَ.
Artinya, "Segala puji Allah dengan nikmat-Nya telah menyempurnakan (nikmat) bagi orang-orang shaleh dan berkah diturunkan. Ya Allah, janganlah engkau memberinya kekuatan dalam hal maksiat."
Kemudian membaca surah al-Kâfirun dan surah al-Ikhlâs. Hendaknya tidak berdiri sebelum bekas-bekas makanan diangkat. Apabila di tempat orang lain, dianjurkan mendo'akannya dan berkata;
أَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُوْنَ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ.
Artinya, "Orang-orang shaleh telah makan hidanganmu, dan engkau telah memberi makan bagi orang yang berpuasa, dan para Malaikat bershalawat untukmu."
Setelah itu, dianjurkan membaca do'a;
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَأَوَانَا سَيِّدُنَا وَمَوْلاَنَا.
Artinya, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan, minum, mencukupkan kebutuhan dan mengadakan tempat tinggal buat kami, Tuhan dan Pelindung kami."
Kemudian dilanjutkan dengan mencuci tangan dan mulut.

Pasal Kedua
Adab Melapangkan Tempat Bagi Kelompok Yang Baru Datang Untuk Makan Berjama'ah
Dalam satu jama'ah, hendaknya bersabar melapangkan tempat dan makanan yang dihidangkan bagi yang lebih tua usianya, kecuali jika posisinya sebagai pengikut. Berbicara dengan perkataan yang baik-baik dan tetap bersikap ramah. Tidak bersumpah kepada seseorang. Hasan bin Ali berkata, "Makanan itu terlalu remeh untuk disumpahi." Tidak mengapa jika ia mengulang perkataannya tiga kali.
Apabila seseorang menghormatimu dengan menyodorkan bejana (kobokan-cuci tangan) kepadamu, maka terimalah. Anas bin Malik berada pada satu tempat dengan Tsâbit al-Banânî, kemudian Anas memberikan satu bejana kepadanya, namun ia menolak. Anas berkata, "Jika saudaramu menghormatimu (dengan memberikan sesuatu), maka terimalah penghormatannya dan jangan menolak. Karena dengan demikian, seseorang menghormati Allah Swt.
Tidak ada salahnya dalam satu bejana beberapa orang berkumpul, dengan kadar secukupnya (untuk cuci tangan). Dianjurkan untuk mengumpulkan air dengan ukuran standar pada satu bejana. Rasulullah Saw bersabda, "Berkumpullah dalam berwudhu, semoga Allah Swt menyatukan kalian."
Dianjurkan, supaya tuan rumah sendiri yang menyodorkan air dalam bejana tersebut kepada setiap orang yang hadir. Dimulai dari arah kanan hingga seterusnya. Hendaknya tidak memperbuat sesuatu yang dipandang buruk oleh jama'ah yang hadir, seperti memandang mereka, mengibaskan tangan dalam bejana setelah cuci tangan, atau lebih cepat selesai makan dari pada orang lain untuk menunjukkan bahwa dia makan sedikit. Ja'far bin Muhammad berkata, "Apabila engkau duduk bersama dengan saudara-saudaramu di meja makan, maka panjangkanlah dudukmu, karena kesempatan tersebut tidak terhitung dalam umurmu."
Rasulullah Saw bersabda, "Para Malaikat senantiasa bershalawat kepada seseorang di antara kalian selama hidangannya terletak di hadapannya hingga diangkat."
Hasan berkata, "Setiap nafkah yang dinafkahkan oleh seseorang untuk dirinya, kedua ibu bapaknya dan orang-orang lain akan dihitung, kecuali nafkah seseorang kepada saudara-saudaranya berupa makanan, karena ia menjadi tabir baginya dari api neraka."
Ali Radhiyallahu 'Anhu Berkata, "Mengumpulkan saudara-saudara untuk makan bersama satu sha' lebih baik bagiku dari pada membebaskan seorang budak. Mereka itu apabila berkumpul membaca al-Qur'an, maka mereka tidak akan bubar sebelum makan."
Dalam satu riwayat, Allah Swt berkata pada hari kiamat ;
يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي. قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ, أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي.
Artinya, "Wahai anak cucu Nabi Adam, Aku telah memberimu makan, tapi engkau sendiri tidak memberi-Ku makan. Ditanya: Bagaimana memberi-Mu makan, padahal Engkau Tuhan semesta alam? Allah menjawab: Apakah engkau tidak tahu bahwa seorang hambaku Fulan telah meminta kepadamu makan, tapi engkau tidak memberinya makan. Apakah tidak tahu, jika saja engkau memberinya makan, maka engkau telah memberi-Ku makan pula."
Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang kelihatan bagian luarnya dari dalam, dan bagian dalamnya nampak dari luar. Allah Swt mempersiapkan bagi siapa yang berbicara lunak, memberi makan dan shalat malam ketika manusia lelap dalam tidurnya."
Hendaknya tidak mendatangi suatu perjamuan yang tidak mengundangnya. Dalam satu riwayat, dikatakan bahwa siapa yang mendatangi suatu perjamuan yang tidak mengundangnya, maka ia berjalan sebagai orang fasik, dan makan makanan yang haram, kecuali jika tuan rumah mengetahuinya dan mempersilahkan dirinya.
Rasulullah Saw bersama dengan sahabat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhum datang ke rumah Abu Hisyam bin Tîhân dan rumah Abu Ayub al-Anshârî untuk makan karena mereka sedang dalam keadaan lapar. Ketika masuk rumah, mereka tidak menjumpai tuan rumah. Ketika tuan rumah mengetahui kedatangan (Nabi dan rombongan), ia dengan senang hati mempersilahkan tamunya untuk menyantap makanan yang telah disiapkan.
Hendaknya tidak mengusulkan jenis makanan kepada tuan rumah yang bisa jadi memberatkannya untuk dia usahakan, kecuali jika ia sanggup. Apabila tuan rumah menawarkan dua macam makanan, maka pilihlah yang ringan dan disenangi oleh tuan rumah. Sebaliknya tuan rumah berkata, silahkan memilih apa yang kalian senangi. Dengan seperti itu, di dalamnya terdapat pahala yang besar.
Diriwayatkan dari Jabir Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa yang memberi kenikmatan kepada saudaranya dengan makanan yang disenanginya, maka Allah Swt akan mencatat beribu-ribu kebaikan buatnya. Dan dihapuskan padanya beribu-ribu keburukan. Akan diangkat beribu-ribu derajat (baginya), dan Allah Swt akan memberinya makan yang bersumber dari tiga surga, yaitu surga Firdaus, surga 'Aden dan surga Khuldi."
Hendaknya tidak berkata, "Maukah engkau aku suguhkan makanan?" Tapi langsung menghidangkan makanan. Apabila ia senang, akan dimakan, jika tidak suka, maka diangkat. Demikian pendapat al-Tsaurî.

Pasal Ketiga
Adab Menyambut Tamu
Rasulullah Saw bersabda, "Janganlah engkau membebani dirimu dalam menyambut tamu sehingga engkau membecinya. Sesungguhnya, yang membenci tamu, Allah membenci Allah. Siapa yang membenci Allah, maka Allah pun membencinya."
Memenuhi undangan disunnatkan bagi setiap orang, baik miskin maupun kaya. Dalam beberapa kitab suci, disebutkan ; "Berjalan satu mil, besuklah orang sakit. Berjalan dua mil, antarlah orang mati. Berjalan tiga mil, penuhilah undangan."
Rasulullah Saw, bersabda, "Seandainya, aku diundang ke kira', niscaya aku akan memenuhinya." Kira' adalah daerah yang terletak bermil-mil jauhnya dari kota Madinah. Nabi Saw pernah berbuka puasa di kampung tersebut ketika beliau mengunjunginya pada bulan Ramadhan dan menjamak shalatnya di perjalanan.
Waktu puasa sunnat, berbuka puasa lebih afdhal (saat menerima tamu). Dan membahagiakan hati seorang tamu lebih baik. Namun, hendaknya tidak memenuhi undangan jika makanan dan tempat yang mengundangnya mengandung syubhat. Atau, jika orang yang mengundang adalah fasik, zalim, ahli bid'ah dan orang yang mencari kesenangan dengan mengundang.
Sebaliknya, disunnatkan menghadiri undangan jika bermaksud ta'at (kepada Allah), dan tidak untuk mengumbar nafsu. Tidak meninggalkan rumah tuan rumah sebelum mohon izinnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, "Di masa Rasulullah Saw, kami makan, berjalan dan minum sambil berdiri." Dianjurkan untuk membawa makanan kepada tuan rumah.

ADAB MENGASINGKAN DIRI (Al-Ghazali: Ihya' Ulumuddin)



ADAB MENGASINGKAN DIRI
Pasal Pertama
Pandangan Mazhab, Pendapat Para Tokoh Beserta Dalil-Dalilnya
Banyak orang yang berbeda pendapat tentang perbuatan mengasingkan diri dan berinteraksi dengan sesama mahluk, atau yang menganggap salah satunya lebih utama dari pada pendapat lainnya.
Pendapat yang lebih condong kepada upaya mengasingkan diri lebih utama dari pada bercampur baur dengan sesama manusia, di antaranya adalah Sofyan al-Tsaurî, Ibrahm bin Adham, Fudhail bin Iyadh, Sulaiman al-Khawâshî, Basyar al-Hâfî dan yang lainnya. Sebaliknya, umumnya dari kalangan Tâbi'in berpandangan keutamaan bercampur baur dengan masyarakat, memperbanyak pengalaman, persahabatan dan menjalin kasih sayang dengan sesama kaum mu'minin serta meningkatkan empati untuk saling tolong-menolong dalam urusan agama. Mereka yang berpandangan seperti ini, di antaranya adalah Sa'id bin Musayyib, al-Sya'bî, Syuraih, al-Syâfi'i, Ahmad bin Hanbal dan lain-lainya.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh para ulama yang terbagi atas dua macam pendapat tersebut menunjukkan keberpihakkan mereka terhadap salah satunya. Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhu, beliau berkata, "Sisihkanlah waktmu untuk mengasingkan diri."
Ibnu Sairin berkata; "Mengasingkan diri adalah ibadah."
Ibrahim al-Nukhâî berkata kepada seorang laki-laki, "Cukupkanlah nafkah buat (keluargamu), kemudian mengasingkan diri."
Golongan yang lebih mengutamakan mengasingkan diri, merujuk kepada firman Allah,
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ.
Artinya, "Dan aku akan menjauhkan diri daripadamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah."
Dan sabda Rasulullah Saw kepada Abdullah bin 'Amir al-Juhni ketika ditanya, "Ya Rasulullah, Apa ukuran sukses? Nabi menjawab, "Saat berada di rumah, engkau merasa luang, engkau dapat menahan lidahmu (dari perkataan yang buruk), engkau menangisi dosa-dosamu."
Di lain hadits, Nabi Saw bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ النَّقِيَّ الْخَفِيَّ.
Artinya, "Sesungguhnya Allah Swt mencintai hambanya yang bertaqwa, yang bersih dan yang bersembunyi untuk beribadah (sibuk dengan urusan sendiri untuk ibadah)."
Dari beberapa dalil yang dikemukakan, nampak bahwa tidak semua sahabat diperintahkan bersikap demikian, karena mungkin saja seseorang bisa menyelamatkan dirinya dengan cara mengasingkan diri. Terkadang seseorang selamat dengan hanya berdiam diri di rumah, dan tidak ikut berjihad di luar rumah. Namun, itu pun juga tidak menunjukkan bahwa tidak ikut berjihad lebih utama, sementara berinteraksi dengan masyarakat merupakan jihad dan menjadi ukuran. Rasulullah Saw bersabda, "Yang bercampur baur dengan masyarakat umum serta bersabar atas berbagai keburukan-keburukan yang menimpanya, adalah lebih baik dari pada yang tidak berhubungan dengan lingkungannya serta tidak sabar atas sisi-sisi negatif di masyarakat."
Pasal kedua
Faedah-Faedah Dan Gangguan Dalam Mengasingkan Diri (Uzlah)
Faedah-faedah mengasingkan diri paling tidak terdiri atas enam hal, yaitu ;
Pertama, membersihkan diri untuk beribadah dan berpikir, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan banyak berdo'a dan merenungi ciptaan Allah Swt. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengasingkan diri dan tidak berhubungan dengan manusia lain. Oleh karena itu, ahli hikmah berpendapat bahwa tidak mungkin seseorang melakukan uzlah tanpa banyak menelaah kitabullah (al-Qur'an), serta berpegang teguh terhadap isi dan kandungannya. Mereka inilah yang mengabaikan (kesenangan) dunia untuk mengingat Allah.
Orang yang banyak berzikir karena Allah, hidup karena Allah, mati karena Allah, dan akhirnya bertemu dengan Allah karena zikirnya. Tidak diragukan bahwa mereka menahan diri tidak bergaul dengan lingkungannya karena untuk berzikir dan merenung. Oleh karena itu, Rasulullah Saw ketika pertama mengemban risalah yang dibawahnya, beliau menyendiri (berkhalwat) di Gua Hira'.
Manakala seseorang telah berkhlawat, maka urusannya selesai, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Junaid Radhiyallahu 'Anhu, "Aku berbicara dengan Allah Swt semenjak tiga puluh tahun, orang-orang mengira bahwa aku telah berbicara dengan mereka." Yang lainnya bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk menyendiri?" Beliau berkata, "Aku tidak sendiri, tapi aku bersama Allah. Jika aku ingin Allah berbicara kepadaku, maka aku membaca al-Qur'an. Dan jika aku ingin berbicara dengan Allah, maka aku mendirikan shalat."
Diceritakan bahwa ketika Uwais al-Qarnî sedang duduk, tiba-tiba Haram bin Hayyân datang, dan ditanya; "Apa yang mendorongmu kemari?"
Dia menjawab, "Aku datang untuk menemanimu."
Uwais berkata, "Aku tidak paham, kenapa manusia yang telah mengenal Allah, namun lebih senang berkawan dengan manusia." Dan dia melanjutkan, "Apabila aku melihat bulan muncul, maka aku merasa gembira. Dengan itu aku bisa menyendiri untuk bersama dengan Tuhanku. Jika shubuh telah datang, aku merasakan sisi-sisi negatif saat bertemu dengan orang-orang. Mereka  menghalangiku lagi dengan kesibukan-kesibukan dari pada mengingat Allah."
Malik bin Dinar berkata, "Barang siapa yang tidak senang bertemu dengan Allah dari pada bertemu dengan manusia lain, maka sungguh amalnya kurang, hatinya buta dan ia menghilangkan usianya."
Faedah kedua, Dengan uzlah, manusia dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat yang banyak dilakukan dan tersebar di tengah-tengah pergaulan masyarakat banyak. Dengan berkhalwat manusia dapat selamat perbuatan-perbuatan, seperti ghibah, riya' dan tidak menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Penjelasannya akan disebutkan pada bagian lain dengan pertimbangan bijak bahwa membebaskan diri secara mutlak dari pergaulan dengan masyarakat adalah mustahil.
Masing-masing orang berbeda, tergantung keadaan yang dihadapinya. Bersikap bijak dan pertengahan adalah lebih utama. Yaitu, tidak berprinsip bahwa harus berkhalwat selamanya, karena dengan itu ia akan menghilangkan sisi-sisi keutamaan dengan bergaul di masyarakat. Sebaliknya, tidak pula selamanya larut dalam pergaulan dengan lingkungan tanpa pernah ingin meraih sisi-sisi positif dan faedah uzlah.
Dengan beruzlah, seseorang berniat untuk menghindarkan diri dari keburukan-keburukan pergaulan antar manusia. Secara umum ia niatkan untuk beribadah dan berzikir kepada Allah. Tidak memperpanjang angan-angan  sehingga dirinya enggan dan dapat menipunya sepanjang masa. Hendaknya, ia beniat untuk ikut dalam jihad akbar (jihad yang sangat besar), dengan beruzlah, yaitu berjuang melawan hawa nafsu, sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, "Kita telah pulang dari jihad yang kecil dan menuju kepada jihad yang paling besar." Wallahu A'lam Bisshawâb.
Faedah ketiga, menjauhkan diri dari fitnah dan permusuhan. Selanjutnya, menjaga diri agar tidak terjerumus kepada kejadian tersebut dan bahay-bahaya yang ditimbulkannya. Diriwayatkan dariAbu Sa'id al-Khudrî Radhiyallahu 'Anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,
يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ.
Artinya, "Dikhawatirkan bagi kaum Muslimin yang memiliki sebaik-baik harta berupa kambing-kambing piaraan, sehingga ia mengikutinya (untuk digembalakan) sampai ke puncak gunung dan tempat-tempat yang curah hujannya tinggi, ia akan meninggalkan agamanya dan menimbulkan fitnah.".
Faedah keempat, menghidarkan diri dari kejahatan manusia. Ada yang berkata, "Bergaul dengan orang-orang yang bejat perilakunya, dapat memunculkan anggapan-anggapan yang buruk terhadap orang-orang baik." Umar berkata, "Dengan beruzlah, dapat membebaskan diri pergaulan buruk."
Faedah kelima, Memutus sifat tamak orang lain terhadapmu, dan memutus rasa tamakmu terhadap mereka."
Faedah keenam, menhindarkan diri dari orang-orang bodoh dan ikut-ikutan terhadap perilaku mereka.