I.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya
setiap individu memiliki potensi/fitrah yang berarti kekuatan asli yang
terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi
pendorong serta penentu bagi kepribadiannya serta yang dijadikan alat untuk pengabdian
dan ma’rifatullah.
Dalam potensi
manusia memiliki komponen-komponen dasar yaitu, bakat, insting, nafsu, karakter
(tabiat), Heriditas, dan Intuisi. Dalam makalah ini akan membahas salah satu
potensi dasar manusia yaitu intuisi.
“Tiadak semua
hal yang bisa dihitung berjumlah, dan tidak semual hal yang berjumlah bisa
dihitung” begitulah bunyi salah satu tulisan Albert Einstein. Saat situasi yang
mendesak untuk memecahkan masalah, dimana reaksi-reaksi yang mendalam kadang
menghentak, muncul hanya dalam hitngan detik, sebelum dapat dapat menjelaskan
perasaan-perasaan dengan kata-kata.
Untuk
merenungkan berbagai hubungan yang mungkin terjalin antara kebenaran subjektif
dan objektif, antara perasaan dan fakta, serta intuisi dan realitas. Hasil dari
perenungan itu membuat orang yang cenderung menerima firasat-firasat yang
kadang tidak dikehendaki, gagasan-gagasan kreatif yang tidak direncanakan, dan
karya-karya Roh yang kerap kali menggetarkan.
Pangeran Charles
mengatakan “Jauh di dalam lubuk hati kita masing-masing, berdiam sebuah
kesadaran instingtif, kesadaran yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang
menyidiakan, jika kita mengizinkannya. Bimbingan yang paling bisa diandalkan
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan.”
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
yang dimaksud dengan Intuisi?
B. Apa
macam-macam Intuisi?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Intuisi
Menurut David G.
Myers Intuis adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung
atau wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dahulu.
“Pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat, dan tanpa usaha.[1]
Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Artinya suatu
permasalahan itu muncul dalam keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya,
tetapi jawaban serta merta muncul dibenaknya.[2]
Menurut Iqbal,
“intuisi” diartikan ganda. Pendapat pertama, mengikuti Jalaludin Rumi yang mengartikan
intuisi adalah qalb/fuad, yaitu sejenis batin atau wawasan yang dengan
kata-kata Rumi Indah yang hidup dari sinar dan mengenalkan kepada
masalah-masalah kenyataan, selain dari yang terbuka bagi serapan indera.
Pendapat lain Iqbal mengikuti Bergson yang mendefinisikan intuisi adalah
sebagai a Higher kind of intelectual, yaitu bagian yang lebih tinggi dari
intelek.[3]
Sedangkan
menurut Al-Ghazali, ilmu yang bukan ilmu dharuri, diperoleh dalam
kalbu/hati melalui ahwal (keadaan) yang berbeda-beda. Terkadang tersembunyi
di dalam hati seolah-olah sampai kepadanya tanpa diketahui. [4]
Inilah yang disebut dengan metode ilham.
Intuisi adalah
kegiatan berfikir yang tidak analitis, tidak berdasarkan pada pola berfikir
tertentu. Pendapat yang berdasarkan intuisi ini timbul dari pengetahuan yang
terdahulu melalui suatu proses berfikir yang tidak disadari. Ada pendapat yang
mengatakan, bahwa intiusi merupakan pengalaman puncak. Pendapat lain
mengatakan, bahwa intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi.52 Intuisi
hanya diberikan Tuhan kepada jiwa manusia yang bersih dan dirasakan sebagai
getaran hati nurani yang merupakan panggilan Tuhan untuk berbuat sesuatu yang
amat khusus.
Contoh potensi
intuisi pada manusia, setiap orang secara khusus terampil dalam membaca pikiran,
perasaan, dan niat orang lain. Kekuatan intuitif seperti dalam kisah Harry
Potter: “Aku tidak bisa menunjukkan wajahnya, tetapi aku bisa menunjukkan
hasrat di hatinya” dan keakuratan intuisi-intuisi tersebut bilamana membaca
pikiran teman daripada pikiran orang lain.
Berbagai potensi
yang ada pada diri kita ini seyogyanya dimanage atau dikelola dengan baik,
kemudian digunakan secara optimal dalam hidup ini dan akhirnya yang sangat
penting adalah mengendalikan potensi tersebut agar selalu dapat memberikan
kesuksesan, kebaikan, kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidup, baik di dunia
maupun di akherat nanti.
B. Macam-macam
Intuisi
Dalam khazanah
islam, potensi-potensi intuisi itu dapat terbagi berbagai macam, sehingga dapat
membedakan potensi instingtif yang positif maupun negative. Macam-macam intuisi
tersebut anatara lain:
1. Khatir
Khâtir
ialah bisikan yang menghunjam ke dalam hati seseorang tanpa diduga olehnya.
Bisikan pada khâtir lebih terarah pada perintah untuk melakukan sesuatu.
Khatir
juga disebut bekas-bekas yang timbul di dalam hati seseorang, yang mendorongnya
dan mengajaknya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. karena
berubah-ubahnya hati. Semua khatir yang timbul di hati seseorang itu sebenarnya
dari Allah Ta’ala. Hanya saja, khatir itu dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
-
Bisikan yang datangnya dari Allah, yang
disebut bisikan rabbani
-
Bisikan malaikat, disebut dengan ilham
-
Bisikan nafsu, disebut dengan hajis
-
Bisikan setan yang disebut dengan
waswas.
Bisikan rabbânî atau
intuisi Ilahi akan diraih ketika berusaha menghidupkan hati dengan ma’rifatullâh.
Bisikan itu bukan sekadar bisikan biasa, tapi merupakan nur Ilahi yang memenuhi
seluruh sudut hati. Nur Ilahi ini terbagi menjadi tiga tingkatan dengan
meninjau kelas dalam sulûk, yaitu kelas permulaan (bidâyah),
kelas pertengahan (wasth), dan kelas puncak (nihâyah). Nur Ilahi
yang masuk pada kelas pertama ialah wârid al-intibâh, yaitu cahaya
yang mengeluarkan dari kelalaian yang gelap-gulita menuju kesadaran dan ingat
kepada Allah. Kelas pertengahan akan dimasuki wârid al-iqbâl, yakni
cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati yang menyebabkan hati akan selalu
berzikir kepada Allah dan melupakan segala selain Allah. Kelas terakhir akan
dimasuki wârid al-wishâl, yakni cahaya yang menguasai hati
seorang hamba lalu menguasai lahir dan batinnya, sehingga ia menjadi sirna dari
dirinya.[5]
Bisikan
malaikat atau juga disebut dengan ilham merupakan bisikan yang mengajak pada
kebaikan, baik berupa pekerjaan fardu, maupun pekerjaan sunah. Sebaliknya,
bisikan yang mengajak pada kejahatan adalah bisikan setan. Bisikan ini bukan
hanya mengajak pada perkara haram, tapi juga mengajak pada perkara makruh. Yang
terakhir adalah bisikan nafsu, yaitu bisikan yang mengajak terhadap kepentingan-kepentingan
nafsu.[6]
Dari
sini, kita tidak bisa memahami bahwa hati tidak bisa hanya menerima satu
bisikan saja atau tetap dalam kondisi yang stabil, hati juga bisa menolak
adanya cobaan, dan hati harus mempunyai alat ukur atau seleksi, dan alat seleksinya
adalah al-Qur’an dan al-hadits.
2. Ilham
Potensi
intuitif manusia yang mengajak pada kebaikan. Intuisi ini bisa bersifat Rabbani
atau intuisi Ilahi dan bisa dari bisikan malaikat atas ijin Allah. Fenomena
ilham dalam masyrakat islam khususnya dan dalam hati seorang muslim merupakan
fenomena yang bisa terjadi menurut syara’.
Ilham
ini sering terjadi di lingkungan ummat, bahkan sering dialami oleh setiap orang
itu sendiri atau disaksikan dari orang-orang di sekitar mereka, jika mereka
melakukan sesuatu hal yang termasuk kategori perjalanan menuju Tuhan.[7]
Di
sini, cakrawala dan perasaan qalbiyah bisa dirasakan seseorang apabila
memiliki nash-nash yang qath’i atau pasti yang dengannya dia merasa
tenang sehingga apa yang dirasakannya adalah benar, karena nash-nash Rabbani
memberikan penjelasan kepadanya tentang hakikat dunia jiwa, hati dan akal
dan apa yang mungkin terjadi atau dialami oleh ketiganya.
3. Ilmu
laduni
Dalam
ilmu tasawuf, ilmu laduni dianggap ilmu yang paling tinggi dibandingkan
ilmu-ilmu lainnya. Ilmu laduni merupakan ilmu yang dikaruniakan Allah SWT
kepada seorang secara tiba-tiba tanpa diketahui bagaimana proses awalnya,
sehingga orang menerimanya dapat langsung menguasai ilmu tersebut tanpa
belajar.
Secara
etimologi atau bahasa ilmu laduni terdiri atas dua kata bahasa arab, “ilmu” dan
“laduni”, kata ilmu diartikan dengan pengetahuan (knowledge), sedangkan laduni
adalah hidayah dari Allah.[8]
Jadi ilmu laduni adalah pengetahuan yang datang dari sisi Allah yang diberikan
kepada manusia.
Menurut
pandangan psikologi, ilmu laduni disebut dengan pengetahuan diam-diam (Tacit
knowledge) atau pengetahuan implicit, yang dipelajari melalui pengalaman
tetapi tanpa intense. Dan pengetahuan diam-diam ini tidak bisa diakses secara
biasa oleh kesadaran.[9]
4. Waswas
Wawas
merupakan bisikan dari setan dan hawa nafsu yang mengajak negative berprilaku
menyimpang. Disebut juga gerak hati yang datang dari setan dan hawa nafsu
tetapi sebenarnya khatir ini timbul sesudah adanya ajakan dari setan dan hawa
nafsu. Seperti yang dijelaskan di surat al-An’am ayat 112 yang artinya:
“Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari
jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
Jikalau Tuhanmu menghendaki , niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
Wawas
ini adalah kekuatan intuitif manusia yang cenderung melakukan kekeliruan dalam
menilai atau memiliki kekeliruan penilaian, walaupun itu bisa diprediksi.
Dengan kesenangan yang luar biasa, manusia menciptakan dan menopang
kepercayaan-kepercayaan palsu.[10]
Seperti halnya:
-
Mengotruksi Memori
Misalnya ketika
berjemur diterik matahari di pinggiran pantai. Jika melihat diri sendiri,
mungkin terdapat kebohongan yang terselebung.
-
Salah memprediksi perasaan-perasaan kita
Misalnya memprediksi
harga suatu makanan yang cukup dalam kantong. Setelah membeli hasilnya uang
yang ada dikantong ternyata tidak cukup untuk membelinya. Sangat memalukan
pastinya.
-
Salah memprediksi prilaku kita sendiri
Misalnya menunjukkan
optimisme yang berlebihan mengenai ujian-ujian mereka yang akan datang. Tidak
lama sebelum kembali menghadapi ujian, optimism ilusif itu lenyap ketika
memberanikan diri untuk mengahadapi yang terburuk dalam ujian yang di karenakan
kurang belajar.
Jadi,
dalam kehidupan manusia membutuhkan alat ukur atau seleksi yang berpatokan
al-Qur’an dan al-hadist agar manusia selamat dalam melewati segala cobaan hidup
dan selamat dunia dan akhirat.
5. Firasat
“Hati- hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena dia
melihat dengan cahaya Allah “[11]
Firasat
adalah kekuatan yang diberikan Allah tersebut, tidak hanya terbatas kepada cara
memandang, melihat, memutuskan suatu perkara ataupun mencarikan jalan keluar.
Akan tetapi, kekuatan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan ini. Orang yang
beriman mempunyai kelebihan kekuatan dalam bersabar menghadapi ujian dan
cobaan, karena dia yakin bahwa hanya Allah-lah yang mampu menyelamatkan dan
memberikan jalan keluar dari ujian tersebut, sekaligus berharap dari ujian tersebut,
bahwa dia akan mendapatkan pahala di sisi-Nya dan akan menambah ketinggian
derajatnya di akherat kelak.
Tanda-
tanda firasat yang digunakan oleh seorang yang alim untuk mengetahui sebuah peristiwa,
bukan hanya berupa “fahisah“ (kemaksiatan seperti zina dan sejenisnya) saja,
akan tetapi tanda-tanda itu bisa juga berupa penyelewengan dari manhaj Al Quran
secara umum dan penyelewengan dari disiplin ilmu yang benar, walaupun kadang,
penyelewengan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, seperti : tidak adanya
amar ma’ruf dan nahi mungkar didalam suatu masyarakat, atau bahkan ada
perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tetapi tidak dilandasi dengan ilmu
syar’i yang benar. Kita lihat umpamanya, Bani Israel mendapatkan laknat dan
adzab dari Allah karena mereka meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Contoh
firasat yang benar, bahwa seorang alim akan mengetahui runtuhnya suatu bangsa,
atau terjadinya malapetaka mengerikan yang akan menimpa pada suatu tempat,
dengan melihat tanda- tandanya, seperti menyebarnya perzinaan dengan cara yang
terang-terangan, merebaknya perbuatan liwathatau homosex, semaraknya riba di
bank- bank dan di pasar- pasar, serta perbuatan –perbuatan sejenis, yang
kesemuanya itu akan mendatangkan murka Allah dan mengakibatkan turun adzab dari
langit. Penyakit “ AIDS ” , yang sampai sekarang belum ada obatnya, merupakan
bukti nyata akan statement di atas. Di tambah muncul wabah baru yang mengerikan
dan pemburu nyawa yang ditakuti oleh semua orang, yaitu wabah “ SARS “ yang
membuat kalang kabut negara- negara maju. Terakhir penyakit ini, malah
menyerang tentara Amerika yang menjajah Irak.
IV.
KESIMPULAN
Dalam iman yang
benar, ibadah dan mujahadah yang benar, terdapat cahaya dan kelezatan
yang Allah tanamkan di dalam hati hamba-hambaNya yang dikehendaki-Nya. Dan
jelas sekali iman sesungguhnya dinisbatkan dengan meningkatnya kesehatan,
kebahagiaan, pengendalian, karakter, kedermawanan, dan keikhlasan.
Jika dalam diri
sendiri dapat jujur, dapat di ketahui mana yang benar. Di kegelapan malam, kaum
teis dan ateis akan memiliki momen masing-masing ketika mereka bertanya-tanya
apakah sisi lain mungkin mengandung kebenaran.
Mungkin seluruh
intuisi spiritual adalah ilusi. Akan tetapi jika dapat membuktikan hakikat
realitas mutlak, kita tidak akan membutuhkan iman untuk menempati spekulasi
kita akan eksistensi Tuhan.
Maka dari itu
segala gambaran yang dilihat kita harus tinjau dengan keimanan yang kuat dan
hati yang bersih agar semua tidak tertipu oleh muslihat-muslihat yang
menyesatkan. Dan semoga Allah selalu memberi maghfirah dan rahmatNya untuk
semua umat manusia.
V.
PENUTUP
Demikianlah,
makalah yang saya
paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai
pihak sangatlah saya
harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan
ma’af dan terima kasih saya
haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam
pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu
A’lamu Bi al-Shawab.
[1]
David G. Myers, Intuition: Its Power And Perils, Terj., Yogyakrta:
Penerbit Qalam, 2004, hal. 2.
[2] Amin
Syukur dkk., Metodologi Studi Islam, Semarang: Gunung Jati, 1998, hal.
117.
[3]
Danusiri, Etimologi dalam Tasawuf Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996, hal. 48-49.
[4]
Al-Ghazali, Ilmu Laduni, di terjemahkan dari Al-Risalat Al-Laduniyah,
Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004,hal. 75.
[5]
Sa’id Hawwa, Pendidikan Spiritual, di terjemahkan dari Tarbiyatuna
al-Ruhiyyah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006, hal. 313-316.
[6] Ibid.,
hal.330-331.
[7] Ibid.,
hal. 328.
[8]
Jujun S. Suriasumarti, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Gramedia, 1981,
hal. 9.
[9]
David G. Myers, op.cit., hal. 97.
[10] Ibid.,
hal. 112.
[11] HR
Tirmidzi dengan sanad lemah ,dalam Al Sunan, Kitab : Tafsir, Bab : Tafsir surat
Al Hijr, hadits 3127