Minggu, 22 Juni 2014

Potensi Intuisi dalam Psikologi Sufistik (Makalah)



I.              PENDAHULUAN
Pada dasarnya setiap individu memiliki potensi/fitrah yang berarti kekuatan asli yang terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi kepribadiannya serta yang dijadikan alat untuk pengabdian dan ma’rifatullah.
Dalam potensi manusia memiliki komponen-komponen dasar yaitu, bakat, insting, nafsu, karakter (tabiat), Heriditas, dan Intuisi. Dalam makalah ini akan membahas salah satu potensi dasar manusia yaitu intuisi.
“Tiadak semua hal yang bisa dihitung berjumlah, dan tidak semual hal yang berjumlah bisa dihitung” begitulah bunyi salah satu tulisan Albert Einstein. Saat situasi yang mendesak untuk memecahkan masalah, dimana reaksi-reaksi yang mendalam kadang menghentak, muncul hanya dalam hitngan detik, sebelum dapat dapat menjelaskan perasaan-perasaan dengan kata-kata.
  Untuk merenungkan berbagai hubungan yang mungkin terjalin antara kebenaran subjektif dan objektif, antara perasaan dan fakta, serta intuisi dan realitas. Hasil dari perenungan itu membuat orang yang cenderung menerima firasat-firasat yang kadang tidak dikehendaki, gagasan-gagasan kreatif yang tidak direncanakan, dan karya-karya Roh yang kerap kali menggetarkan.
Pangeran Charles mengatakan “Jauh di dalam lubuk hati kita masing-masing, berdiam sebuah kesadaran instingtif, kesadaran yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang menyidiakan, jika kita mengizinkannya. Bimbingan yang paling bisa diandalkan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan.”

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan Intuisi?
B.     Apa macam-macam Intuisi?


III.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Intuisi
Menurut David G. Myers Intuis adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung atau wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dahulu. “Pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat, dan tanpa usaha.[1]
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Artinya suatu permasalahan itu muncul dalam keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya, tetapi jawaban serta merta muncul dibenaknya.[2]
Menurut Iqbal, “intuisi” diartikan ganda. Pendapat pertama, mengikuti Jalaludin Rumi yang mengartikan intuisi adalah qalb/fuad, yaitu sejenis batin atau wawasan yang dengan kata-kata Rumi Indah yang hidup dari sinar dan mengenalkan kepada masalah-masalah kenyataan, selain dari yang terbuka bagi serapan indera. Pendapat lain Iqbal mengikuti Bergson yang mendefinisikan intuisi adalah sebagai a Higher kind of intelectual, yaitu bagian yang lebih tinggi dari intelek.[3]
Sedangkan menurut Al-Ghazali, ilmu yang bukan ilmu dharuri, diperoleh dalam kalbu/hati melalui ahwal (keadaan) yang berbeda-beda. Terkadang tersembunyi di dalam hati seolah-olah sampai kepadanya tanpa diketahui. [4] Inilah yang disebut dengan metode ilham.
Intuisi adalah kegiatan berfikir yang tidak analitis, tidak berdasarkan pada pola berfikir tertentu. Pendapat yang berdasarkan intuisi ini timbul dari pengetahuan yang terdahulu melalui suatu proses berfikir yang tidak disadari. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa intiusi merupakan pengalaman puncak. Pendapat lain mengatakan, bahwa intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi.52 Intuisi hanya diberikan Tuhan kepada jiwa manusia yang bersih dan dirasakan sebagai getaran hati nurani yang merupakan panggilan Tuhan untuk berbuat sesuatu yang amat khusus.
Contoh potensi intuisi pada manusia, setiap orang secara khusus terampil dalam membaca pikiran, perasaan, dan niat orang lain. Kekuatan intuitif seperti dalam kisah Harry Potter: “Aku tidak bisa menunjukkan wajahnya, tetapi aku bisa menunjukkan hasrat di hatinya” dan keakuratan intuisi-intuisi tersebut bilamana membaca pikiran teman daripada pikiran orang lain.
Berbagai potensi yang ada pada diri kita ini seyogyanya dimanage atau dikelola dengan baik, kemudian digunakan secara optimal dalam hidup ini dan akhirnya yang sangat penting adalah mengendalikan potensi tersebut agar selalu dapat memberikan kesuksesan, kebaikan, kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidup, baik di dunia maupun di akherat nanti.

B.     Macam-macam Intuisi
Dalam khazanah islam, potensi-potensi intuisi itu dapat terbagi berbagai macam, sehingga dapat membedakan potensi instingtif yang positif maupun negative. Macam-macam intuisi tersebut anatara lain:
1.      Khatir
Khâtir ialah bisikan yang menghunjam ke dalam hati seseorang tanpa diduga olehnya. Bisikan pada khâtir lebih terarah pada perintah untuk melakukan sesuatu.
Khatir juga disebut bekas-bekas yang timbul di dalam hati seseorang, yang mendorongnya dan mengajaknya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. karena berubah-ubahnya hati. Semua khatir yang timbul di hati seseorang itu sebenarnya dari Allah Ta’ala. Hanya saja, khatir itu dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
-          Bisikan yang datangnya dari Allah, yang disebut bisikan rabbani
-          Bisikan malaikat, disebut dengan ilham
-          Bisikan nafsu, disebut dengan hajis
-          Bisikan setan yang disebut dengan waswas.
Bisikan rabbânî atau intuisi Ilahi akan diraih ketika berusaha menghidupkan hati dengan ma’rifatullâh. Bisikan itu bukan sekadar bisikan biasa, tapi merupakan nur Ilahi yang memenuhi seluruh sudut hati. Nur Ilahi ini terbagi menjadi tiga tingkatan dengan meninjau kelas dalam sulûk, yaitu kelas permulaan (bidâyah), kelas pertengahan (wasth), dan kelas puncak (nihâyah). Nur Ilahi yang masuk pada kelas pertama ialah wârid al-intibâh, yaitu cahaya yang mengeluarkan dari kelalaian yang gelap-gulita menuju kesadaran dan ingat kepada Allah. Kelas pertengahan akan dimasuki wârid al-iqbâl, yakni cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati yang menyebabkan hati akan selalu berzikir kepada Allah dan melupakan segala selain Allah. Kelas terakhir akan dimasuki wârid al-wishâl, yakni cahaya yang menguasai hati seorang hamba lalu menguasai lahir dan batinnya, sehingga ia menjadi sirna dari dirinya.[5]
Bisikan malaikat atau juga disebut dengan ilham merupakan bisikan yang mengajak pada kebaikan, baik berupa pekerjaan fardu, maupun pekerjaan sunah. Sebaliknya, bisikan yang mengajak pada kejahatan adalah bisikan setan. Bisikan ini bukan hanya mengajak pada perkara haram, tapi juga mengajak pada perkara makruh. Yang terakhir adalah bisikan nafsu, yaitu bisikan yang mengajak terhadap kepentingan-kepentingan nafsu.[6]
Dari sini, kita tidak bisa memahami bahwa hati tidak bisa hanya menerima satu bisikan saja atau tetap dalam kondisi yang stabil, hati juga bisa menolak adanya cobaan, dan hati harus mempunyai alat ukur atau seleksi, dan alat seleksinya adalah al-Qur’an dan al-hadits.
2.      Ilham
Potensi intuitif manusia yang mengajak pada kebaikan. Intuisi ini bisa bersifat Rabbani atau intuisi Ilahi dan bisa dari bisikan malaikat atas ijin Allah. Fenomena ilham dalam masyrakat islam khususnya dan dalam hati seorang muslim merupakan fenomena yang bisa terjadi menurut syara’.
Ilham ini sering terjadi di lingkungan ummat, bahkan sering dialami oleh setiap orang itu sendiri atau disaksikan dari orang-orang di sekitar mereka, jika mereka melakukan sesuatu hal yang termasuk kategori perjalanan menuju Tuhan.[7]
Di sini, cakrawala dan perasaan qalbiyah bisa dirasakan seseorang apabila memiliki nash-nash yang qath’i atau pasti yang dengannya dia merasa tenang sehingga apa yang dirasakannya adalah benar, karena nash-nash Rabbani memberikan penjelasan kepadanya tentang hakikat dunia jiwa, hati dan akal dan apa yang mungkin terjadi atau dialami oleh ketiganya.

3.      Ilmu laduni
Dalam ilmu tasawuf, ilmu laduni dianggap ilmu yang paling tinggi dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu laduni merupakan ilmu yang dikaruniakan Allah SWT kepada seorang secara tiba-tiba tanpa diketahui bagaimana proses awalnya, sehingga orang menerimanya dapat langsung menguasai ilmu tersebut tanpa belajar.
Secara etimologi atau bahasa ilmu laduni terdiri atas dua kata bahasa arab, “ilmu” dan “laduni”, kata ilmu diartikan dengan pengetahuan (knowledge), sedangkan laduni adalah hidayah dari Allah.[8] Jadi ilmu laduni adalah pengetahuan yang datang dari sisi Allah yang diberikan kepada manusia.
Menurut pandangan psikologi, ilmu laduni disebut dengan pengetahuan diam-diam (Tacit knowledge) atau pengetahuan implicit, yang dipelajari melalui pengalaman tetapi tanpa intense. Dan pengetahuan diam-diam ini tidak bisa diakses secara biasa oleh kesadaran.[9]
4.      Waswas
Wawas merupakan bisikan dari setan dan hawa nafsu yang mengajak negative berprilaku menyimpang. Disebut juga gerak hati yang datang dari setan dan hawa nafsu tetapi sebenarnya khatir ini timbul sesudah adanya ajakan dari setan dan hawa nafsu. Seperti yang dijelaskan di surat al-An’am ayat 112 yang artinya:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki , niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
Wawas ini adalah kekuatan intuitif manusia yang cenderung melakukan kekeliruan dalam menilai atau memiliki kekeliruan penilaian, walaupun itu bisa diprediksi. Dengan kesenangan yang luar biasa, manusia menciptakan dan menopang kepercayaan-kepercayaan palsu.[10] Seperti halnya:
-          Mengotruksi Memori
Misalnya ketika berjemur diterik matahari di pinggiran pantai. Jika melihat diri sendiri, mungkin terdapat kebohongan yang terselebung.
-          Salah memprediksi perasaan-perasaan kita
Misalnya memprediksi harga suatu makanan yang cukup dalam kantong. Setelah membeli hasilnya uang yang ada dikantong ternyata tidak cukup untuk membelinya. Sangat memalukan pastinya.
-          Salah memprediksi prilaku kita sendiri
Misalnya menunjukkan optimisme yang berlebihan mengenai ujian-ujian mereka yang akan datang. Tidak lama sebelum kembali menghadapi ujian, optimism ilusif itu lenyap ketika memberanikan diri untuk mengahadapi yang terburuk dalam ujian yang di karenakan kurang belajar.
Jadi, dalam kehidupan manusia membutuhkan alat ukur atau seleksi yang berpatokan al-Qur’an dan al-hadist agar manusia selamat dalam melewati segala cobaan hidup dan selamat dunia dan akhirat.

5.      Firasat
“Hati- hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena dia melihat dengan cahaya Allah [11]
Firasat adalah kekuatan yang diberikan Allah tersebut, tidak hanya terbatas kepada cara memandang, melihat, memutuskan suatu perkara ataupun mencarikan jalan keluar. Akan tetapi, kekuatan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan ini. Orang yang beriman mempunyai kelebihan kekuatan dalam bersabar menghadapi ujian dan cobaan, karena dia yakin bahwa hanya Allah-lah yang mampu menyelamatkan dan memberikan jalan keluar dari ujian tersebut, sekaligus berharap dari ujian tersebut, bahwa dia akan mendapatkan pahala di sisi-Nya dan akan menambah ketinggian derajatnya di akherat kelak.
Tanda- tanda firasat yang digunakan oleh seorang yang alim untuk mengetahui sebuah peristiwa, bukan hanya berupa “fahisah“ (kemaksiatan seperti zina dan sejenisnya) saja, akan tetapi tanda-tanda itu bisa juga berupa penyelewengan dari manhaj Al Quran secara umum dan penyelewengan dari disiplin ilmu yang benar, walaupun kadang, penyelewengan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, seperti : tidak adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar didalam suatu masyarakat, atau bahkan ada perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tetapi tidak dilandasi dengan ilmu syar’i yang benar. Kita lihat umpamanya, Bani Israel mendapatkan laknat dan adzab dari Allah karena mereka meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Contoh firasat yang benar, bahwa seorang alim akan mengetahui runtuhnya suatu bangsa, atau terjadinya malapetaka mengerikan yang akan menimpa pada suatu tempat, dengan melihat tanda- tandanya, seperti menyebarnya perzinaan dengan cara yang terang-terangan, merebaknya perbuatan liwathatau homosex, semaraknya riba di bank- bank dan di pasar- pasar, serta perbuatan –perbuatan sejenis, yang kesemuanya itu akan mendatangkan murka Allah dan mengakibatkan turun adzab dari langit. Penyakit “ AIDS ” , yang sampai sekarang belum ada obatnya, merupakan bukti nyata akan statement di atas. Di tambah muncul wabah baru yang mengerikan dan pemburu nyawa yang ditakuti oleh semua orang, yaitu wabah “ SARS “ yang membuat kalang kabut negara- negara maju. Terakhir penyakit ini, malah menyerang tentara Amerika yang menjajah Irak.

IV.       KESIMPULAN
Dalam iman yang benar, ibadah dan mujahadah yang benar, terdapat cahaya dan kelezatan yang Allah tanamkan di dalam hati hamba-hambaNya yang dikehendaki-Nya. Dan jelas sekali iman sesungguhnya dinisbatkan dengan meningkatnya kesehatan, kebahagiaan, pengendalian, karakter, kedermawanan, dan keikhlasan.
Jika dalam diri sendiri dapat jujur, dapat di ketahui mana yang benar. Di kegelapan malam, kaum teis dan ateis akan memiliki momen masing-masing ketika mereka bertanya-tanya apakah sisi lain mungkin mengandung kebenaran.
Mungkin seluruh intuisi spiritual adalah ilusi. Akan tetapi jika dapat membuktikan hakikat realitas mutlak, kita tidak akan membutuhkan iman untuk menempati spekulasi kita akan eksistensi Tuhan.
Maka dari itu segala gambaran yang dilihat kita harus tinjau dengan keimanan yang kuat dan hati yang bersih agar semua tidak tertipu oleh muslihat-muslihat yang menyesatkan. Dan semoga Allah selalu memberi maghfirah dan rahmatNya untuk semua umat manusia.

V.          PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.


[1] David G. Myers, Intuition: Its Power And Perils, Terj., Yogyakrta: Penerbit Qalam, 2004, hal. 2.
[2] Amin Syukur dkk., Metodologi Studi Islam, Semarang: Gunung Jati, 1998, hal. 117.
[3] Danusiri, Etimologi dalam Tasawuf Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal. 48-49.
[4] Al-Ghazali, Ilmu Laduni, di terjemahkan dari Al-Risalat Al-Laduniyah, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004,hal. 75.
[5] Sa’id Hawwa, Pendidikan Spiritual, di terjemahkan dari Tarbiyatuna al-Ruhiyyah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006, hal. 313-316.
[6] Ibid., hal.330-331.
[7] Ibid., hal. 328.
[8] Jujun S. Suriasumarti, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Gramedia, 1981, hal. 9.
[9] David G. Myers, op.cit., hal. 97.
[10] Ibid., hal. 112.
[11] HR Tirmidzi dengan sanad lemah ,dalam Al Sunan, Kitab : Tafsir, Bab : Tafsir surat Al Hijr, hadits 3127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar