Al-‘Urf (Adat Istiadat)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Bapak Syaifuddin
Zuhry, M. Ag.
Disusun Oleh :
Roinal Rois Al Kalim
(124411042)
Nurul
Hidayatus Sholihah (124411041)
JURUSAN
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Dalam keseluruhan ajaran islam, islam mengajarkan
bagaimana hidup bersosialisasi. Tidak memandang perbedaan daerah, warna kulit,
cantik-ganteng, jelek dan sebagainya. Yang didalamnya pasti merujuk pada
kebiasaan atau adat. Baik kebiasaan baik maupun buruk. Namun dalam islam hanya
memperbolehkan beradat yang baik (sahih). Karena adat dan kebiasaan adalah bagian dari kebutuhan
dan sesuai dengan kemaslahatan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Al-‘Urf
B.
Macam-macam Al-‘Urf
C.
Kedudukan Al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
D.
Hukum Dapat Berubah karena ‘Urf
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-‘Urf
1.
Dalam Segi Etimologi (Bahasa)
al-‘urf berasal
dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain,
ra’, dan fa’ yang berarti kenal.
Dari kata ini muncul kata ma’rifah
(yang terkenal), ta’rif (definisi),
kata ma’ruf (yang dikenal sebagai
kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan
yang baik).
2.
Dalam Segi Terminologi (Istilah)
Artinya:“Sesuatu yang menjadi kebiasaan
manusia, dan mereka mengikutinya dalam
bentuk setiap perbuatan yang populer di
antara mereka, ataupun
suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian
etimologi, dan ketika mendengar kata
itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.”[1]
Di dalam Risalah al-‘urf, Ibnu Abidin menerengkan bahwa :
“Adat (kebiasaan) itu diambil dari kata mua’awadah,
yaitu : mengulang-ngulangi. Maka karena telah berulang-ulang sekali demi
sekali, jadilah ia terkenal dan dipandang baik oleh diri dan akal, padahal tak
ada hubungan apa-apa dan tak ada pula
karinahnya, adat dan ‘urf searti walaupun berlainan mafhum.”[2]
Kini
bisa diketahui bahwa al-‘urf adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia atau sudah di pahami oleh
manusia yang menjadi kebiasaan atau tradisi baik ucapan, perbuatan atau
pantangan- pantangan dan sekaligus
disebut juga dengan adat. Tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan adat.[3]
B.
Macam-macam Al-‘Urf
Dalam pembagian al-‘urf dapat
ditinjau dari dua hal, yaitu pertama dapat ditinjau dari segi jangkauannya dan
kedua dapat di tinjau dari segi keabsahannya. Dari segi jangkauannya dapat
dibagi dua, yaitu: al-‘urf al-amm dan
al-’urf al-khashsh. Jikalau dari segi
keabsahannya, al-’urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu : al-‘urf ash-shahihah (‘urf yang absah/benar) dan al-‘urf al-fasidah (‘urf yang rusak/salah).
1.
Ditinjau dari Segi Jangkauannya
a.
Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi
sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.[4]
Misalnya, membayar sewa kamar dengan harga tertentu, tanpa membatasi jumlah
fasilitas yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya
saja.
b.
Al-‘Urf al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secar khusus pada
suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.[5]
Misalnya, kebiasaan masyarkat Jepara menyebut kalimat “satu petak tanah” untuk
menunjuk pengertian luas tanah 10 x 1 meter. Demikian juga kebiasaan
masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang
sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
2.
Ditinjau dari Segi Keabsahannya
a.
Al-‘Urf ash-Shahihah (‘Urf yang Absah/Benar)
Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia
yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, di samping tidak menghalalkan yang
haram dan tidak menggugurkan kewajiban.[6]
untuk menjadikan 'urf sebagai sumber hukum dalam
penetapan hukum diisyaratkan:
1.
'urf tidak
bertentangan dengan nash dan qoth'i;
2.
'urf berlaku
terus menerus atau kebanyakan berlaku; dan
3. 'urf yang dijadikan sumber hukum bagi suatu tindakan tersebut
diadakan.
Seorang mujtahid
atau seorang hakim harus memperhatikan 'urf sahih dalam membentuk
suatu produk hukum. Karena adat dan kebiasaan adalah bagian dari kebutuhan dan
sesuai dengan kemaslahatan.[7]
Karenanya terdapat
kaidah yang menyatakan bahwa:
العادة شريعة مة محكمة
“adat merupakan syariah
yang dikukuhkan sebagai hukum”
Misalnya, saling mengerti kebiasaan manusia mengenai
transaksi borongan. Dalam jual beli dengan cara pemesanan, pihak pemesan
memberi uang muka terlebih dahulu atas barang yang dipesannya. Demikian juga
dalam mahar perkawinan apakah di bayar kontan atau hutang, serta terjalin
pengertian tentang istri yang tidak diperkenankan “menyerahkan” dirinya kepada
suami, melainkan jika mahar telah dibayar.
b.
Al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang Rusak/Salah)
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi
bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram, atau membatalkan
kewajiban.[8]
Misalnya, kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan muhram dalam acara tertentu. Adat
kebiasaan masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita
yang bukan muhrom, hanya karena
keduanya dari satu komunitas yang sama, karena keduanya semarga dsb.
Para Ulama’ sepakat, bahwasanya al-‘urf al-fasidah tidak dapat dijadikan landasan hukum, dan
kebiasaan tersebut batal demi hukum.[9]
Oleh karena itu, untuk mengingatkan masyarakat dan pengalaman hukum Islam,
sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf pada masyarakat, untuk
mengubah adat kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam tersebut, dan
menggantinya dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
C.
Kedudukan Al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
Semua ulama sepakat bahwa kedudukan al-‘urf
ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Tapi masih ada di antara
mereka yang berbeda pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil.
Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan
dengan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun Kehujjahan ‘urf sebagai
dalil syara’, didasarkan atas argumen-argumen berikut :
a.
Firman Allah SWT., pada surat al-A’raf (7): 199
“Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengajarkan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh.
b.
Ucapan sahabat Rasulullah SAW. Abdullah bin Mas’ud :
a.
فَمًا راَٰهُ المسلمون حسنًا
فهو عند الله حسن وما راَٰهُ المسلمون سيءَ فهو عند الله سيء
“sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah,
dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.”
D.
Hukum Dapat Berubah karena ‘Urf
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwasanya sebagai adat kebiasaan, ‘urf
dapat berubah karena adanya perubahan waktu dan tempat. Sebagai
konsekuensi, hukum juga berubah mengikuti ‘urf tersebut. Dalam hal ini,
berlaku kaidah yang menyebutkan :
“Ketentuan
hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan, tempat, keadaan, individu, dan
perubahan lingkungan.”[10]
Untuk
mengukuhkan adegium yang menyebutkan bahwa agama Islam tetap relevan untuk
semua waktu dan tempat (al-Islam shalih
likull zaman wa makan).[11]
Sebagai adat yang benar, dalam pembentukan hukum syara’ dan putusan perkara
wajib diperhatikan, khususnya bagi mujtahid dalam pembentukan hukumnya dan bagi
hakim juga dalam setiap putusannya. Karena segala sesuatu yang sudah diketahui
dan dibiasakan oleh manusia itu adalah kebutuhannya, disepakati dan ada
kemaslahatannya. Selama semua itu tidak bertentangan dengan syara’ maka harus
dijaga.
Menentang kaidah ini sama halnya dengan menjadikan Islam ketinggalan
zaman, kaku, jumud, dan tidak memenuhi rasa keadilan terhadap hukum masyarakat,
padahal itu bertentangan dengan prinsip kemudahan dalam syariat Islam.
Akibatnya, umat Islam akan hidup dalam keadaan gamang dan canggung menghadapi
perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban yang terus bergerak
maju. Karena hal itu membuat umat Islam mengalami kesulitan dalam hidupnya,
pada satu sisi mereka ingin menjadi muslim yang baik, dan di sisi yang lain
mereka terjebak pada ketentuan hukum Islam yang tidak dapat memenuhi tuntutan
perubahan zaman. Karena pentingnya pemahaman terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, maka para ulama berpendapat, bahwasanya persyaratan
untuk menjadi mujtahid ialah memahami ‘urf
yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu para ulama berkata : Adat adalah syariat yang dikuatkan
sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara’.[12]
Seperti Imam malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk
madinah. Ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, mengubah sebagian hukum yang di
tetapkan di bagdad.
- KESIMPULAN
‘urf
adalah
terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka,
keumumannya dan kekhususannya. Hukum-hukum yang didasarkan atas ‘urf pada suatu
zaman dan perubahan asalny. Diantara ungkapan yang terkenal yaitu: apa- apa
yang dimengerti secara ‘urf adalah seperti diseratkan ‘urf menurut sarat, dan
yang telah tetap menurut ‘urf adalah seperti yang telah tetap menurut nash.
V.
PENUTUP
Kita sebagai
manusia yang dianugerahi akal harus bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Serta bisa membedakan adat yang shahih dan adat yang fasid dalam
kehidupan kapanpun dan dimanapun.
Demikianlah makalah ini saya buat
bila ada kesalahan itu lumrah karena manusia tak selamanya benar, walaupun
banyak yang mengaku-ngaku dia selalu benar itupun hanya perasaan saja. Terimna
Kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman
Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah,
2011.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.
Pengantar Hukum Islam. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997
Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung:
Risalah, 1985. Prof.Dr
Abdul Ghofur Anshori, SH.,M.H, Zulkarnain Harahab, SH .,SI,Hukum Islam
Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:Kreasi Total Media, 2006.
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani,
1977.
[1]
Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011. Hlm.209
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997. Hlm. 227
[3]
‘urf bersifat perbuatan, seperti saling pengertian manusia tentang jual
beli dengan pelaksanaan tanpa sighat yang diucapkan. Sedang ‘urf yang
bersifat ucapan, seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal
al-walad (الؤلد) atas nama anak laki-laki bukan anak
perempuan dan juga saling mengerti mereka agar tidak menguitlakan lafal al-lahm
(الحم) yang bermakna daging atas as-samak (السمك) yang bermakna ikan
tawar.
[4] Abd. Rahman Dahlan. Op.cit. hlm. 210
[5] Ibid.
[6] Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung: Risalah, 1985. Hlm. 132
[7]
Prof.Dr Abdul Ghofur Anshori, SH.,M.H, Zulkarnain Harahab, SH .,SI,Hukum
Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:Kreasi Total Media,
2006. Hlm:187
[8] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani, 1977. Hlm. 117-118
[9] Abd. Rahman Dahlan. Op.cit. hlm. 211
[10] Abd. Rahman Dahlan. Op.cit. hlm.215
[11] Ibid.
[12] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Op.cit. hlm.118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar