Senin, 14 April 2014

Al-'Urf (Adat Istiadat)


Al-‘Urf (Adat Istiadat)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Bapak Syaifuddin Zuhry, M. Ag.



http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg

Disusun Oleh :
Roinal Rois Al Kalim (124411042)
Nurul Hidayatus Sholihah (124411041)



JURUSAN
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
       I.            PENDAHULUAN
            Dalam keseluruhan ajaran islam, islam mengajarkan bagaimana hidup bersosialisasi. Tidak memandang perbedaan daerah, warna kulit, cantik-ganteng, jelek dan sebagainya. Yang didalamnya pasti merujuk pada kebiasaan atau adat. Baik kebiasaan baik maupun buruk. Namun dalam islam hanya memperbolehkan beradat yang baik (sahih). Karena adat dan kebiasaan adalah bagian dari kebutuhan dan sesuai dengan kemaslahatan.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Al-‘Urf
B.     Macam-macam Al-‘Urf
C.     Kedudukan Al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
D.    Hukum Dapat Berubah karena ‘Urf


 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-‘Urf
1.      Dalam Segi Etimologi (Bahasa)
     al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang terkenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
2.      Dalam Segi Terminologi (Istilah)
      Artinya:“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya                                 dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka,                                           ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian                                     tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar                          kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.”[1]
       Di dalam Risalah al-‘urf, Ibnu Abidin menerengkan bahwa : “Adat (kebiasaan) itu diambil dari kata mua’awadah, yaitu : mengulang-ngulangi. Maka karena telah berulang-ulang sekali demi sekali, jadilah ia terkenal dan dipandang baik oleh diri dan akal, padahal tak ada hubungan apa-apa dan tak     ada pula karinahnya, adat dan ‘urf searti walaupun berlainan mafhum.”[2]
         Kini bisa diketahui bahwa al-‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia atau sudah di pahami oleh manusia yang menjadi kebiasaan atau tradisi baik ucapan, perbuatan atau pantangan-      pantangan dan sekaligus disebut juga dengan adat. Tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan adat.[3]
B.    Macam-macam Al-‘Urf
Dalam pembagian al-‘urf dapat ditinjau dari dua hal, yaitu pertama dapat ditinjau dari segi jangkauannya dan kedua dapat di tinjau dari segi keabsahannya. Dari segi jangkauannya dapat dibagi dua, yaitu: al-‘urf al-amm dan al-’urf al-khashsh. Jikalau dari segi keabsahannya, al-’urf dapat pula             dibagi menjadi dua bagian, yaitu : al-‘urf ash-shahihah (‘urf yang     absah/benar) dan al-‘urf al-fasidah (‘urf yang rusak/salah).
1.      Ditinjau dari Segi Jangkauannya
a.       Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.[4] Misalnya, membayar sewa kamar dengan harga tertentu, tanpa membatasi jumlah fasilitas yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
b.      Al-‘Urf al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secar khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.[5] Misalnya, kebiasaan masyarkat Jepara menyebut kalimat “satu petak tanah” untuk menunjuk pengertian luas tanah 10 x 1 meter. Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
2.      Ditinjau dari Segi Keabsahannya
a.       Al-‘Urf ash-Shahihah (‘Urf yang Absah/Benar)
Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, di samping tidak menghalalkan yang haram dan tidak menggugurkan kewajiban.[6] untuk menjadikan 'urf sebagai sumber hukum dalam penetapan hukum diisyaratkan:
1.               'urf tidak bertentangan dengan nash dan qoth'i;
2.               'urf berlaku terus menerus atau kebanyakan berlaku; dan
3. 'urf yang dijadikan sumber hukum bagi suatu tindakan tersebut diadakan.
Seorang mujtahid atau seorang hakim harus memperhatikan 'urf sahih dalam membentuk suatu produk hukum. Karena adat dan kebiasaan adalah bagian dari kebutuhan dan sesuai dengan kemaslahatan.[7]
Karenanya terdapat kaidah yang menyatakan bahwa:
                                                                                      العادة شريعة مة محكمة
“adat merupakan syariah yang dikukuhkan sebagai hukum”
Misalnya, saling mengerti kebiasaan manusia mengenai transaksi borongan. Dalam jual beli dengan cara pemesanan, pihak pemesan memberi uang muka terlebih dahulu atas barang yang dipesannya. Demikian juga dalam mahar perkawinan apakah di bayar kontan atau hutang, serta terjalin pengertian tentang istri yang tidak diperkenankan “menyerahkan” dirinya kepada suami, melainkan jika mahar telah dibayar.
b.      Al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang Rusak/Salah)
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram, atau membatalkan kewajiban.[8] Misalnya, kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan muhram dalam acara tertentu. Adat kebiasaan masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrom, hanya karena keduanya dari satu komunitas yang sama, karena keduanya semarga dsb.
Para Ulama’ sepakat, bahwasanya al-‘urf al-fasidah tidak dapat dijadikan landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum.[9] Oleh karena itu, untuk mengingatkan masyarakat dan pengalaman hukum Islam, sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf pada masyarakat, untuk mengubah adat kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam tersebut, dan menggantinya dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
C.    Kedudukan Al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
Semua ulama sepakat bahwa kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Tapi masih ada di antara mereka yang berbeda pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun Kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argumen-argumen berikut :
a.       Firman Allah SWT., pada surat al-A’raf (7): 199
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengajarkan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

b.      Ucapan sahabat Rasulullah SAW. Abdullah bin Mas’ud :
a.     فَمًا راَٰهُ المسلمون حسنًا فهو عند الله حسن وما راَٰهُ المسلمون سيءَ فهو عند الله سيء

“sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.”

D.    Hukum Dapat Berubah karena ‘Urf
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwasanya sebagai adat kebiasaan, ‘urf dapat berubah karena adanya perubahan waktu dan tempat. Sebagai konsekuensi, hukum juga berubah mengikuti ‘urf tersebut. Dalam hal ini, berlaku kaidah yang menyebutkan :
“Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan, tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan.”[10]
      Untuk mengukuhkan adegium yang menyebutkan bahwa agama Islam tetap relevan untuk semua waktu dan tempat (al-Islam shalih likull zaman wa makan).[11] Sebagai adat yang benar, dalam pembentukan hukum syara’ dan putusan perkara wajib diperhatikan, khususnya bagi mujtahid dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga dalam setiap putusannya. Karena segala sesuatu yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia itu adalah kebutuhannya, disepakati dan ada kemaslahatannya. Selama semua itu tidak bertentangan dengan syara’ maka harus dijaga.
Menentang kaidah ini sama halnya dengan menjadikan Islam ketinggalan zaman, kaku, jumud, dan tidak memenuhi rasa keadilan terhadap hukum masyarakat, padahal itu bertentangan dengan prinsip kemudahan dalam syariat Islam. Akibatnya, umat Islam akan hidup dalam keadaan gamang dan canggung menghadapi perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban yang terus bergerak maju. Karena hal itu membuat umat Islam mengalami kesulitan dalam hidupnya, pada satu sisi mereka ingin menjadi muslim yang baik, dan di sisi yang lain mereka terjebak pada ketentuan hukum Islam yang tidak dapat memenuhi tuntutan perubahan zaman. Karena pentingnya pemahaman terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, maka para ulama berpendapat, bahwasanya persyaratan untuk menjadi mujtahid ialah memahami ‘urf yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu para ulama berkata : Adat adalah syariat yang dikuatkan sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara’.[12] Seperti Imam malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah. Ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, mengubah sebagian hukum yang di tetapkan di bagdad.
  1. KESIMPULAN
‘urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya. Hukum-hukum yang didasarkan atas ‘urf pada suatu zaman dan perubahan asalny. Diantara ungkapan yang terkenal yaitu: apa- apa yang dimengerti secara ‘urf adalah seperti diseratkan ‘urf menurut sarat, dan yang telah tetap menurut ‘urf adalah seperti yang telah tetap  menurut nash.
    V.            PENUTUP
Kita sebagai manusia yang dianugerahi akal harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Serta bisa membedakan adat yang shahih dan adat yang fasid dalam kehidupan kapanpun dan dimanapun.
Demikianlah makalah ini saya buat bila ada kesalahan itu lumrah karena manusia tak selamanya benar, walaupun banyak yang mengaku-ngaku dia selalu benar itupun hanya perasaan saja. Terimna Kasih.







DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997
Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung: Risalah, 1985. Prof.Dr Abdul Ghofur Anshori, SH.,M.H, Zulkarnain Harahab, SH .,SI,Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:Kreasi Total Media, 2006.
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani, 1977.




[1] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011. Hlm.209
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Hlm. 227
[3] ‘urf bersifat perbuatan, seperti saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaan tanpa sighat yang diucapkan. Sedang ‘urf yang bersifat ucapan, seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al-walad (الؤلد) atas nama anak laki-laki bukan anak perempuan dan juga saling mengerti mereka agar tidak menguitlakan lafal al-lahm (الحم) yang bermakna daging atas as-samak (السمك) yang bermakna ikan tawar.
[4] Abd. Rahman Dahlan. Op.cit. hlm. 210
[5] Ibid.
[6] Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung: Risalah, 1985. Hlm. 132
[7] Prof.Dr Abdul Ghofur Anshori, SH.,M.H, Zulkarnain Harahab, SH .,SI,Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:Kreasi Total Media, 2006. Hlm:187
[8] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani, 1977. Hlm. 117-118
[9] Abd. Rahman Dahlan. Op.cit. hlm. 211
[10] Abd. Rahman Dahlan. Op.cit. hlm.215
[11] Ibid.
[12] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Op.cit. hlm.118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar