PERKEMBANGAN
TASAWUF DAN TAREKAT ABAD 19 DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Sejarah Perkembangan Tasawuf
Dosen
Pengampu : Ibu Arikhah, M. Ag.
Disusun
Oleh :
Roinal
Rois Al Kalim (124411042)
JURUSAN
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Tasawuf seiring kita temui dalam kazanah dunia
Islam, dan melalui perkembangannya tasawuf kini telah masuk ke Indonesia,
sejarah merupakan hal yang tidak dapat kita lupakan. Ilmu tasawuf yang pada
intinya sebagai usaha menyingkap tabir yang membatasi manusia dengan Allah Swt.
dan juga sebagai usaha untuk melacak cahaya dari kegelapan dunia ini, dengan
sistem yang tersusun melalui latihan ruhaniah atau riadlotun nafs.
Dengan
masuknya tasawuf ke Indonesia kita tau apa itu tasawuf. Jiwa tasawuf adalah
jiwa yang bersih. Pembahasan tasawuf yang dilakukan oleh para tokoh tersebut
juga tentu saja berhubungan dengan tarekat yang beliau praktikan, yang sebagian
besarnya adalah mempraktikan tasawuf akhlaqi, walaupun ada juga yang bernuansa
falsafi, dan tarekat yang beliau amalkan juga beragam, mulai Tarekat
Qadariyyah, Tarekat Naqsyabandiyyah, Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah (TQN),
Khalwatiyyah, Tarekat Sammaniyyah, Tarekat Syatariyyah, serta Tarekat
Naqsabandiyyah Khalidiyyah.
Pada
abad 19 perkembangan tasawuf di Indonesia terdapat tokoh-tokoh yang sangat
berperan penting dengan pemikiran-pemikirannya dan berkembangnya dinamika
tarekat di Nusantara cukup member arti yang signifikan bagi tetap hidupnya
Islam dan kaum muslimin yang mempunyai minat terhadap aspek spiritual Islam ini
dan pemerhati esoterisme[1]
Islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana
perkembangan tasawuf di Indonesia abad 19?
B.
Bagaimana
corak dan karakteristik tasawuf di Indonesia abad 19?
C.
Siapa
tokoh-tokoh tasawuf dan tarekat di Indonesia
abad 19? Dan Bagaimana perannya?
III.
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Tasawuf di Indonesia Abad 19
Dengan pengaruh gerakan Wahabiyah
yang di inspirasi ajaran Ibn Taimiyah sampai juga di Indonesia. Khusus dalam
aspek sufisme, pada permulaan tahun 50-an, melalui buku Hamka “Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya” serta “Tasawuf Modern”, ia berusaha
memperlihatkan bahwa tasawuf yang benar itu adalah yang tetap berakar pada
prinsip tauhid, yakni Tuhan hanya Satu. Artinya, bertasawuf adalah mengisi diri
dengan sifat-sifat kesempurnaan Allah, mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat
ilahiyah, “al-ittishaf bi shifat ar-Rahman ‘ala thaqati’l basyariyah”.
Bertasawuf bukan berarti menolak hidup (duniawi), tetapi bertasawuf juga harus
tetap meleburkan diri ke dalam gelanggang kehidupan masyarakat luas, seperti
kehidupan biasanya.[2]
Namun, Nahdlatul Ulama
(NU) sebagai organisasi Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) sebagai pendukung dan penghayat Tasawuf. NU membina keselarasan antara
tasawuf al-Ghazali dengan Tauhid Asy’ariyah dan Maturidiyah serta hukum fiqh
sesuai dengan salah satu mazhab sunni. Dengan banyaknya tarekat yang
bermunculan, bahwa tarekat yang diakui sah oleh NU hanya tarekat yang sudah
diakui baik dan benar oleh syeikh-syeikh tarekat sedunia, yang disebut Tarekat
al-Mu’tabarah[3]
yang sesuai dengan prinsip-prinsip Aswaja.
Selain dari itu, dalam
pandangan jamaah ini, sufisme sebagai salah satu tradisi keilmuan dan gaya
beragamaan umat Islam, adalah warisan yang sangat berharga dari masa lampau
yang harus dilestarikan sejauh mungkin tanpa menutup pertumbuhan kreativitas
individual. Tradisi merupakan persambungan atau kontinuitas masa lampau dengan
masa kini, yang tidak dapat begitu saja diputuskan tanpa menimbulkan
akibat-akibat yang merugikan individu dan masyarakat. Tradisi keilmuan itu,
sufisme yang melahirkan suatu sikap yang menekankan keterpautan dimensi ukhrawi
dalam kehidupan manusia, adalah sesuatu kenyataan yang tidak bisa di tolak.
Maka dari itu, dari pihak
lembaga pemerintahan berupaya mengaktualkan sufisme di nusantara, munculah dari
Fakultas Ushuluddin IAIN. Gagasan ini bersifat akademis, yakni dengan dibukanya
Jurusan Tasawuf pada fakultas tersebut sekitar tahun akademi 1960/1961 di IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Walau kemudian jurusan in di tutup karena kurangnya peminat,
namun progam studi ilmu Tasawuf di fakultas Ushuluddin IAIN terus dikembangkan
hingga sekarang.[4]
Nampaknya sufisme yang
diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat sebagai lembaga atau
paguyuban. Akan tetapi apabila dilihat dari kegemaran para santri generasi awal
mempelajari tasawuf dari buku-buku yang pada umumnya karangan al-Ghazali,
ternyata belum tercampuri ajaran tarekat.[5]
Dengan demikian, maka tasawuf
yang berkembang pada masa awal itu, didominasi oleh tasawuf aliran sunni. Namun
masih perlu dicatat, bahwa perkiraan ini belum berarti akan meluruskan jalan ke
arah penelusuran perkembang tasawuf di Indonesia. Sampai sekarang, nampaknya
masalah ini belum tuntas yang mengakibatkan timbulnya anggapan yang
mempersamakan tasawuf dengan tarekat. Padahal iu jelas berbeda.
B.
Corak dan Karakteristik Tasawuf di Indonesia
Abad 19
Pada abad 19 ini, karakter tasawuf di Indonesia adalah
sebagai kajian ilmu yang di pelajari dengan bukti munculnya atau berdirinya
IAIN yang memunculkan kajian ilmu tasawuf sebagai prodi atau jurusan. Dan IAIN
dipandang berperan dalam dinamika perkembangan wacana intelektual Islam di
Indonesia karena pendekatannya terhadap Islam yang khas seperti ini. IAIN
selama ini lebih menekankan pemaknaan dan pemahaman yang luas terhadap Islam
(broad definition and understanding of Islam).[6]
Secara antoprologis, sufisme kota di kenal sebagai trend
baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini. Sebelumnya, sufisme lebih dikenal
sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Muslim Abdurrohman,
bisa terjadi minimal karena dua hal: pertama : hijrahnya para pengamal tasawwuf
dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus tasawwuf. Kedua : sejumlah
orang kota bermasalah tengah mencari ketenangan ke pusat-pusat tasawwuf di
desa. Adapun sufisme secara sederhana didifinisikan sebagi gejala minat
masyarakat pada tasawwuf. Sufisme adalah istilah yang popular dalam literatur
barat (Sufism), sedangkan dalam literatur arab dan indonesia hingga 1980-an
adalah tasawwuf.
sufisme kontemporer (biasanya berciri longgar dan terbuka
siapapun bisa masuk) yang aktivitasnya tidak menjiplak model sufi sebelumnya.
Model ini dapat dilihat dalam kelompok-kelompok pengajian eksekutif, seperti
Paramadina, Tazkia Sejati, Grend Wijaya.dan IIMaN. Model ini pula yang
berkembang di kampus-kampus perguruan tinggi umum. Kedua : Sufisme konvesionel.
Yaitu gaya sufisme yang pernah ada sebelumnya dan kini diminati kembali. Model
ini adalah yang berbentuk tarekat (Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Syatariyah,
syadzziliyah, dan lain-lain), ada juga yang nontarekat (banyak di anut kalangan
Muhammadiyah yang merujuk tasawwuf Buya Hamka dan Syekh Khatib
al-Minangkabawi).
C.
Tokoh-tokoh Tasawuf dan Tarekat di
Indonesia Abad 19 dan Perannya
Dengan
berkembangnya sufisme dan tarekat di Indonesia, terdapat tokoh-tokoh yang
berperan penting dalam kelembagaan tarekat di abad modern ini. Adapun tokoh-tokoh
tersebut adalah :
1.
Syekh Muslih Ibn ‘Abd Al-Rahman
Syekh
Muslih Ibn ‘Abd Al-Rahman adalah pendiri TQN (Tarekat Qodiriyah wa
Naqsabandiyah) cabang Mranggen, dilahirkan di desa Mranggen, di Semarang timur
(Jawa Tengah). Beliau lahir pada tahun 1917, karena bapaknya Kiai ‘Abd
Al-Rahman sebagai pendiri sebuah pesantren modern yang telah ia dirikan sendiri
tahun 1905 maka pendidikan agama awalnya di rumah. Dan beliau adalah seorang
keturunan Sunan Kalijaga (salah satu dari Sembilan orang suci Pulau Jawa/Wali
Songo).[7]
Kiai
Muslih juga belajar sebentar di bawah bimbingan Kiai Haji Ibrahim Brumbung, dan
kemudian pergi ke pondok pesantren Termas (Pacitan), dan kemudian ke Sarang
(Rembang), pada setiap pesantren tempat belajarnya tersebut beliau menghabiskan
tiga tahun. Selagi di pesantren Sarang, ia juga berpatisipasi pada halaqah
mingguan Kiai Maksum di Lasem dan belajar Tafsir Jalalayn.[8]
Kiai Muslih juga menerima ijazahnya yang pertamanya untuk
mengajar Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah dari seorang guru dari Banten,
‘Abd al-Latif bin ‘Ali Banten, seorang khalifah Kiai Asnawi Caringin. Dan Kiai
Muslih dibaiat kedua kalinya oleh Kiai Ibrahim Brumbung tapi tidak menerima
ijazah darinya, karena wafat sebelum memberikan ijazah, walaupun demikian
beliau menerima dari Khalifahnya Kiai Ibrahim yaitu ‘Abd Rahman Menur. Beliau
sendiri menyebut keduanya sebagai afiliasinya.[9]
Karya-karya Kiai Muslih ibn ‘Abd al-Rahman yang berbicara
secara rinci tentang tasawuf meliputi :
a.
Al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-Tariqah
al-Qodiriyyah wa al-Naqsabandiyyah
b.
‘Umdak fi al-Salik fi Khayr al-Masalik
c.
Risalah Tuntunan Thariqah Qodiriyyah wa
Naqsabandiyyah
d.
Munajat al-Thariqah al-Qodiriyyah wa
al-Naqsyabandiyyah wa Ad’iyatuha
e.
Al-Nur al-Burhani fi Tarjamat al-Lujayn
al-Dani di Dzikr Nubdzah min Manaqib al-Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jilani.[10]
Fokus
utama studi Kiai Muslih adalah pada tata bahasa Arab tradisional (nahw),
ilmu pokok yang ia ajar bersama dengan fikih di pesantren bapaknya di Mranggen.
Kemudian ia menggantikan sebagai pengasuh pada tahun 1960-an sampai 1970-an,
beliau juga memimpin jaringan tarekat yang paling tersebar luas di Jawa Tengah,
dengan beberapa cabang di luar, seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Selatan.
Pengikutnya
kebanyakan terorganisir ke dalam kelompok lokal, masing-masing di koordinir
oleh seorang wakil (badal) yang memimpin upacara pertemuan-pertemuan
agama mingguan. Dapat dihitung dengan jari wakil-wakil yang diangkat ke
tingkatan khalifah; dengan kekuasaan untuk menyebarkan dengan bebas ajaran
tarekat, terutama Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Pulau Jawa.
Tugas-tugas mereka dibagi antara cabang-cabang di Jawa Timur, Jawa Barat, dan
Jawa Tengah.[11]
2.
K.H. Romly Tamim
Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M.
Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan
diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang
dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu
dibawah asuhan Kyai Kholil.
Dari pendidikan ini
kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim
asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar,
Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru
tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai
Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah
Dalam perkawinan ini tidak membuahkan satu anakpun.
Nama
Kiai Romly Tamim juga merupakan nama paling lekat hubungannya dengan Pondok
Pensantren Darul Ulum (Dar al-‘Ulum).
Pesantren ini adalah di antara paling terkenal di Jombang, Jawa Timur, yang
lainnya Tebuirng, Tambakberas, dan Denanyar.
Pendiri
pesantren Darul Ulum adalah Kiai Tamim Irsyad, ayah Kiai Romly. Sedangkan Kiai
Romly mulai melanjutkan memegang pesantren Darul Ulum pada tahun 1938. Kiai
Dahlan dan Kiai Maksum yang kembali dari studi mereka di Mekkah dan memutuskan
untuk menegaskan dan memajukan kembali Pesantren Darul Ulum, untuk menghormati almamater mereka sebelumnya di Mekkah.
Sebagai tambahan terhadap sistem tradisional, Pesantren Darul Ulum mulai untuk
menerapkan sistem madrasah pada 1933.
Dan di tahun 1948, di mulai penerimaan santri putri, yang pada akhirnya
didirikanlah Madrasah Mu’alimat tahun 1954.[12]
Karya
tulis Kiai Romly Tamim adalah Thamarat
al-Fikriyya: Risalah fi Silsilat al-Tariqa al-Qodiriyyah wa al-Naqsyabandiyya, dan
Tuntunan Amalan Istighosah, yang
aslinya ditulis dalam bahasa Melayu (dalam tulisan Arab).[13]
Dan ciri khas dari Kiai Romly sebagai berikut :
a.
Di
dalam pendahuluan (khutbat al-Kitab),
beliau mengacu pada pendiri TQN,
b.
Satu
bab tentang jumlah paling sedikit dzikir
Naqsyabandi dan dzikir Qodiri yang
boleh dilakukan oleh pengikut,
c.
Bab
atas manfaat Dzikir,
d.
Bab
mengenai manfaat tafakur,
e.
Penjelasan
Kitab al-Islam wa al-Iman,
f.
Bab
tentang rukun iman,
g.
Bab
tentang rukun islam,
h.
Bab
atas Tanbih,
i.
Bab
tentang Khatima fi al-ma’rifa wa
al-syari’ah wa al-tariqoh wa al-haqiqah.[14]
3.
K.H. A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom)
K.H.
A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) lahir pada tanggal 1 Januari 1915 di
Suryalaya, Jawa Barat, putra kelima dari Abah Sepuh, ibunya bernama H.
Juhriyah. Abah Anom juga punya nama lain yaitu Mumun Zakarmudji (H. Shohib).
Abah
Anom menikah dengan Euis Ru’yanah pada tahun 1938 pada usia 23 tahun. Pada
tahun yang sama beliau pergi ke Mekkah ditemani oleh keponakannya, Simri
Hasanuddin dan tinggal di Mekkah selama tujuh bulan untuk belajar. Belaiu
belajar tasawuf dan tarekat dengan
Syekh Romly dari Garut, Wakil Abah Sepuh yang tinggal di Jabal Qubesy, dekat
Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1939, beliau membantu ayahnya
mengajar di Pesantrn Suryalaya dan kemudian membantu dalam perang kemerdekaan
(1945-1949). Pada tahun 1953, beliau ditunjuk untuk memimpin Pesantren
Suryalaya dan bertindak mewakili Abah Sepuh.[15]
Selama
tahun 1953-1962, Abah Anom aktif menolong Tentara Indonesia melawan
pemberontakan Kartosuwiryo. Selama tahun 1962-1995, beliau membantu pemerintah
di daerah Suryalaya dalam hal pertanian, pendidikan, lingkungan, sosial,
kesehatan, koperasi, dan politik.
Abah
Anom juga berhasil menyebarkan TQN di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam,
dan Thailand. Sejak tahun 1980 beliau telah membangun dua puluh dua Pondok
Inabah untuk penanggulangan korban penyalah guna obat dan narkotika, dan selama
lebih 22 Pondok Inabah ini telah menyembuhkan 9.000 anak muda yang kecanduan
obat terlarang tersebut. Pondok Inabah juga didirikan di Singapura dan
Malaysia.[16]
Pandangan Abah Anom Terhadap Peran Tarekat di Masyarakat
Abah
Anom mempunyai pendapat yang sangat definit tentang peran sosial tasawuf.
Beliau mengkritik para orientasi Barat yang menyelenggarakan riset tentang
Sufisme untuk mencari kekurangan-kekurangannya dalam observasi mereka, seraya
beragumentasi bahwa tasawuf adalah bidang kajian yang sulit dan tidak dapat
disentuh oleh mereka yang tidak sepenuhnya mengenal Islam.
Pendapat Abah Anom dapat dimengerti dan
sejalan dengan pendapat W. C. Chittick, ia mengamati bahwa kajian sarjana Barat
tentang zikir itu biasanya “mengabaikan konsep sentral zikir tersebut di dalam
Al-Qur’an yang merupakan sumber asal konsep zikir tersebut. Sebagai gantinya
lebih menekankan pada gerakan fisik, badan dan teknik konsentrasi yang disjikan
oleh banyak tarekat, walaupun kegiatan-kegiatan tersebut tidak selalu menjadi
minat utama di dalam tradisi sufi itu sendiri.”[17]
Bagi
Abah Anom, TQN menyediakan jalan terbaik menuju pencapaian yang diidealkan oleh
Abah Sepuh. Dia merujuk pada tujuan yang selalu dibaca sesudah shalat: Ilahi
anta maqsudi wa ridhoka mathlubi a’tini mahabbataka wa ma’rifatak, yang
artinya “Oh Tuhanku Engkaulah tujuanku, kerelaanMu-lah yang kucari, berikanlah
aku kecintaan kepadaMu dan makrifat terhadapMu”. Doa ini dibaca oleh ikhwan TQN
dua kali sehari sesudah sholat fardhu. Beliau kemudian menguraikan tiga arti
penting dari doa ini yaitu:
a.
Kedekatan
(taqarrub) kepada Allah SWT yang
berarti bahwa membuat seseorang dekat dengan Allah melalui ibadah sampai tidak
ada lagi dinding pemisah antara pengabdi (‘abid)
dan yang disembah (ma’bud), atau
antara pencipta (kholiq) dan yang
diciptakan (makhluq).
b.
Menuju
jalan yang diinginkan oleh Allah baik di dalam beribadah atau diluarnya, karena
dalam tindakan seseorang harus mengikuti aturan-aturan Tuhan dan menjauhi apa
yang dilarang-Nya.
c.
Cinta
dan pengetahuan contoh rasa cinta untuk bersamaan dengan pengetahuan yang jelas
tentang Allah, Dzat yang tidak satu pun yang menyerupai-Nya; cinta yang terdiri
dari kekuatan jiwa dan kejujuran hati.[18]
Apabila
cinta tumbuh, kebijaksanaan timbul, bersamaan dengan sifat-sifat yang lain,
membuat orang betul-betul jujur lahir dan batin. Seseorang akan dapat bertindak
adil dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dari transmisi cinta akan datang sebuah
perasaan cinta terhadap semua makhluk, terhadap negara, bangsa, dan agama.
Pemikiran
Abah Anom dari karyanya Akhlaq al-Karimah
“Hati yang penuh kalimat Allah adalah
yang berdenyut dengan irama keagungan dan kemuliaan Tuhan.” Pikiran dari orang
yang memiliki hati seperti itu adalah berterima kasih bersyukur kepada Tuhan:
seluruh hidupnya adalah kenyataan yang dipersembahkan untuk Tuhan, sedemikian
sehingga ia tampak seperti makhluk dengan kepribadian yang dihiasi dengan sikap
terpuji; manusia seperti itu cintanya (mahabbah)
kepada Tuhan khususnya, dan mempunyai perasaan rasa kasihan pada manusia dan
alam semesta secara umum.[19]
IV.
KESIMPULAN
Ø Sufisme yang diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat sebagi
lembaga atau paguyuban. maka tasawuf yang berkembang pada masa awal
itu, didominasi oleh tasawuf aliran sunni. Namun masih perlu dicatat, bahwa
perkiraan ini belum berarti akan meluruskan jalan ke arah penelusuran
perkembang tasawuf di Indonesia. Sampai sekarang, nampaknya masalah ini belum
tuntas yang mengakibatkan timbulnya anggapan yang mempersamakan tasawuf dengan
tarekat. Padahal iu jelas berbeda.
Ø Tokoh-tokoh Tasawuf dan dan berperan mengembangkan Tarekat di
Indonesia itu adalah :
1.
Syekh
Muslih Ibn ‘Abd Al-Rahman
2.
K.H.
Romly Tamim
3.
K.H.
A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom)
V.
PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya
paparkan serta masih jauh dari kata baik.Oleh sebab itu, masukan dari berbagai
pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam
pemahaman.Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh
hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian
materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.
Bawani,
Imam, Pondok Pesantren “Darul Ulum” Jombang
Jawa Timur, Jakarta: Departemen Agama, 1981.
Hamka,
Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya,
Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978.
Martin
van Bruinessen, “Muslikh of Mranggen”,
dalam Dictionaire Biographique des Savant et Grandes Figures du Monde Musulman
Peripherique, du xixe siècle a nos jours.ed, Marc Gaborieau, et al. Paris:
EHESS, 1992, fasc.2
ms.wikipedia.org/wiki/Esoterisme.
Mulyati,
Sri, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara
Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006.
Muslih
ibn ‘Abd al-Rahman, ‘Umdat al-Salik fi
Khayr al-Masalik, Purworejo: Shirka al-Tijara, tt.
Qowa’id,
“Tarekat dan Politik Kasus Tarekat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Desa Mranggen Demak Jawa Tengah” (M. A.
Thesis), Universitas Indonesia, Jakarta: 1993.
Siregar,
A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke
Neo Sufisme, Ed. 2., Cet. 2., Jakarta: PT RsajaGrafindo Persada, 2002.
[1] Esoterisme
ialah istilah yang dua makna. Mengikut kamus Chambers
20thC dictionary, 1972, esoterisme bermaksud pegangan pendapat
esotorik, dan berasal dari perkataan Yunani “esoterikos” yaitu kata majmuk
(dalam) yaitu (kebatinan), atau (mistik), berlawanan eksoterik. Menurut Istilah
esoterisme adalah sifat-sifat bersama yang menyatukan aliran-aliran, tetapi
tiada satu pun yang menjadikan “kebatinan”, misteri atau rahasia sebagai sifat
penting. Lihat: ms.wikipedia.org/wiki/Esoterisme.
[2] Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan
Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978, h. 235.
[3] Bagi NU menganut tasawuf adalah
yang sejalan dengan tasawuf sunni dan menolak tasawuf syi’i, maka Tarekat
al-Mu’tabarah adalah sufisme dan tarekat yang diterima bersumber dari al-Ghazali
dan Jinaidi al-Baghdadi. Lihat, Prof. H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari
Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Ed. 2., Cet. 2., Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002, h. 221.
[4] Ibid,, h.
223.
[5] Ibid.
[6] Pandangan seperti ini sudah cukup sering
dikemukakan banyak kalangan. Namun, dalam hal ini, kami mengutip penjelasan
Richard G. Kraince, seorang kandidat PhD dari Ohio University yang tengah
mengadakan penelitian tentang IAIN dan modernisasi pendidikan di Indonesia.
Richard G. Kraince, wawancara, Jakarta, 23 Februari 2000.
[7] Nasab beilau sebagai berikut : ‘Abd
al-Rahman ibn Qasidil Haq ibn Abdullah Muhajir (Raden Oyong/Raden Atro Wedono,
Wedono Gubug Porwodadi) ibn Raden Ngabehi Dipowacono/ Dipokusumo ibn Pangeran
Sedokrapyak (Pangeran Wirokusumo) ibn Panembahan Wijil (Panembahan Notoprojo
II) ibn Panembahan Agung (Panembahan Notoprojo I) ibn Panembahan Sabrang ibn
Panembahan Ketib Kadilangu ibn Sunan Hadi (Panembahan Kali) ibn Sunan Kalijaga.
Lihat Qowa’id, “Tarekat dan Politik Kasus Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah di Desa Mranggen Demak Jawa Tengah” (M. A. Thesis), Universitas
Indonesia, Jakarta: 1993, h. 103-105.
[8]
Martin van Bruinessen, “Muslikh of Mranggen”, dalam Dictionaire
Biographique des Savant et Grandes Figures du Monde Musulman Peripherique, du
xixe siècle a nos jours.ed, Marc Gaborieau, et al. Paris: EHESS, 1992,
fasc.2, h. 23-24.
[9] Muslih ibn ‘Abd al-Rahman, ‘Umdat
al-Salik fi Khayr al-Masalik, Purworejo: Shirka al-Tijara, tt., h. 142,
147. Dalam buku Dr. Hj. Sri
Mulyati, MA., Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,
Jakarta: Kencana, 2006, h. 185.
[10] Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., Tasawuf
Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006, h.185.
[12]
Imam Bawani, Pondok Pesantren “Darul
Ulum” Jombang Jawa Timur, Jakarta: Departemen Agama, 1981, h.1-15.
[13] Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., op. cit.,
h. 202.
[14] Ibid., h. 204-205.
[15] Ibid., h. 216-217.
[16] Ibid.
[17] Ibid., h. 220.
[18] Ibid., h.221.
[19]
Abah Anom, Akhlaq al-Karimah, h.
14-15., dalam buku Dr. Hj. Sri
Mulyati, MA., Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,
Jakarta: Kencana, 2006, h. 248-249.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar