Senin, 14 April 2014

PERKEMBANGAN TASAWUF DAN TAREKAT ABAD 19 DI INDONESIA



PERKEMBANGAN TASAWUF DAN TAREKAT ABAD 19 DI INDONESIA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Perkembangan Tasawuf
Dosen Pengampu : Ibu Arikhah, M. Ag.



http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg

Disusun Oleh :
Roinal Rois Al Kalim (124411042)




JURUSAN
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.              PENDAHULUAN
Tasawuf seiring kita temui dalam kazanah dunia Islam, dan melalui perkembangannya tasawuf kini telah masuk ke Indonesia, sejarah merupakan hal yang tidak dapat kita lupakan. Ilmu tasawuf yang pada intinya sebagai usaha menyingkap tabir yang membatasi manusia dengan Allah Swt. dan juga sebagai usaha untuk melacak cahaya dari kegelapan dunia ini, dengan sistem yang tersusun melalui latihan ruhaniah atau riadlotun nafs.
            Dengan masuknya tasawuf ke Indonesia kita tau apa itu tasawuf. Jiwa tasawuf adalah jiwa yang bersih. Pembahasan tasawuf yang dilakukan oleh para tokoh tersebut juga tentu saja berhubungan dengan tarekat yang beliau praktikan, yang sebagian besarnya adalah mempraktikan tasawuf akhlaqi, walaupun ada juga yang bernuansa falsafi, dan tarekat yang beliau amalkan juga beragam, mulai Tarekat Qadariyyah, Tarekat Naqsyabandiyyah, Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah (TQN), Khalwatiyyah, Tarekat Sammaniyyah, Tarekat Syatariyyah, serta Tarekat Naqsabandiyyah Khalidiyyah.
            Pada abad 19 perkembangan tasawuf di Indonesia terdapat tokoh-tokoh yang sangat berperan penting dengan pemikiran-pemikirannya dan berkembangnya dinamika tarekat di Nusantara cukup member arti yang signifikan bagi tetap hidupnya Islam dan kaum muslimin yang mempunyai minat terhadap aspek spiritual Islam ini dan pemerhati esoterisme[1] Islam.

II.           RUMUSAN MASALAH
A.      Bagaimana perkembangan tasawuf di Indonesia abad 19?
B.       Bagaimana corak dan karakteristik tasawuf di Indonesia abad 19?
C.       Siapa tokoh-tokoh tasawuf dan tarekat di Indonesia abad 19? Dan Bagaimana perannya?


III.        PEMBAHASAN
A.      Perkembangan Tasawuf di Indonesia Abad 19
            Dengan pengaruh gerakan Wahabiyah yang di inspirasi ajaran Ibn Taimiyah sampai juga di Indonesia. Khusus dalam aspek sufisme, pada permulaan tahun 50-an, melalui buku Hamka “Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya” serta “Tasawuf Modern”, ia berusaha memperlihatkan bahwa tasawuf yang benar itu adalah yang tetap berakar pada prinsip tauhid, yakni Tuhan hanya Satu. Artinya, bertasawuf adalah mengisi diri dengan sifat-sifat kesempurnaan Allah, mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat ilahiyah, “al-ittishaf bi shifat ar-Rahman ‘ala thaqati’l basyariyah”. Bertasawuf bukan berarti menolak hidup (duniawi), tetapi bertasawuf juga harus tetap meleburkan diri ke dalam gelanggang kehidupan masyarakat luas, seperti kehidupan biasanya.[2]
            Namun, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sebagai pendukung dan penghayat Tasawuf. NU membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan Tauhid Asy’ariyah dan Maturidiyah serta hukum fiqh sesuai dengan salah satu mazhab sunni. Dengan banyaknya tarekat yang bermunculan, bahwa tarekat yang diakui sah oleh NU hanya tarekat yang sudah diakui baik dan benar oleh syeikh-syeikh tarekat sedunia, yang disebut Tarekat al-Mu’tabarah[3] yang sesuai dengan prinsip-prinsip Aswaja.
            Selain dari itu, dalam pandangan jamaah ini, sufisme sebagai salah satu tradisi keilmuan dan gaya beragamaan umat Islam, adalah warisan yang sangat berharga dari masa lampau yang harus dilestarikan sejauh mungkin tanpa menutup pertumbuhan kreativitas individual. Tradisi merupakan persambungan atau kontinuitas masa lampau dengan masa kini, yang tidak dapat begitu saja diputuskan tanpa menimbulkan akibat-akibat yang merugikan individu dan masyarakat. Tradisi keilmuan itu, sufisme yang melahirkan suatu sikap yang menekankan keterpautan dimensi ukhrawi dalam kehidupan manusia, adalah sesuatu kenyataan yang tidak bisa di tolak.
            Maka dari itu, dari pihak lembaga pemerintahan berupaya mengaktualkan sufisme di nusantara, munculah dari Fakultas Ushuluddin IAIN. Gagasan ini bersifat akademis, yakni dengan dibukanya Jurusan Tasawuf pada fakultas tersebut sekitar tahun akademi 1960/1961 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Walau kemudian jurusan in di tutup karena kurangnya peminat, namun progam studi ilmu Tasawuf di fakultas Ushuluddin IAIN terus dikembangkan hingga sekarang.[4]
            Nampaknya sufisme yang diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat sebagai lembaga atau paguyuban. Akan tetapi apabila dilihat dari kegemaran para santri generasi awal mempelajari tasawuf dari buku-buku yang pada umumnya karangan al-Ghazali, ternyata belum tercampuri ajaran tarekat.[5]
            Dengan demikian, maka tasawuf yang berkembang pada masa awal itu, didominasi oleh tasawuf aliran sunni. Namun masih perlu dicatat, bahwa perkiraan ini belum berarti akan meluruskan jalan ke arah penelusuran perkembang tasawuf di Indonesia. Sampai sekarang, nampaknya masalah ini belum tuntas yang mengakibatkan timbulnya anggapan yang mempersamakan tasawuf dengan tarekat. Padahal iu jelas berbeda.

B.       Corak dan Karakteristik Tasawuf di Indonesia Abad 19
Pada abad 19 ini, karakter tasawuf di Indonesia adalah sebagai kajian ilmu yang di pelajari dengan bukti munculnya atau berdirinya IAIN yang memunculkan kajian ilmu tasawuf sebagai prodi atau jurusan. Dan IAIN dipandang berperan dalam dinamika perkembangan wacana intelektual Islam di Indonesia karena pendekatannya terhadap Islam yang khas seperti ini. IAIN selama ini lebih menekankan pemaknaan dan pemahaman yang luas terhadap Islam (broad definition and understanding of Islam).[6]
Secara antoprologis, sufisme kota di kenal sebagai trend baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini. Sebelumnya, sufisme lebih dikenal sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Muslim Abdurrohman, bisa terjadi minimal karena dua hal: pertama : hijrahnya para pengamal tasawwuf dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus tasawwuf. Kedua : sejumlah orang kota bermasalah tengah mencari ketenangan ke pusat-pusat tasawwuf di desa. Adapun sufisme secara sederhana didifinisikan sebagi gejala minat masyarakat pada tasawwuf. Sufisme adalah istilah yang popular dalam literatur barat (Sufism), sedangkan dalam literatur arab dan indonesia hingga 1980-an adalah tasawwuf.
sufisme kontemporer (biasanya berciri longgar dan terbuka siapapun bisa masuk) yang aktivitasnya tidak menjiplak model sufi sebelumnya. Model ini dapat dilihat dalam kelompok-kelompok pengajian eksekutif, seperti Paramadina, Tazkia Sejati, Grend Wijaya.dan IIMaN. Model ini pula yang berkembang di kampus-kampus perguruan tinggi umum. Kedua : Sufisme konvesionel. Yaitu gaya sufisme yang pernah ada sebelumnya dan kini diminati kembali. Model ini adalah yang berbentuk tarekat (Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Syatariyah, syadzziliyah, dan lain-lain), ada juga yang nontarekat (banyak di anut kalangan Muhammadiyah yang merujuk tasawwuf Buya Hamka dan Syekh Khatib al-Minangkabawi).

C.      Tokoh-tokoh Tasawuf dan Tarekat di Indonesia Abad 19 dan Perannya
            Dengan berkembangnya sufisme dan tarekat di Indonesia, terdapat tokoh-tokoh yang berperan penting dalam kelembagaan tarekat di abad modern ini. Adapun tokoh-tokoh tersebut adalah :
1.      Syekh Muslih Ibn ‘Abd Al-Rahman
Syekh Muslih Ibn ‘Abd Al-Rahman adalah pendiri TQN (Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah) cabang Mranggen, dilahirkan di desa Mranggen, di Semarang timur (Jawa Tengah). Beliau lahir pada tahun 1917, karena bapaknya Kiai ‘Abd Al-Rahman sebagai pendiri sebuah pesantren modern yang telah ia dirikan sendiri tahun 1905 maka pendidikan agama awalnya di rumah. Dan beliau adalah seorang keturunan Sunan Kalijaga (salah satu dari Sembilan orang suci Pulau Jawa/Wali Songo).[7]
Kiai Muslih juga belajar sebentar di bawah bimbingan Kiai Haji Ibrahim Brumbung, dan kemudian pergi ke pondok pesantren Termas (Pacitan), dan kemudian ke Sarang (Rembang), pada setiap pesantren tempat belajarnya tersebut beliau menghabiskan tiga tahun. Selagi di pesantren Sarang, ia juga berpatisipasi pada halaqah mingguan Kiai Maksum di Lasem dan belajar Tafsir Jalalayn.[8]
Kiai Muslih juga menerima ijazahnya yang pertamanya untuk mengajar Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah dari seorang guru dari Banten, ‘Abd al-Latif bin ‘Ali Banten, seorang khalifah Kiai Asnawi Caringin. Dan Kiai Muslih dibaiat kedua kalinya oleh Kiai Ibrahim Brumbung tapi tidak menerima ijazah darinya, karena wafat sebelum memberikan ijazah, walaupun demikian beliau menerima dari Khalifahnya Kiai Ibrahim yaitu ‘Abd Rahman Menur. Beliau sendiri menyebut keduanya sebagai afiliasinya.[9]
Karya-karya Kiai Muslih ibn ‘Abd al-Rahman yang berbicara secara rinci tentang tasawuf meliputi :
a.       Al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-Tariqah al-Qodiriyyah wa al-Naqsabandiyyah
b.      ‘Umdak fi al-Salik fi Khayr al-Masalik
c.       Risalah Tuntunan Thariqah Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah
d.      Munajat al-Thariqah al-Qodiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah wa Ad’iyatuha
e.       Al-Nur al-Burhani fi Tarjamat al-Lujayn al-Dani di Dzikr Nubdzah min Manaqib al-Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jilani.[10]
            Fokus utama studi Kiai Muslih adalah pada tata bahasa Arab tradisional (nahw), ilmu pokok yang ia ajar bersama dengan fikih di pesantren bapaknya di Mranggen. Kemudian ia menggantikan sebagai pengasuh pada tahun 1960-an sampai 1970-an, beliau juga memimpin jaringan tarekat yang paling tersebar luas di Jawa Tengah, dengan beberapa cabang di luar, seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
            Pengikutnya kebanyakan terorganisir ke dalam kelompok lokal, masing-masing di koordinir oleh seorang wakil (badal) yang memimpin upacara pertemuan-pertemuan agama mingguan. Dapat dihitung dengan jari wakil-wakil yang diangkat ke tingkatan khalifah; dengan kekuasaan untuk menyebarkan dengan bebas ajaran tarekat, terutama Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Pulau Jawa. Tugas-tugas mereka dibagi antara cabang-cabang di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.[11]
2.      K.H. Romly Tamim
Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M. Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu dibawah asuhan Kyai Kholil.
Dari pendidikan ini kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar, Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah Dalam perkawinan ini tidak membuahkan satu anakpun.
Nama Kiai Romly Tamim juga merupakan nama paling lekat hubungannya dengan Pondok Pensantren Darul Ulum (Dar al-‘Ulum). Pesantren ini adalah di antara paling terkenal di Jombang, Jawa Timur, yang lainnya Tebuirng, Tambakberas, dan Denanyar.
Pendiri pesantren Darul Ulum adalah Kiai Tamim Irsyad, ayah Kiai Romly. Sedangkan Kiai Romly mulai melanjutkan memegang pesantren Darul Ulum pada tahun 1938. Kiai Dahlan dan Kiai Maksum yang kembali dari studi mereka di Mekkah dan memutuskan untuk menegaskan dan memajukan kembali Pesantren Darul Ulum, untuk menghormati almamater mereka sebelumnya di Mekkah. Sebagai tambahan terhadap sistem tradisional, Pesantren Darul Ulum mulai untuk menerapkan sistem madrasah pada 1933. Dan di tahun 1948, di mulai penerimaan santri putri, yang pada akhirnya didirikanlah Madrasah Mu’alimat tahun 1954.[12]
Karya tulis Kiai Romly Tamim adalah Thamarat al-Fikriyya: Risalah fi Silsilat al-Tariqa al-Qodiriyyah wa al-Naqsyabandiyya, dan Tuntunan Amalan Istighosah, yang aslinya ditulis dalam bahasa Melayu (dalam tulisan Arab).[13] Dan ciri khas dari Kiai Romly sebagai berikut :
a.       Di dalam pendahuluan (khutbat al-Kitab), beliau mengacu pada pendiri TQN,
b.      Satu bab tentang jumlah paling sedikit dzikir Naqsyabandi dan dzikir Qodiri yang boleh dilakukan oleh pengikut,
c.       Bab atas manfaat Dzikir,
d.      Bab mengenai manfaat tafakur,
e.       Penjelasan Kitab al-Islam wa al-Iman,
f.       Bab tentang rukun iman,
g.      Bab tentang rukun islam,
h.      Bab atas Tanbih,
i.        Bab tentang Khatima fi al-ma’rifa wa al-syari’ah wa al-tariqoh wa al-haqiqah.[14]
3.      K.H. A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom)
K.H. A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) lahir pada tanggal 1 Januari 1915 di Suryalaya, Jawa Barat, putra kelima dari Abah Sepuh, ibunya bernama H. Juhriyah. Abah Anom juga punya nama lain yaitu Mumun Zakarmudji (H. Shohib).
Abah Anom menikah dengan Euis Ru’yanah pada tahun 1938 pada usia 23 tahun. Pada tahun yang sama beliau pergi ke Mekkah ditemani oleh keponakannya, Simri Hasanuddin dan tinggal di Mekkah selama tujuh bulan untuk belajar. Belaiu belajar tasawuf dan tarekat dengan Syekh Romly dari Garut, Wakil Abah Sepuh yang tinggal di Jabal Qubesy, dekat Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1939, beliau membantu ayahnya mengajar di Pesantrn Suryalaya dan kemudian membantu dalam perang kemerdekaan (1945-1949). Pada tahun 1953, beliau ditunjuk untuk memimpin Pesantren Suryalaya dan bertindak mewakili Abah Sepuh.[15]
Selama tahun 1953-1962, Abah Anom aktif menolong Tentara Indonesia melawan pemberontakan Kartosuwiryo. Selama tahun 1962-1995, beliau membantu pemerintah di daerah Suryalaya dalam hal pertanian, pendidikan, lingkungan, sosial, kesehatan, koperasi, dan politik.
Abah Anom juga berhasil menyebarkan TQN di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Sejak tahun 1980 beliau telah membangun dua puluh dua Pondok Inabah untuk penanggulangan korban penyalah guna obat dan narkotika, dan selama lebih 22 Pondok Inabah ini telah menyembuhkan 9.000 anak muda yang kecanduan obat terlarang tersebut. Pondok Inabah juga didirikan di Singapura dan Malaysia.[16]
Pandangan Abah Anom Terhadap Peran Tarekat di Masyarakat
Abah Anom mempunyai pendapat yang sangat definit tentang peran sosial tasawuf. Beliau mengkritik para orientasi Barat yang menyelenggarakan riset tentang Sufisme untuk mencari kekurangan-kekurangannya dalam observasi mereka, seraya beragumentasi bahwa tasawuf adalah bidang kajian yang sulit dan tidak dapat disentuh oleh mereka yang tidak sepenuhnya mengenal Islam.
 Pendapat Abah Anom dapat dimengerti dan sejalan dengan pendapat W. C. Chittick, ia mengamati bahwa kajian sarjana Barat tentang zikir itu biasanya “mengabaikan konsep sentral zikir tersebut di dalam Al-Qur’an yang merupakan sumber asal konsep zikir tersebut. Sebagai gantinya lebih menekankan pada gerakan fisik, badan dan teknik konsentrasi yang disjikan oleh banyak tarekat, walaupun kegiatan-kegiatan tersebut tidak selalu menjadi minat utama di dalam tradisi sufi itu sendiri.”[17]
Bagi Abah Anom, TQN menyediakan jalan terbaik menuju pencapaian yang diidealkan oleh Abah Sepuh. Dia merujuk pada tujuan yang selalu dibaca sesudah  shalat: Ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi a’tini mahabbataka wa ma’rifatak, yang artinya “Oh Tuhanku Engkaulah tujuanku, kerelaanMu-lah yang kucari, berikanlah aku kecintaan kepadaMu dan makrifat terhadapMu”. Doa ini dibaca oleh ikhwan TQN dua kali sehari sesudah sholat fardhu. Beliau kemudian menguraikan tiga arti penting dari doa ini yaitu:
a.       Kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT yang berarti bahwa membuat seseorang dekat dengan Allah melalui ibadah sampai tidak ada lagi dinding pemisah antara pengabdi (‘abid) dan yang disembah (ma’bud), atau antara pencipta (kholiq) dan yang diciptakan (makhluq).
b.      Menuju jalan yang diinginkan oleh Allah baik di dalam beribadah atau diluarnya, karena dalam tindakan seseorang harus mengikuti aturan-aturan Tuhan dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
c.       Cinta dan pengetahuan contoh rasa cinta untuk bersamaan dengan pengetahuan yang jelas tentang Allah, Dzat yang tidak satu pun yang menyerupai-Nya; cinta yang terdiri dari kekuatan jiwa dan kejujuran hati.[18]
Apabila cinta tumbuh, kebijaksanaan timbul, bersamaan dengan sifat-sifat yang lain, membuat orang betul-betul jujur lahir dan batin. Seseorang akan dapat bertindak adil dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dari transmisi cinta akan datang sebuah perasaan cinta terhadap semua makhluk, terhadap negara, bangsa, dan agama.
            Pemikiran Abah Anom dari karyanya Akhlaq al-Karimah “Hati yang penuh kalimat Allah adalah yang berdenyut dengan irama keagungan dan kemuliaan Tuhan.” Pikiran dari orang yang memiliki hati seperti itu adalah berterima kasih bersyukur kepada Tuhan: seluruh hidupnya adalah kenyataan yang dipersembahkan untuk Tuhan, sedemikian sehingga ia tampak seperti makhluk dengan kepribadian yang dihiasi dengan sikap terpuji; manusia seperti itu cintanya (mahabbah) kepada Tuhan khususnya, dan mempunyai perasaan rasa kasihan pada manusia dan alam semesta secara umum.[19]

IV.        KESIMPULAN
Ø  Sufisme yang diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat sebagi lembaga atau paguyuban. maka tasawuf yang berkembang pada masa awal itu, didominasi oleh tasawuf aliran sunni. Namun masih perlu dicatat, bahwa perkiraan ini belum berarti akan meluruskan jalan ke arah penelusuran perkembang tasawuf di Indonesia. Sampai sekarang, nampaknya masalah ini belum tuntas yang mengakibatkan timbulnya anggapan yang mempersamakan tasawuf dengan tarekat. Padahal iu jelas berbeda.
Ø  Tokoh-tokoh Tasawuf dan dan berperan mengembangkan Tarekat di Indonesia itu adalah :
1.      Syekh Muslih Ibn ‘Abd Al-Rahman
2.      K.H. Romly Tamim
3.      K.H. A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom)


V.          PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik.Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman.Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA
Bawani, Imam, Pondok Pesantren “Darul Ulum” Jombang Jawa Timur, Jakarta: Departemen Agama, 1981.
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978.
Martin van Bruinessen, “Muslikh of Mranggen”, dalam Dictionaire Biographique des Savant et Grandes Figures du Monde Musulman Peripherique, du xixe siècle a nos jours.ed, Marc Gaborieau, et al. Paris: EHESS, 1992, fasc.2
ms.wikipedia.org/wiki/Esoterisme.
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006.
Muslih ibn ‘Abd al-Rahman, ‘Umdat al-Salik fi Khayr al-Masalik, Purworejo: Shirka al-Tijara, tt.
Qowa’id, “Tarekat dan Politik Kasus Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Desa Mranggen Demak Jawa Tengah” (M. A. Thesis), Universitas Indonesia, Jakarta: 1993.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Ed. 2., Cet. 2., Jakarta: PT RsajaGrafindo Persada, 2002.



[1] Esoterisme ialah istilah yang dua makna. Mengikut kamus Chambers 20thC dictionary, 1972, esoterisme bermaksud pegangan pendapat esotorik, dan berasal dari perkataan Yunani “esoterikos” yaitu kata majmuk (dalam) yaitu (kebatinan), atau (mistik), berlawanan eksoterik. Menurut Istilah esoterisme adalah sifat-sifat bersama yang menyatukan aliran-aliran, tetapi tiada satu pun yang menjadikan “kebatinan”, misteri atau rahasia sebagai sifat penting. Lihat: ms.wikipedia.org/wiki/Esoterisme.
[2] Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978, h. 235.
[3] Bagi NU menganut tasawuf adalah yang sejalan dengan tasawuf sunni dan menolak tasawuf syi’i, maka Tarekat al-Mu’tabarah adalah sufisme dan tarekat yang diterima bersumber dari al-Ghazali dan Jinaidi al-Baghdadi. Lihat, Prof. H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Ed. 2., Cet. 2., Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 221.
[4] Ibid,, h. 223.
[5] Ibid.
[6] Pandangan seperti ini sudah cukup sering dikemukakan banyak kalangan. Namun, dalam hal ini, kami mengutip penjelasan Richard G. Kraince, seorang kandidat PhD dari Ohio University yang tengah mengadakan penelitian tentang IAIN dan modernisasi pendidikan di Indonesia. Richard G. Kraince, wawancara, Jakarta, 23 Februari 2000.
[7] Nasab beilau sebagai berikut : ‘Abd al-Rahman ibn Qasidil Haq ibn Abdullah Muhajir (Raden Oyong/Raden Atro Wedono, Wedono Gubug Porwodadi) ibn Raden Ngabehi Dipowacono/ Dipokusumo ibn Pangeran Sedokrapyak (Pangeran Wirokusumo) ibn Panembahan Wijil (Panembahan Notoprojo II) ibn Panembahan Agung (Panembahan Notoprojo I) ibn Panembahan Sabrang ibn Panembahan Ketib Kadilangu ibn Sunan Hadi (Panembahan Kali) ibn Sunan Kalijaga. Lihat Qowa’id, “Tarekat dan Politik Kasus Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Desa Mranggen Demak Jawa Tengah” (M. A. Thesis), Universitas Indonesia, Jakarta: 1993, h. 103-105.
[8] Martin van Bruinessen, “Muslikh of Mranggen”, dalam Dictionaire Biographique des Savant et Grandes Figures du Monde Musulman Peripherique, du xixe siècle a nos jours.ed, Marc Gaborieau, et al. Paris: EHESS, 1992, fasc.2, h. 23-24.
[9] Muslih ibn ‘Abd al-Rahman, ‘Umdat al-Salik fi Khayr al-Masalik, Purworejo: Shirka al-Tijara, tt., h. 142, 147. Dalam buku Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006, h. 185.
[10] Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006, h.185.
[11] Ibid., h.185-186.
[12] Imam Bawani, Pondok Pesantren “Darul Ulum” Jombang Jawa Timur, Jakarta: Departemen Agama, 1981, h.1-15.
[13] Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., op. cit., h. 202.
[14] Ibid., h. 204-205.
[15] Ibid., h. 216-217.
[16] Ibid.
[17] Ibid., h. 220.
[18] Ibid., h.221.
[19] Abah Anom, Akhlaq al-Karimah, h. 14-15., dalam buku Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006, h. 248-249.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar