Selasa, 15 April 2014

CINTA DAN APLIKASI SOSIAL (MAKALAH)







I.             PENDAHULUAN
Cinta, hadirnya berirama lirih gemuruhkan gejolak rasa di dalam dada, dimensi membukakan mata memekakan telinga, mematahkan sendi-sendi yang tadinya tegak berdiri, namun pada nuraninya menjadikan putik-putik nan berbunga.
Cinta adalah indah, ia merupakan sinkronisasi positif sesama positif. Maka dari itu harusnya cinta itu adalah kedamaian, kebahagiaan, juga kebenaran. Namun pada kenyataan kehidupan cinta seakan-akan menjadi hal yang biasa-biasa saja, ia dinodai makna-makna hakikatnya oleh mereka, siapa lagi kalau bukan pelaku kehidupan ini. Sehingga cinta menjadi sempit pemahaman arti maknanya, padahal sesungguhnya cintalah jalan serta tujuan hidup itu, jalan yang terang bagi seluruh alam, hal ini tertegaskan dengan lafadz “Bismillahirrahmanirrahim”, yang artinya dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Dalam aplikasi sosial, cinta merupakan ketulusan yang akan diberikan oleh sang pecinta pada yang dicintainya. Apabila seseorang mencintai suatu daerah dan masyarakatnya, ia akan setulus hati dalam memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat/daerah itu. Karena cinta itu member sepenuhnya , bukanlah cinta sebenarnya jika masih tertakutkan akan balasan cintanya. Ia menjadi kehidupan dalam segalanya, mensubsidikan nafas keharuman dalam keberadaannya.
Dialah cinta, jalan yang seharuanya, penuntun pada sang hakikatnya. Yang apabila dikaitkan dengan sosial masyarakat akan menuntun pada kedamaian, yang menciptakan saling memberi tanpa iri.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan cinta?
B.     Bagaimana hubungan cinta dalam aplikasi sosial kehidupan?



III.       PEMBAHASAN
A.    Definisi Cinta
Nama-nama lain untuk istilah cinta cukup banyak. Ini masalah yang lumrah dalam sesuatu yang dipahami secara mendalam atau rentan bagi hati manusia, sebagai perwujudan pengagungan atau perhatian atau luapan kecintaan kepadanya. Yang pertama seperti singa dan pedang, yang kedua seperti bencana besar dan yang ketiga seperti arak arak yang memabukkan. Tiga pengertian ini menyatu dalam cinta. Sehingga tidak heran jika mereka mempunyai hampir 60 istilah untuk cinta, salah satunya yaitu:
a.       (المحبة ) = Kasih sayang
Makana asalnya adalah bening dan bersih. Karena bangsa Arab menyebut istilah bening ini untuk gigi yang putih. Ada pendapat lain, yang diambilkan dari kata al-habab, yaitu air yang meluap setelah turun hujan yang lebat. Dapat diartikan bahwa al-mahabbah adalah luapan hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu dengan sang kekasih. Ada pula yang mengartikannya tenang dan teguh.[1]
            Jadi, seakan-akan orang yang mencintai itu telah mantap hatinya terhadap orang yang dicintai dan tidak terbetik untuk beralih darinya.
b.      ( العلاقة ) = Cinta, hubungan, segumpal darah
Al-Alaqah bisa juga disebut al-alaq, seperti bentuk al-falaq, yang juga termasuk salah satu istilah cinta. Atau bisa disebut juga al-aliqu, yang berarti mencintai dengan segenap hati. Sedangkan al-alaqah diartikan dengan hubungan, karena hati selalu ingin berhubungan dengan orang yang dicintai.
c.       ( الهوى ) = Hasrat, keinginan
Al-Hawa adalah kecenderungan jiwa kepada sesuatu, bentukan dari kata hawiya yahwa hawan, seperti bentuk amiya ya’ma aman. Sedangkan hawa yahwi artinya jatuh, mashdarnya ialah al-hawiyyu. Disebut al-hawa karena ada hasrat dan keinginan terhadap orang yang dicintai. Namun istilah al-hawa ini sering kali dikonotasikan untuk istilah cinta yang tercela.[2] Seperti firman Allah,
وأمامن خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى. فآن الجنة هي المأوى.  
Artinya:
“Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (An-Nazi’at: 40-41).
Cinta disini disebut dengan istilah al-hawa (nafsu atau hasrat), karena cinta menjadi nafsu dan hasrat orang yang memilikinya.
d.      ( الصبوة ) = Kerinduan
Asal makna kata ini adalah condong. Seperti jika dikatakan, “Shaba ila kadza”, artinya condong kepada sesuatu. Cinta disebut dengan istilah shabwah, karena pelakunya condong kepada wanita yang bersifat kekanak-kanakan. Jama’nya shabaya seperti mathaya dan kata mathiyyah. Sedangkan tashaba artinya saling condong.
e.       ( المقة ) = Cinta.
Al-Miqatu berasal dari kata wamiqa yamiqu menurut bentuk fi’latun, yang artinya cinta. Bentuknya seperti al-‘izhatu, al-‘idatu, az-zinatu. Wamiqa yamiqu artinya mencintai, dn orang yang mencintai disebut wamiqun.[3]
Dalam mendefinisikan cinta belum pernah ditemui satu rumusan tentang cinta yang singkat padat dan mewakili pemahaman akan cinta itu sendiri secara tepat. Ini dikarenakan bahwa pendefinisian itu merupakan suatu hasil pemahaman seseorang terhadap realitas yang dihadapinya, maka sangat mungkin jika definisi  yang dilontarkan seseorang sangat tergantung latar belakang historis yang membuat definisi dan kondisi  yang melingkupi ketika definisi tersebut dilontarkan. Jika melihat cinta sangat erat berkait dengan dimensi perasaan, maka sangat tidak mustahil jika pendefinisian tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dalam cinta.
Kata cinta dalam bahasa Indonesia dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati, (khawatir).[4] Sedangkan dalam kamus psikologi, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi di mana objek itu terletak atau berada.[5]
Dalam pandangan Rumi, cinta sebagai dimensi pengalaman rohani, bukan dalam pengertian teoritis sepenuhnya “mengendalikan” keadaan batin dan “psikologis” sufi. Karena cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Dan Rumi sering menegaskan bahwa cinta adalah pengalaman yang berada di seberang pemikiran tapi sebuah pengalaman yang lebih nyata daripada dunia dan segala yang ada didalamnya.[6]
Apabila cinta dapat dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud tertentu, pada hakikatnya itu tidak dapat dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang demikian, adalah cinta yang dapat dibuat, demi untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang mencintai seseorang supaya seseorang itu memberikan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada yang mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya sendiri, bukan mencintai orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia tidak akan mencintai orang yang dicintainya itu.
Dengan demikian, dalam aplikasi mencinta maka bukan tidak mungkin untuk meniadakan kekerasan, pembatasan, pengekangan, atau hal-hal lain yang dapat mengotori kesucian dari cinta itu sendiri.
Karena itulah, hakikat cinta pada orang yang mencintai adalah memberikan keseluruhan yang ada pada dirinya demi untuk mendapatkan kerelaan daripada pihak yang dicintainya.

B.     Hubungan Cinta dalam Aplikasi Sosial
Cinta membawa dampak atau pengaruh terhadap kehidupan sang pecinta. Karena seluruh hidupnya akan dikerahkan demi tercapainya tujuan utama, yaitu untuk bertemu dengan yang dicintainya (Allah). Sang pencinta mengorbankan segala yang dimiliki (kekayaan, kehormatan, kehendak, kehidupan dan apa pun yang dianggap bermakna bagi manusia) semata-mata hanya untuk yang tercinta, tanpa berfikir atau mengharap ganjaran, Rabi’ah al-Adawiyah pernah bermuhajat kepada TuhanNya.
Hubungan cinta kepada Tuhan, yaitu bagaimana sesorang tidak terkesan bersifat individualis yang hanya mengejar ketentraman batin semata, tetapi bagaimana seseorang dalam mencintai tidak melupakan dimensi lahir dimana dia tinggal tidak hanya hubungan terhadap Tuhan. Akan tetapi hubungan terhadap sesame manusia dan alam merupakan tugas manusia yang Tuhan berikan, sebagaimana tugasnya menjaga kesetabilan hubungan baik. Karena manusia merupakan Kholifatullah fi al-ard.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
إن الصلو ة تنهى عن الفحشاَءوالمنكر
“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”
Dari ayat di atas, dapat difahami bahwa sholat erat hubungannya dengan latihan moral, disatu sisi sholat merupakan dialog antara Kholiq dan makhluk, disisi lain seorang makhluk dituntut supaya dapat mengaplikasikannya dalam kesehariannya, yaitu menjauhi perbuatan jahat dan mendorong untuk selalu berbuak kebajikan.[7]
“Demi kemuliaan-Mu, aku tidak menyembah-Mu karena takut akan siksa neraka, tidak juga karena mengharapkan surga-Mu. Tapi karena cinta kepadaMu, karena memuliakan wajah-Mu yang Maha Mulia”.[8]
Dengan demikian, perasaan cinta kepada Allah akan dapat membina diri dengan perasaan tenang dan lega di mana pun kita berada. Semakin kita cinta kepadaNya maka semakin bebaslah jiwa kita dari sikap dan perasaan negatif, sehingga semakin tentram dan tenanglah batin kita, serta semakin taat dan dekatlah diri kita kepada Allah. Dengan bertambahnya cinta kita kepada Allah, maka tiada yang bertambah dalam diri kita selain iman dan penyerahan diri kepada Allah swt.
Dalam praktiknya, konsep cinta ini tercermin dalam perhatian yang tulus kepada orang-orang yang mendapatkan kesulitan, orang-orang yang memerlukan pertolongan, kaum fuqara dan masakin, orang-orang yang mendapat merupakan musibah, atau orang-orang yang teraniaya. Sebagai bentuk positif dalam mencintai Allah, karena Allah sangat mencintai hamba-Nya yang senang member dan tak berharap tuk di beri.
Dikalangan ahli tasawuf beredar cerita tentang keutamaan beramal untuk meringankan penderitaan orang lain, yang ganjarannya melebihi ibadah-ibadah ritual. Diantaranya adalah menolong orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Misalnya suatu saat bertemulah dua malaikat. Keduanya bercakap-cakap di depan ka’bah . Salah satu malaikat bertanya: “ Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini ? “Sekian ratus ribu”. “Berapa orang yang diterima diantara mereka?” Hanya dua orang, dan salah satunya bahkan tidak menunaikan ibadah haji itu sendiri. “Lalu diceritakan bahwa ketika orang itu berangkat haji dengan perbekalan secukupnya, tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat seorang janda miskin dengan beberapa orang anak yatim yang amat memerlukan pertolongan. Maka diserahkanlah seluruh perbekalan yang ia bawa kepada janda miskin dan anak-anaknya yang yatim itu. Sehingga terpaksa urunglah niatnya untuk naik haji. Dan justru karena itulah, Allah menerima hajinya.[9]
Banyak sabda Nabi saw yang menyuruh kita mencintai orang-orang miskin, akrab bergaul dengan mereka serta banyak pula ajaran yang menunjukkan kepada kita tentang keutamaan orang miskin. Jadi, sikap menyantuni kaum lemah dan mendorong orang-orang untuk melakukan tindakan yang mencerminkan solidaritas social. Sikap itu hanya ada pada diri orang yang benar-benar dihatinya telah dipenuhi rasa cinta kepada Allah sehingga melahirkan kecintaan kepada manusia sesama, karena hati nurani yang tergugah untuk melakukan amal kebaiknan demi mengharap cinta dan kasih sayang Allah semata.
Maka dari itu, cinta dalam aplikasi sosial dengan berbagai bentuk hal yang positif yang diataranya adalah :
Ø  Menyantuni anak yatim
Ø  Menolong orang-orang miskin
Ø  Menebarkan kasih sayang dengan membagikan sebagian rizki yang telah diterima
Ø  Mewujudkan cinta dengan merawat dan melindungi segala ciptaan Allah
Ø  Menjenguk tetangga yang sakit
Ø  Memberikan pertolongan pada korban bencana
Ø  Menjaga kerukunan antar warga
Ø  DLL.


IV.       KESIMPULAN
Cinta dalam aplikasi sosial yakni cinta sebagai media taqarrub Ilahi, hanya saja cinta disini tidak membuat mabuk tidak sadarkan diri  dan mengisolisir dari keramaian, tetapi cinta disini adalah sebagaimana seorang sufi merealisasikan cintanya kepada Allah dengan mencintai sesama makhluk, mencintai kebenaran, keadilan, dan tidak menyukai perbuatan yang merugikan orang lain seperti korupsi dan lain-lain, yang berarti mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh Allah.
Maka dari itu, seorang pencinta akan member sepenuhnya kepada kemauan yang dicinta tanpa mengharap balasan, bukanlah cinta sebenarnya jika masih tertakutkan akan balasan cintanya. Ia menjadi kehidupan dalam segalanya, mensubsidikan nafas keharuman dalam keberadaannya. Dialah cinta, jalan yang seharusnya, penuntun pada sang hakikatnya. Aku, kamu, kalian, juga mereka ialah musafir cinta, maka penuhilah perjalanan ini untuk menjadi Sang Kholifah Cinta.

V.          PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Terj., Jakarta Timur: Darul Falah, 1417 H.
Amin, M. Masyhur, Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Chittick, William C., Jalan Cinta Sang Sufi (Ajaran-ajaran spiritual Jalaluddin Rumi), Terj., cet.6, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007.
Drever, James, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Jakarta: Bina Aksara, 1998.
Siraj, An-Nabawi Jaber dan  Mahmud, Abdussalam A. Halim, Rabi’ah Sang Obor Cinta Sketsa Sufisme Wali Perempuan, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.



[1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Terj., Jakarta Timur: Darul Falah, 1417 H, hal. 4.
[2] Ibid., hal. 8-9.
[3] Ibid., hal. 10-11.
[4] Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 168.
[5] James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Jakarta: Bina Aksara, 1998, hal. 263.
[6] William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi (Ajaran-ajaran spiritual Jalaluddin Rumi), Terj., cet.6, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007, hal. 291-292.
[7] Muhammad Tholhah Hasan, “Islam dan Etika Pembangunan, Tinjauan dari Aspek Ihsan”, dalam: M. Masyhur Amin (editor), Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal. 24.
[8] An-Nabawi Jaber Siraj dan  Abdussalam A. Halim Mahmud, Rabi’ah Sang Obor Cinta Sketsa Sufisme Wali Perempuan, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003, hal. 225.
[9] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 88.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar