I.
PENDAHULUAN
Cinta, hadirnya
berirama lirih gemuruhkan gejolak rasa di dalam dada, dimensi membukakan mata
memekakan telinga, mematahkan sendi-sendi yang tadinya tegak berdiri, namun
pada nuraninya menjadikan putik-putik nan berbunga.
Cinta adalah
indah, ia merupakan sinkronisasi positif sesama positif. Maka dari itu harusnya
cinta itu adalah kedamaian, kebahagiaan, juga kebenaran. Namun pada kenyataan
kehidupan cinta seakan-akan menjadi hal yang biasa-biasa saja, ia dinodai
makna-makna hakikatnya oleh mereka, siapa lagi kalau bukan pelaku kehidupan
ini. Sehingga cinta menjadi sempit pemahaman arti maknanya, padahal
sesungguhnya cintalah jalan serta tujuan hidup itu, jalan yang terang bagi
seluruh alam, hal ini tertegaskan dengan lafadz “Bismillahirrahmanirrahim”, yang
artinya dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Dalam aplikasi
sosial, cinta merupakan ketulusan yang akan diberikan oleh sang pecinta pada
yang dicintainya. Apabila seseorang mencintai suatu daerah dan masyarakatnya,
ia akan setulus hati dalam memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh
masyarakat/daerah itu. Karena cinta itu member sepenuhnya , bukanlah cinta
sebenarnya jika masih tertakutkan akan balasan cintanya. Ia menjadi kehidupan
dalam segalanya, mensubsidikan nafas keharuman dalam keberadaannya.
Dialah cinta,
jalan yang seharuanya, penuntun pada sang hakikatnya. Yang apabila dikaitkan
dengan sosial masyarakat akan menuntun pada kedamaian, yang menciptakan saling
memberi tanpa iri.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
yang dimaksud dengan cinta?
B. Bagaimana
hubungan cinta dalam aplikasi sosial kehidupan?
III. PEMBAHASAN
A. Definisi Cinta
Nama-nama lain
untuk istilah cinta cukup banyak. Ini masalah yang lumrah dalam sesuatu yang
dipahami secara mendalam atau rentan bagi hati manusia, sebagai perwujudan
pengagungan atau perhatian atau luapan kecintaan kepadanya. Yang pertama
seperti singa dan pedang, yang kedua seperti bencana besar dan yang ketiga
seperti arak arak yang memabukkan. Tiga pengertian ini menyatu dalam cinta.
Sehingga tidak heran jika mereka mempunyai hampir 60 istilah untuk cinta, salah
satunya yaitu:
a. (المحبة ) = Kasih
sayang
Makana asalnya adalah bening dan bersih. Karena
bangsa Arab menyebut istilah bening ini untuk gigi yang putih. Ada pendapat
lain, yang diambilkan dari kata al-habab, yaitu air yang meluap setelah
turun hujan yang lebat. Dapat diartikan bahwa al-mahabbah adalah luapan
hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu dengan sang kekasih.
Ada pula yang mengartikannya tenang dan teguh.[1]
Jadi, seakan-akan orang yang
mencintai itu telah mantap hatinya terhadap orang yang dicintai dan tidak
terbetik untuk beralih darinya.
b. (
العلاقة
) = Cinta, hubungan, segumpal darah
Al-Alaqah bisa juga disebut al-alaq,
seperti bentuk al-falaq, yang juga termasuk salah satu istilah cinta.
Atau bisa disebut juga al-aliqu, yang berarti mencintai dengan segenap
hati. Sedangkan al-alaqah diartikan dengan hubungan, karena hati selalu
ingin berhubungan dengan orang yang dicintai.
c. (
الهوى
) = Hasrat, keinginan
Al-Hawa adalah kecenderungan
jiwa kepada sesuatu, bentukan dari kata hawiya yahwa hawan, seperti
bentuk amiya ya’ma aman. Sedangkan hawa yahwi artinya jatuh,
mashdarnya ialah al-hawiyyu. Disebut al-hawa karena ada hasrat
dan keinginan terhadap orang yang dicintai. Namun istilah al-hawa ini
sering kali dikonotasikan untuk istilah cinta yang tercela.[2]
Seperti firman Allah,
وأمامن
خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى. فآن الجنة هي المأوى.
Artinya:
“Dan,
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari
hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”
(An-Nazi’at: 40-41).
Cinta
disini disebut dengan istilah al-hawa (nafsu atau hasrat), karena cinta
menjadi nafsu dan hasrat orang yang memilikinya.
d. (
الصبوة
) = Kerinduan
Asal makna kata ini adalah condong. Seperti jika
dikatakan, “Shaba ila kadza”, artinya condong kepada sesuatu. Cinta
disebut dengan istilah shabwah, karena pelakunya condong kepada wanita
yang bersifat kekanak-kanakan. Jama’nya shabaya seperti mathaya dan
kata mathiyyah. Sedangkan tashaba artinya saling condong.
e. (
المقة
) = Cinta.
Al-Miqatu berasal dari kata wamiqa
yamiqu menurut bentuk fi’latun, yang artinya cinta. Bentuknya
seperti al-‘izhatu, al-‘idatu, az-zinatu. Wamiqa yamiqu artinya
mencintai, dn orang yang mencintai disebut wamiqun.[3]
Dalam
mendefinisikan cinta belum pernah ditemui satu rumusan tentang cinta yang
singkat padat dan mewakili pemahaman akan cinta itu sendiri secara tepat. Ini
dikarenakan bahwa pendefinisian itu merupakan suatu hasil pemahaman seseorang
terhadap realitas yang dihadapinya, maka sangat mungkin jika definisi yang dilontarkan seseorang sangat tergantung
latar belakang historis yang membuat definisi dan kondisi yang melingkupi ketika definisi tersebut
dilontarkan. Jika melihat cinta sangat erat berkait dengan dimensi perasaan,
maka sangat tidak mustahil jika pendefinisian tersebut juga dipengaruhi oleh
pengalaman seseorang dalam cinta.
Kata
cinta dalam bahasa Indonesia dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih
sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap
sekali, rindu, susah hati, (khawatir).[4] Sedangkan
dalam kamus psikologi, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan
terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam
pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi
di mana objek itu terletak atau berada.[5]
Dalam
pandangan Rumi, cinta sebagai dimensi pengalaman rohani, bukan dalam pengertian
teoritis sepenuhnya “mengendalikan” keadaan batin dan “psikologis” sufi. Karena
cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dipahami
melalui pengalaman. Dan Rumi sering menegaskan bahwa cinta adalah pengalaman
yang berada di seberang pemikiran tapi sebuah pengalaman yang lebih nyata
daripada dunia dan segala yang ada didalamnya.[6]
Apabila
cinta dapat dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud tertentu, pada
hakikatnya itu tidak dapat dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang
demikian, adalah cinta yang dapat dibuat, demi untuk sampai kepada tujuan yang
dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang mencintai seseorang supaya seseorang
itu memberikan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada
yang mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya
sendiri, bukan mencintai orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu
yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia tidak akan
mencintai orang yang dicintainya itu.
Dengan
demikian, dalam aplikasi mencinta maka bukan tidak mungkin untuk meniadakan
kekerasan, pembatasan, pengekangan, atau hal-hal lain yang dapat mengotori
kesucian dari cinta itu sendiri.
Karena
itulah, hakikat cinta pada orang yang mencintai adalah memberikan keseluruhan
yang ada pada dirinya demi untuk mendapatkan kerelaan daripada pihak yang
dicintainya.
B. Hubungan Cinta dalam Aplikasi Sosial
Cinta membawa dampak atau pengaruh terhadap kehidupan sang pecinta.
Karena seluruh hidupnya akan dikerahkan demi tercapainya tujuan utama, yaitu
untuk bertemu dengan yang dicintainya (Allah). Sang pencinta mengorbankan
segala yang dimiliki (kekayaan, kehormatan, kehendak, kehidupan dan apa pun
yang dianggap bermakna bagi manusia) semata-mata hanya untuk yang tercinta,
tanpa berfikir atau mengharap ganjaran, Rabi’ah al-Adawiyah pernah bermuhajat
kepada TuhanNya.
Hubungan cinta kepada Tuhan, yaitu bagaimana sesorang tidak
terkesan bersifat individualis yang hanya mengejar ketentraman batin semata,
tetapi bagaimana seseorang dalam mencintai tidak melupakan dimensi lahir dimana
dia tinggal tidak hanya hubungan terhadap Tuhan. Akan tetapi hubungan terhadap
sesame manusia dan alam merupakan tugas manusia yang Tuhan berikan, sebagaimana
tugasnya menjaga kesetabilan hubungan baik. Karena manusia merupakan Kholifatullah
fi al-ard.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
إن الصلو ة تنهى عن الفحشاَءوالمنكر
“Sesungguhnya
sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”
Dari ayat di atas, dapat difahami bahwa sholat erat hubungannya
dengan latihan moral, disatu sisi sholat merupakan dialog antara Kholiq dan
makhluk, disisi lain seorang makhluk dituntut supaya dapat mengaplikasikannya
dalam kesehariannya, yaitu menjauhi perbuatan jahat dan mendorong untuk selalu
berbuak kebajikan.[7]
“Demi kemuliaan-Mu, aku tidak menyembah-Mu karena takut akan siksa
neraka, tidak juga karena mengharapkan surga-Mu. Tapi karena cinta kepadaMu,
karena memuliakan wajah-Mu yang Maha Mulia”.[8]
Dengan demikian, perasaan cinta kepada Allah akan dapat membina
diri dengan perasaan tenang dan lega di mana pun kita berada. Semakin kita
cinta kepadaNya maka semakin bebaslah jiwa kita dari sikap dan perasaan
negatif, sehingga semakin tentram dan tenanglah batin kita, serta semakin taat
dan dekatlah diri kita kepada Allah. Dengan bertambahnya cinta kita kepada
Allah, maka tiada yang bertambah dalam diri kita selain iman dan penyerahan
diri kepada Allah swt.
Dalam
praktiknya, konsep cinta ini tercermin dalam perhatian yang tulus kepada
orang-orang yang mendapatkan kesulitan, orang-orang yang memerlukan
pertolongan, kaum fuqara dan masakin, orang-orang yang mendapat
merupakan musibah, atau orang-orang yang teraniaya. Sebagai bentuk positif
dalam mencintai Allah, karena Allah sangat mencintai hamba-Nya yang senang
member dan tak berharap tuk di beri.
Dikalangan
ahli tasawuf beredar cerita tentang keutamaan beramal untuk meringankan
penderitaan orang lain, yang ganjarannya melebihi ibadah-ibadah ritual.
Diantaranya adalah menolong orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan.
Misalnya
suatu saat bertemulah dua malaikat. Keduanya bercakap-cakap di depan ka’bah .
Salah satu malaikat bertanya: “ Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini ?
“Sekian ratus ribu”. “Berapa orang yang diterima diantara mereka?” Hanya dua
orang, dan salah satunya bahkan tidak menunaikan ibadah haji itu sendiri. “Lalu
diceritakan bahwa ketika orang itu berangkat haji dengan perbekalan secukupnya,
tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat seorang janda miskin dengan beberapa
orang anak yatim yang amat memerlukan pertolongan. Maka diserahkanlah seluruh
perbekalan yang ia bawa kepada janda miskin dan anak-anaknya yang yatim itu.
Sehingga terpaksa urunglah niatnya untuk naik haji. Dan justru karena itulah,
Allah menerima hajinya.[9]
Banyak sabda Nabi saw yang menyuruh kita mencintai orang-orang
miskin, akrab bergaul dengan mereka serta banyak pula ajaran yang menunjukkan
kepada kita tentang keutamaan orang miskin. Jadi, sikap menyantuni kaum lemah
dan mendorong orang-orang untuk melakukan tindakan yang mencerminkan solidaritas
social. Sikap itu hanya ada pada diri orang yang benar-benar dihatinya telah
dipenuhi rasa cinta kepada Allah sehingga melahirkan kecintaan kepada manusia
sesama, karena hati nurani yang tergugah untuk melakukan amal kebaiknan demi
mengharap cinta dan kasih sayang Allah semata.
Maka
dari itu, cinta dalam aplikasi sosial dengan berbagai bentuk hal yang positif
yang diataranya adalah :
Ø Menyantuni
anak yatim
Ø Menolong
orang-orang miskin
Ø Menebarkan
kasih sayang dengan membagikan sebagian rizki yang telah diterima
Ø Mewujudkan
cinta dengan merawat dan melindungi segala ciptaan Allah
Ø Menjenguk
tetangga yang sakit
Ø Memberikan
pertolongan pada korban bencana
Ø Menjaga
kerukunan antar warga
Ø DLL.
IV. KESIMPULAN
Cinta dalam
aplikasi sosial yakni cinta sebagai media taqarrub Ilahi, hanya saja
cinta disini tidak membuat mabuk tidak sadarkan diri dan mengisolisir dari keramaian, tetapi cinta
disini adalah sebagaimana seorang sufi merealisasikan cintanya kepada Allah
dengan mencintai sesama makhluk, mencintai kebenaran, keadilan, dan tidak
menyukai perbuatan yang merugikan orang lain seperti korupsi dan lain-lain,
yang berarti mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang
dibenci oleh Allah.
Maka dari itu,
seorang pencinta akan member sepenuhnya kepada kemauan yang dicinta tanpa
mengharap balasan, bukanlah cinta sebenarnya jika masih tertakutkan akan
balasan cintanya. Ia menjadi kehidupan dalam segalanya, mensubsidikan nafas
keharuman dalam keberadaannya. Dialah cinta, jalan yang seharusnya, penuntun
pada sang hakikatnya. Aku, kamu, kalian, juga mereka ialah musafir cinta,
maka penuhilah perjalanan ini untuk menjadi Sang Kholifah Cinta.
V.
PENUTUP
Demikianlah,
makalah yang saya
paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai
pihak sangatlah saya
harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan
ma’af dan terima kasih saya
haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam
pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu
A’lamu Bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Taman
Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Terj., Jakarta Timur: Darul
Falah, 1417 H.
Amin, M. Masyhur, Moralitas
Pembangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994.
Chittick, William C., Jalan Cinta
Sang Sufi (Ajaran-ajaran spiritual Jalaluddin Rumi), Terj., cet.6,
Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007.
Drever, James, Kamus Psikologi,
Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Jakarta:
Bina Aksara, 1998.
Siraj, An-Nabawi Jaber dan Mahmud, Abdussalam A. Halim, Rabi’ah Sang
Obor Cinta Sketsa Sufisme Wali Perempuan, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1990.
[1]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Terj.,
Jakarta Timur: Darul Falah, 1417 H, hal. 4.
[2] Ibid.,
hal. 8-9.
[3] Ibid.,
hal. 10-11.
[4]
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 168.
[5]
James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin
Dictionary of Psychology, Jakarta: Bina Aksara, 1998, hal. 263.
[6]
William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi (Ajaran-ajaran spiritual Jalaluddin
Rumi), Terj., cet.6, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007, hal. 291-292.
[7]
Muhammad Tholhah Hasan, “Islam dan Etika Pembangunan, Tinjauan dari Aspek
Ihsan”, dalam: M. Masyhur Amin (editor), Moralitas Pembangunan Perspektif
Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal. 24.
[8]
An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A.
Halim Mahmud, Rabi’ah Sang Obor Cinta Sketsa Sufisme Wali Perempuan,
Yogyakarta: Sabda Persada, 2003, hal. 225.
[9]
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal.
88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar