Rabu, 23 April 2014

LARANGAN BERBOHONG (MAKALAH)



I.             PENDAHULUAN
Berbohong (berdusta) merupakan suatu kelakuan buruk yang merupakan dosa bosar yang merusak pribadi dan masyarakat. Karena dusta adalah cacat masyarakat di seluruh zaman, maka ia menyebabkan banyak kehinaan dan keburukan dalam masyarakat itu.
Dusta juga menimbulkan kebencian di antara orang-orang dan menyebabkan kehilangan kepercayaan di antara mereka dan menjadikan mereka saling menjauh tidak saling menjauh tidak saling menolong dan tidak terdapat kerukunan di antara mereka. Karena itu, benarlah Islam menganggap dusta sebagai dosa yang besar.
Dusta memiliki pengaruh yang besar dalam menghancurkan ikatan persatuan dan keharmonisan diantara manusia serta mengembangkan kemunafikan. Sebenarnya penyebab besar menyangkut kesesatan bersumber dari peryatan-peryataan batil dan kata-kata yang tidak bermakna. Bagi manusia yang memiliki niat-niat jahat. Dusta merupakan pintu yang terbuka untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya dengan menyembumyikan fakta-fakta dibalik suatu kebenaran. Dan kemudian menjebak orang-orang yang tidak berdosa atas dusta-dusta yang dilakukanya.   
Sebagaimana hadits Rasulullah:
وعن عبد الله بن عمروبن العا ص رصي الله عنهما ان النبي ص م قا ل: اربع من كن فيه كن منا فقا خا لصا, ومن كا نت فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها: اذااؤ تمن خان, واذا حد ث كذ ب, واذا عاهد غد ر, واذ خاصم فجر.  متفق عليه.
Artinya:
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash ra. Bahwasanya nabi saw. Bersabda: “ada empat sifat dimana bila seseorang memiliki keempat sifat itu maka ia benar-benar munafik, dan barang siapa yang memiliki sebagian dari sifat-sifat nifak sehingga ia meninggalkannya, yaitu: apabila dipercaya ia berkhianat, apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia tidak menepatinya, dan apabila ia keterlaluan.” (HR. Bukhari dan  Muslim).
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dusta?
B.     Sebutkan bentuk-bentuk dusta!
C.     Bagaimana dengan dusta yang diperbolehkan?

III.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Dusta (Bohong)
Bohong adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk.
Ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki kemiripan arti dengan bohong, misalnya tipu, dusta, gombal dan bual. Secara bergantian orang sering memakai kata-kata tersebut untuk hal yang sama. Misalnya ketika seorang pemuda berjanji akan datang membawakan bunga untuk gadis pujaannya namun tidak ditepati, maka cukup lazim jika si pemuda dikatakan ‘bohong’ atau ‘gombal’ atau ‘bual’. Kata ‘tipu’ dan ‘dusta’ sangat jarang digunakan.
Dalam kehidupan keseharian, kata tipu, biasa digunakan untuk seseorang yang mengatakan sesuatu tidak benar demi meraih keuntungan pribadi.[1] Misalnya mengatakan jam yang dimiliki asli sehingga dijual dengan harga mahal. Padahal sesungguhnya jam tersebut merupakan barang palsu. Pada kasus semacam ini, meskipun kata bohong bisa dipakai, tapi yang paling lazim digunakan adalah tipu (kata kerjanya adalah menipu). Artinya, jelas ada perbedaan diantara kata-kata tersebut meskipun semuanya mengandung makna adanya sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas yang terjadi atau diharapkan.
Kata ‘bohong’ (kata kerjanya adalah berbohong) cenderung digunakan untuk kasus-kasus yang bernuansa netral dan biasa.[2] Sebaliknya kata ‘tipu’ biasa digunakan pada kasus-kasus yang cenderung menimbulkan kerugian pihak yang dibohongi atau yang ditipu. Nuansanya cenderung lebih suram atau berbau kriminalitas daripada kata ‘bohong’.
Sedangkan kata ‘dusta’ (kata kerjanya adalah berdusta) memiliki arti sedikit rumit. Kata ini sepertinya digunakan untuk bohong yang sangat berat jika ditimbang secara moral. Kata ‘dusta’ cenderung digunakan pada saat bohong dilakukan, sekaligus adanya pengingkaran terhadap sesuatu yang diyakini benar oleh umumnya masyarakat.[3] Misalnya kalimat “ia mendustai agama”, dimaksudkan adanya pengingkaran kebenaran agama yang dianggap mutlak. Seseorang yang dikatakan berdusta seolah-olah telah melakukan tingkat penyimpangan lebih besar dari sekedar bohong biasa.
Bagaimana dengan kata bual? Terkesan kata ‘bual’, yang merupakan bohong juga, adalah versi lain kata ‘bohong’ untuk peristiwa yang sama sekali kurang penting atau tidak dianggap penting dan tidak pula dianggap serius.[4] Seseorang yang mengaku-ngaku pernah bertamasya ke Antartika, padahal ke kota saja belum pernah, jarang akan dikatakan bohong, lebih mungkin jika dikatakan ‘bual’ sebab kebohongan itu tidak mempengaruhi apa-apa dan malah terdengar bodoh.
Kata ‘gombal’ (kata kerjanya adalah menggombal) memiliki makna agak menyimpang dari kata-kata yang lain. Kata ini cenderung digunakan untuk mengatakan sesuatu melebihi dari porsi sewajarnya dan juga adanya pengingkaran janji.[5] Misalnya, Doni berjanji akan datang apel setiap malam Minggu, selalu membawakan cokelat terbaik, dan mengajak Ita, pacarnya, keliling kota. Kenyataannya tidak demikian. Doni selalu enggan apel apalagi keliling kota, dan boro-boro membawa cokelat. Dalam kasus cokelat ini, Doni dikatakan gombal.
Penggunaan kata-kata di atas, baik bohong, dusta, tipu, gombal maupun bual, sejatinya terserah selera pemakai. Namun demikian tampaknya ada kesepakatan khusus dimana kata tertentu lebih cocok diterapkan.

B.     Bentuk-bentuk Dusta
Ada beberapa bentuk dusta yang sangat dilarang atau berdosa jika dilakukannya, antara lain:
a.       Berlebih-lebihan dalam memberatakan sesuatu, dari yang sejengkal dijadikan sehasta, sehasta dijadikan sedepa. Kalau orang telah terbiasa dengan begitu, maka selamanya tidaklah enak baginya lagi jika tidak melebih-lebihkan.
b.      Mencampuradukkan yang benar dengan yang dusta. Baik dalam perkataan atau dalam perbuatan.
c.       Memotong-motong kebenaran.
d.      Menyatakan dengan mulut sesuatu yang berlainan dari yang terasa di hati, walaupun pada hakikatnya yang dinyatakan itu benar. Seperti orang-orang munafik yang dating pada Nabi Muhammad, mengakui dengan sungguh-sungguh bahwa mereka telah percaya, bahwa beliau adalah pesuruh Allah. Padahal hati kecilnya sendiri tidak mempercayai.[6]
Pada saat diketahui bahwa peryataan itu dusta ialah pada bukti perbuatan, atau pada tingkah laku yang lahir. Karena hanya lidah yang berdusta, adapun perbuatan dan sikap muka itu selalu berlawanan dengan lidah. Lebih baik seseorang yang mengaku terus terang bahwa tidak percaya, karena memang dia belum percaya, tetapi hatinya ragu.
Berdusta sangat dilarang dalam Islam, hal tersebut adalah terlarang. Rosul telah melarang kita untuk berbohong, walaupun untuk sekedar bercanda.
Disebutkan di dalam sebuah riwayat bahwa seorang lelaki pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menawarkan barang di pasar, dan dia bersumpah atas nama Allah Shubhanahu wa ta’alla bahwa dia memberikan harga khusus yang tidak diberikan kepada orang lain guna mendorongnya untuk membeli barangnya, lalu turunlah firman Allah Ta’ala:[7]
{إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً أُوْلَـئِكَ لاَ خَلاَقَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللّهُ وَلاَ يَنظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} (آل عمران: 77)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat kebahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imron: 77).
C.    Dusta yang Diperbolehkan
Dusta ialah memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan kejadiannya, baik dengan sengaja atau tidak dengan sengaja, sedangkan kesengajaan itulah yang memberatkan dosanya. Tetapi adakalanya dusta menjadi mubah (boleh) dan adakalanya wajib.[8]
Setiap tujuan yang baik dapat dicapai dengan berkata benar atau dusta, maka hal ini haram berdusta. Dan jika tidak bisa dicapai kecuali dengan dusta, maka di sini dusta mubah, jika tujuan itu mubah, dan jika tujuan itu wajib dicapai, maka di sini berdusta itu wajib juga.
An-Nawawi berkata: ketahuilah, sesungguhnya asal hukum dusta itu adalah haram, tetapi dibolehkan dalam beberapa perkara, yaitu:
Ø  Setiap perkara terpuji yang mungkin untuk meraihnya tanpa harus berdusta, maka diharamkan untuk berdusta pada perkara tersebut.
Ø  Jika tidak mungkin meraih perkara terpuji itu kecuali dengan berdusta, maka dibolehkan berdusta untuk mendapatkan hasil dari perkara tersebut.
Ø  Jika perkara tersebut adalah hal yang mubah dan tidak mungkin untuk meraihnya kecuali dengan berbohong, maka berbohong pada kondisi ini adalah sesuatu yang mubah.
Ø  Jika perkara itu adalah sesuatu yang wajib, maka diwajibkan berdusta pada kondisi ini.[9]
Contoh: jika melihat orang yang tidak bersalah, terpaksa bersembunyi dari seorang yang akan membunuhnya, atau menganiayanya, maka di sini bedusta itu wajib untuk menyelamatkannya meskipun dengan berbohong
Dan yang lebih baik pada kondisi ini, jika seorang muslim melakukan "tauriyah" yaitu: melafazhkan suatu ibarat yang secara zhahir mempunyai pengertian berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang melafazhkannya.[10] Dalil akan hal ini adalah apa yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain dari Ummu Kultsum, bahwa beliau telah mendengar Rasulullah SAW bersabda.
"Tidak pernah saya mendengar Rasulullah SAW memberikan rukhsah (keringanan) bagi seseorang untuk berdusta, kecuali pada tiga perkara, yaitu; "Pada saat perang, untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai dan ketika seorang lelaki merayu istrinya atau istri merayu suaminya." (diriwayatkan oleh Muslim dari Ummu Kultsum)
Namun dari golongan Salaf Shalihin menerangkan, bahwa dusta dengan jalan membelokkan kata itu dibolehkan demi untuk menghindari berkata dusta. Tentu saja yang dimaksud adalah apabila seorang terpaksa sekali harus berdusta, tetapi karena takut berdusta lalu dihindarinya dengan ucapan yang membelokkan.[11] Jadi sekiranya tidak sangat terpaksa dan tidak ada kepentingan apa-apa, maka tidak dibolehkan cara membelokkan ini ditempuh dan tidak boleh pula terang-terangan. Cara membelokkan ini dalam beberapa hal lebih baik dan lebih ringan ditanggung oleh perasaan.
Ada pula bentuk lain dalam kata-kata yang dibolehkan yaitu yang biasa dalam adat-istiadat, apabila seseorang itu hendak menekankan suatu ucapan yang dikeluarkan suatu ucapan yang dikeluarkan. Misalnya seseorang yang berkata: “Aku sudah berkata pada masalah ini seratuskali bukan?” yang dimaksud di sini bukan pernyataan seratus kali itu hitungannya, tetapi hanyalah untuk menekankan apa yang diucapkan saja, sebab andaikata yang dimaksudkan tidak demikian, padahal ia hanya mengucapkan satu kali saja, tentunya ia termasuk berkata dusta.
Demikianlah bentuk-bentuk dusta yang dibolehkan dan yang dilarang oleh agama. Karena itu kita hendaknya berhati-hati dalam setiap berkata dan bertindak. Sikap jujur dan keterusterangan seseorang akan membawa kemenangan dan kemuliaan.

IV.       KESIMPULAN
Bohong adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat. Dan berdusta merupakan bahaya lidah yang dilarangan keras oleh agama, karena merupakan suatu kelakuan buruk yang melakukan dan merupakan dosa besar yang merusak pribadi dan masyarakat.
Dusta dapat diketahui dari bukti perbuatan, atau pada tingkah laku yang lahir. Karena hanya lidah yang berdusta, adapun perbuatan dan sikap muka itu selalu berlawanan dengan lidah.
Akan tetapi ada dusta yang diperbolehkan asalkan maksud dari tujuan itu baik. Walaupun begitu tetap harus berhati-hati dalam setiap berkata dan bertindak. Karena dusta yang diperbolehkan itu disaat situasi yang sangat terpaksa.

V.          PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, Bahaya Lidah, Terj., Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
http://ewidoyoko.blogspot.com/2011/11/larangan-berbohong-walaupun-untuk.html di unduh pada tangal 09 April 2014 pukul 10.27 WIB.
Muhammad bin Abdullah bin Mu’aidzir, Anjuran Berkata Jujur dan Larangan Berbohong, Terj., IslamHouse.com, 2011.




[1]http://www.psikoterapis.com/?en_apa-beda-bohong-tipu-dusta-gombal-dan-bual-,112 09/04/2014
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5]Ibid.
[6] Imam Al-Ghazali, Bahaya Lidah, Terj., Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hal. 16-17.
[7] Muhammad bin Abdullah bin Mu’aidzir, Anjuran Berkata Jujur dan Larangan Berbohong, Terj., IslamHouse.com, 2011, hal. 10.
[8] Imam Al-Ghazali, op.cit., ­hal. 22.
[9] http://ewidoyoko.blogspot.com/2011/11/larangan-berbohong-walaupun-untuk.html di unduh pada tangal 09 April 2014 pukul 10.27 WIB.
[10] Ibid.
[11] Imam Al-Ghazali, op.cit., hal. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar