Rabu, 23 April 2014

I'TIKAF



I.             PENDAHULUAN
I’tikaf merupakan pelengkap yang didisain untuk mendekatkan hati pada pancaran Rabbani. Melalui dzikir, kontemplasi, introspeksi diri dan bacaan ayat-ayat Qur’ani, seorang yang beri’tikaf berusaha menyucikan jiwa sekaligus mengarahkannya padanilai-nilai transendental Yang Maha Suci, hingga semakin merasakan kedekatan yangmelahirkan kekaguman, rasa cinta, dan menguatkan iman. Tak dapat dipungkiri bahwadalam menjalani liku kehidupan yang penuh warna, manusia kadang disibukkan oleh tugasdan tuntutan hidup hingga (merasa) terjauh dari Ilahi, bahkan sekedar untuk mendeteksisinyal-sinyal Rabbani. Tak jarang hati mengaduh dalam gelisah, atau bahkan menjeritmelalui resah untuk sekedar melepas rindu pada Sang Pencipta, mendambakan ketenanganyang terpancar dariNya. Boleh diduga, untuk itulah momentum i’tikaf dilahirkan agar hati dapat menghimpun segenap energi dalam menggapai sinar-sinar Rabbani.
I’tikaf merupakan ibadah yang seakan menjadi tradisi para Nabi dan orang shaleh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Swt. Nabi Ibrahim dan puteranya Isma’iI Asterekam dalam al-Qur’an pernah diperintah untuk menyucikan area ka’bah untuk kepentingan thawwaf, i’tikaf,ruku’ dan sujud. Allâh berfirman dalam al-baqarah ayat 125 “….dan Kami perintahkan pada Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan rumahKu (ka’bah dan area sekitarnya) untuk orang-orang yang thawwaf, beri’tikaf, danyang ruku’ lagi sujud ”.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan I’tikaf?
B.     Bagaimanakah Hukum I’tikaf?
C.     Kenapa I’tikaf dianjurkan?



III.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian I’tikaf
I’tikaf secara etimologi dimaknai oleh sementara pakar sebagai diam, menetap, menyendiri. Pada mulanya kata ini terambil dari akar kata ‘akafa berarti  focus terhadap sesuatu, sulit dipalingkan. Orang yang memiliki kedalaman fokus hingga sulit dipalingkan dinamai ‘âkif sedang jamaknya ‘âkifûn.
Sementara menurut pengertian syariat, makna I’tikaf ialah berdiam diri di masjid jami’ dengan niat beribadah kepada Allah.[1] Menurut Mashab Hanafi, I’tikaf adalah tinggal atau menetap di masjid yang digunakan untuk shalat berjamaah dalam keadaan berpuasa serta diawali dengan niat untuk beI’tikaf. Sedangkan Mazhab Syafi’I mendefinisikan I’tikaf dengan menetap di masjid yang dilakukan orang-orang tertentu dengan niat.[2]
B.     Hukum I’tikaf
Secara umum i’tikaf terbagi kepada dua macam yaitu : i’tikaf sunnah dan i’tikaf wajib. I’tikaf sunnah adalah i’tikaf yang dilakukan seorang muslim secara tathawwu’ (suka rela) dengan tujuan taqarrub ilallah, mengharap pahala dari-Nya dan dalam rangka ber-qudwah (berteladan) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sementara itu i’tikaf dalam bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh malam terakhir, hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
Adapun i’tikaf wajib adalah i’tikaf nadzar, dimana seseorang mewajibkan beri’tikaf atas dirinya, baik melalui nadzar umum maupun nadzar khusus. Dan nadzar ketaatan wajib ditunaikan
Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal memasukkannya ke dalam sunnah muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya. Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya. Adapun perintah untuk ber’itikaf dalam firman-Nya:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).
Menurut ulama dari madzhab Hanafi, Asy-Syafi’I, dan Hambali, I’tikaf itu minimal dilakukan sebentar saja, yaitu I’tikaf yang hanya di anjurkan.[3] Ketika seseorang lewat di dalam masjid lalu niat I’tikaf, atau ia masuk masjid untuk melakukan shalat fardhu atau shalat sunnat dan niat I’tikaf bersamaan shalat, maka dalam jangka waktu yang relatif singkat tersebut ia sudah mendapatkan pahala sebagai orang yang melakukan I’tikaf. Menurut mereka, tidak ada batas maksimalnya untuk melakukan I’tikaf.
Untuk rukun I’tikaf itu hanya dua:
1.      Niat adalah sesuatu yang urgen dan asasi karena kekokohan niat akan berimplikasi atau berefleksi berbanding lurus dengan niat itu sendiri. Segala rencana dan tujuan di dunia ini tergantung niat.
2.      Berdiam diri di masjid walaupun hanya sebentar
Supaya I’tikaf sah, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Islam dan mumayyiz (sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk).
2.      Suci dari hadats besar
3.      Ketika orang sedang melakukan I’tikaf, seseorang tidak boleh melakukan hubungan seksualdengan istrinya.
4.      Menurut para ulama dari madzhab Hanafi dan Imam Ahmad, orang harus melakukan I’tikaf di masjid yang biasa digunakan untuk shalat berjamaah. Sementara menurut Imam Malik, sah hukumnya I’tikaf di setiap masjid, tanpa ada syarat harus di masjid jami’. Sedangkan dari Imam Syafi’I, sesorang yang bernadzar I’tikaf di sebuah masjid tertentu, ia tidak wajib melakukannya di masjid tersebut. Ia boleh melakukannya di masjid mana saja. Kecuali ia bernadzar di masjid besar. Seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau Masjidil Aqsha. Maka ia wajib melakukannya.[4] 
Disunnahkan bagi mu’takif untuk memperbanyak ibadah sunnah seperti : shalat, membaca Al-Qur’an atau mendengarkannya, berdzikir (bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, beristighfar, bershalawat, dan lain-lain), berdoa dan bermunajat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, waktu i’tikaf bisa dimanfaatkan untuk membaca kitab-kitab yang bermanfaat, mengikuti majelis ta’lim dan semacamnya.
Sementara itu dimakruhkan bagi mu’takif menyibukkan diri dan mengisi waktunya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan sia-sia seperti : banyak tidur atau tidur-tiduran saja, berkumpul-kumpul untuk mengobrol yang tidak jelas dan terarah, bersenda gurau, membaca koran, majalah, novel, dan semacamnya yang tidak sesuai dengan kekhasan suasana i’tikaf.[5]
Dibolehkan bagi mu’takif melakukan hal-hal berikut ini :
a.       Menyisir dan mencukur rambutnya, memotong kukunya, membersihkan badannya dan memakai minyak wangi.
b.      Keluar dari masjid untuk keperluan yang tidak bisa dihindarkan dan tidak mungkin dilakukan didalam masjid, seperti buang hajat, mandi khususnya mandi junub, membersihkan badan dan pakaian dari hal-hal najis, makan dan minum jika tidak ada yang menyediakannya di masjid.
c.       Makan, minum, dan tidur didalam masjid dengan menjaga kebersihannya.
d.      Menghadiri shalat Jum’at di masjid lain jika sholat Jum’at tidak didirikan di masjid dimana ia beri’tikaf.
e.       Melayat jenazah dan membesuk orang sakit seperlunya untuk sekedar memenuhi kewajiban.
f.       Melakukan akad nikah tanpa keluar dari masjid.[6]
Adapun hal-hal yang membatalkan I’tikaf adalah:
a.       Hubungan seksual
b.      Mengeluarkan sperma bukan karena melakukan hubungan seksual
c.       Murtad dari Islam
d.      Mabuk
e.       Makan dan minum pada siang hari ketika orang bersangkutan sedang berkewajiban puasa
f.       Haid dan nifas
g.      Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang bersifat alami.[7]
Seperti yang di firmankan-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 187,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“….. janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”


C.    Hikmah ber-I’tikaf
Kenapa I’tikaf di anjurkan? Karena dalam rangka mendorong hati supaya mau berduaan dengan Allah, dan mendidik jiwa agar bersedia bersedia menghadap Allah dengan berpuasa, berdzikir, dan berfikir jernih tentang nikmat-nikmatNya yang berlimpah ruah, dan tentang bagaimana seseorang menunggu nasibnya pada Hari Kiamat kelak ketika ia dengan mengiba-iba memohon ampunan serta rahmat-Nya.
Jika seorang muslim suka melakukan i’tikaf di masjid, supaya hatinya bergantung kepada rumah Allah Swt. Jadi, orang yang beri’tikaf akan mendapat manfaat yaitu :
1.      Mengikuti dan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2.      Salah satu sarana terbaik untuk ber-taqarrub ilallah.
3.      Salah satu sarana terbaik untuk bermuhasabah dan melakukan evaluasi diri.
4.      Salah satu sarana terbaik untuk mengakrabkan dan mengikatkan diri dengan masjid.
5.      Salah satu sarana terbaik untuk memperoleh ketenangan hati, kesucian jiwa, dan kejernihan pikiran melalui suasana khalwat yang khusyu’.
6.      Salah satu faktor penyempurna ibadah puasa.
7.      Salah satu sarana terbaik untuk mendapatkan Lailatul Qadar.
8.      Mengurangi rasa cinta dunia dan ketergantungan terhadap hal-hal duniawi, dan meningkatkan orientasi ukhrawi dalam diri seorang mukmin.
9.      Menjadi bekal ruhani khusus untuk menjalani kehidupan pada masa-masa sesudahnya.
10.  Salah satu momentum istimewa untuk bisa menikmati lezat dan manisnya ibadah.


IV.       KESIMPULAN
Ø  I’tikaf adalah berdiam diri dan merenungkan segala nikmat yang diberikan-Nya di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah.
Ø  Hukum I’tikaf dapat Sunnah dan juga bisa wajib, I’tikaf bisa sunnah jika dilakukan seorang muslim secara tathawwu’ (suka rela) dengan tujuan taqarrub ilallah, mengharap pahala dari-Nya dan dalam rangka ber-qudwah (berteladan) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Adapun i’tikaf wajib adalah i’tikaf nadzar, dimana seseorang mewajibkan beri’tikaf atas dirinya, baik melalui nadzar umum maupun nadzar khusus.
Ø  Dan hikmah bagi yang mau melakukan I’tikaf adalah a) Mengurangi rasa cinta dunia dan ketergantungan terhadap hal-hal duniawi, dan meningkatkan orientasi ukhrawi dalam diri seorang mukmin. b) Menjadi bekal ruhani khusus untuk menjalani kehidupan pada masa-masa sesudahnya.
V.          PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik.Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman.Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.



DAFTAR PUSTAKA
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Ibadah, Terj. Abdul Rosyad Shiddiq, Cet. 1,  Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.



[1] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah, Terj. Abdul Rosyad Shiddiq, Cet. 1,  Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, h. 669.
[2] http://www.islamnyamuslim.com/2013/06/pengertian-itikaf.html
[3] Syaikh Hasan Ayyub, op.cit., h. 671.
[4] Ibid., h. 671-672.
[5] http://konsultasisyariah.net/content/view/66/89/
[6] Syaikh Hasan Ayyub, op.cit., h. 673-674.
[7] Ibid., h. 676.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar