I.
PENDAHULUAN
I’tikaf
merupakan pelengkap yang didisain untuk mendekatkan hati pada pancaran Rabbani.
Melalui dzikir, kontemplasi, introspeksi diri dan bacaan ayat-ayat Qur’ani,
seorang yang beri’tikaf berusaha menyucikan jiwa sekaligus mengarahkannya
padanilai-nilai transendental Yang Maha Suci, hingga semakin merasakan
kedekatan yangmelahirkan kekaguman, rasa cinta, dan menguatkan iman. Tak dapat
dipungkiri bahwadalam menjalani liku kehidupan yang penuh warna, manusia kadang
disibukkan oleh tugasdan tuntutan hidup hingga (merasa) terjauh dari Ilahi,
bahkan sekedar untuk mendeteksisinyal-sinyal Rabbani. Tak jarang hati mengaduh
dalam gelisah, atau bahkan menjeritmelalui resah untuk sekedar melepas rindu
pada Sang Pencipta, mendambakan ketenanganyang terpancar dariNya. Boleh diduga,
untuk itulah momentum i’tikaf dilahirkan agar hati dapat menghimpun segenap
energi dalam menggapai sinar-sinar Rabbani.
I’tikaf
merupakan ibadah yang seakan menjadi tradisi para Nabi dan orang shaleh dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allâh Swt. Nabi Ibrahim dan puteranya Isma’iI
Asterekam dalam al-Qur’an pernah diperintah untuk menyucikan area ka’bah untuk
kepentingan thawwaf, i’tikaf,ruku’ dan sujud. Allâh berfirman dalam al-baqarah
ayat 125 “….dan Kami perintahkan pada Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan
rumahKu (ka’bah dan area sekitarnya) untuk orang-orang yang thawwaf, beri’tikaf,
danyang ruku’ lagi sujud ”.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
yang dimaksud dengan I’tikaf?
B. Bagaimanakah
Hukum I’tikaf?
C. Kenapa
I’tikaf dianjurkan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
I’tikaf
I’tikaf
secara etimologi dimaknai oleh sementara pakar sebagai diam, menetap, menyendiri.
Pada mulanya kata ini terambil dari akar kata ‘akafa berarti focus
terhadap sesuatu, sulit dipalingkan. Orang yang memiliki kedalaman fokus hingga
sulit dipalingkan dinamai ‘âkif
sedang jamaknya ‘âkifûn.
Sementara
menurut pengertian syariat, makna I’tikaf ialah berdiam diri di masjid jami’
dengan niat beribadah kepada Allah.[1]
Menurut
Mashab Hanafi, I’tikaf adalah tinggal atau menetap di masjid yang digunakan
untuk shalat berjamaah dalam keadaan berpuasa serta diawali dengan niat untuk
beI’tikaf. Sedangkan Mazhab Syafi’I mendefinisikan I’tikaf dengan menetap di
masjid yang dilakukan orang-orang tertentu dengan niat.[2]
B.
Hukum
I’tikaf
Secara umum
i’tikaf terbagi kepada dua macam yaitu : i’tikaf sunnah dan i’tikaf wajib.
I’tikaf sunnah adalah i’tikaf yang dilakukan seorang muslim secara tathawwu’
(suka rela) dengan tujuan taqarrub ilallah, mengharap pahala dari-Nya dan dalam
rangka ber-qudwah (berteladan) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sementara itu i’tikaf dalam bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh malam
terakhir, hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
Adapun i’tikaf
wajib adalah i’tikaf nadzar, dimana seseorang mewajibkan beri’tikaf atas
dirinya, baik melalui nadzar umum maupun nadzar khusus. Dan nadzar ketaatan
wajib ditunaikan
Telah sepakat
ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi
Al Maliki dan Ibnu Baththal memasukkannya ke dalam sunnah muakkadah (yang
dikuatkan) karena Rasulullah tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya. Dan
hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk
melakukannya. Adapun perintah untuk ber’itikaf dalam firman-Nya:
وَعَهِدْنَا
إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan telah Kami perintahkan
kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang
thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).
Menurut ulama dari
madzhab Hanafi, Asy-Syafi’I, dan Hambali, I’tikaf itu minimal dilakukan
sebentar saja, yaitu I’tikaf yang hanya di anjurkan.[3]
Ketika seseorang lewat di dalam masjid lalu niat I’tikaf, atau ia masuk masjid
untuk melakukan shalat fardhu atau shalat sunnat dan niat I’tikaf bersamaan
shalat, maka dalam jangka waktu yang relatif singkat tersebut ia sudah
mendapatkan pahala sebagai orang yang melakukan I’tikaf. Menurut mereka, tidak
ada batas maksimalnya untuk melakukan I’tikaf.
Untuk
rukun I’tikaf itu hanya dua:
1. Niat
adalah sesuatu yang urgen dan asasi karena kekokohan niat akan berimplikasi
atau berefleksi berbanding lurus dengan niat itu sendiri. Segala rencana dan
tujuan di dunia ini tergantung niat.
2. Berdiam
diri di masjid walaupun hanya sebentar
Supaya
I’tikaf sah, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Islam
dan mumayyiz (sudah bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk).
2. Suci
dari hadats besar
3. Ketika
orang sedang melakukan I’tikaf, seseorang tidak boleh melakukan hubungan
seksualdengan istrinya.
4. Menurut
para ulama dari madzhab Hanafi dan Imam Ahmad, orang harus melakukan I’tikaf di
masjid yang biasa digunakan untuk shalat berjamaah. Sementara menurut Imam
Malik, sah hukumnya I’tikaf di setiap masjid, tanpa ada syarat harus di masjid
jami’. Sedangkan dari Imam Syafi’I, sesorang yang bernadzar I’tikaf di sebuah
masjid tertentu, ia tidak wajib melakukannya di masjid tersebut. Ia boleh
melakukannya di masjid mana saja. Kecuali ia bernadzar di masjid besar. Seperti
Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau Masjidil Aqsha. Maka ia wajib melakukannya.[4]
Disunnahkan bagi
mu’takif untuk memperbanyak ibadah sunnah seperti : shalat, membaca Al-Qur’an
atau mendengarkannya, berdzikir (bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir,
beristighfar, bershalawat, dan lain-lain), berdoa dan bermunajat untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, waktu i’tikaf bisa dimanfaatkan
untuk membaca kitab-kitab yang bermanfaat, mengikuti majelis ta’lim dan semacamnya.
Sementara itu
dimakruhkan bagi mu’takif menyibukkan diri dan mengisi waktunya dengan hal-hal
yang tidak bermanfaat atau bahkan sia-sia seperti : banyak tidur atau
tidur-tiduran saja, berkumpul-kumpul untuk mengobrol yang tidak jelas dan
terarah, bersenda gurau, membaca koran, majalah, novel, dan semacamnya yang
tidak sesuai dengan kekhasan suasana i’tikaf.[5]
Dibolehkan
bagi mu’takif melakukan hal-hal berikut ini :
a. Menyisir
dan mencukur rambutnya, memotong kukunya, membersihkan badannya dan memakai
minyak wangi.
b. Keluar
dari masjid untuk keperluan yang tidak bisa dihindarkan dan tidak mungkin
dilakukan didalam masjid, seperti buang hajat, mandi khususnya mandi junub,
membersihkan badan dan pakaian dari hal-hal najis, makan dan minum jika tidak
ada yang menyediakannya di masjid.
c. Makan,
minum, dan tidur didalam masjid dengan menjaga kebersihannya.
d. Menghadiri
shalat Jum’at di masjid lain jika sholat Jum’at tidak didirikan di masjid
dimana ia beri’tikaf.
e. Melayat
jenazah dan membesuk orang sakit seperlunya untuk sekedar memenuhi kewajiban.
f. Melakukan
akad nikah tanpa keluar dari masjid.[6]
Adapun
hal-hal yang membatalkan I’tikaf adalah:
a. Hubungan
seksual
b. Mengeluarkan
sperma bukan karena melakukan hubungan seksual
c. Murtad
dari Islam
d. Mabuk
e. Makan
dan minum pada siang hari ketika orang bersangkutan sedang berkewajiban puasa
f. Haid
dan nifas
g. Keluar
dari masjid tanpa ada keperluan yang bersifat alami.[7]
Seperti
yang di firmankan-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 187,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“….. janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”
C.
Hikmah
ber-I’tikaf
Kenapa
I’tikaf di anjurkan? Karena dalam rangka mendorong hati supaya mau berduaan
dengan Allah, dan mendidik jiwa agar bersedia bersedia menghadap Allah dengan
berpuasa, berdzikir, dan berfikir jernih tentang nikmat-nikmatNya yang
berlimpah ruah, dan tentang bagaimana seseorang menunggu nasibnya pada Hari
Kiamat kelak ketika ia dengan mengiba-iba memohon ampunan serta rahmat-Nya.
Jika
seorang muslim suka melakukan i’tikaf di masjid, supaya hatinya bergantung
kepada rumah Allah Swt. Jadi, orang yang beri’tikaf akan mendapat manfaat yaitu
:
1. Mengikuti
dan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Salah
satu sarana terbaik untuk ber-taqarrub ilallah.
3. Salah
satu sarana terbaik untuk bermuhasabah dan melakukan evaluasi diri.
4. Salah
satu sarana terbaik untuk mengakrabkan dan mengikatkan diri dengan masjid.
5. Salah
satu sarana terbaik untuk memperoleh ketenangan hati, kesucian jiwa, dan
kejernihan pikiran melalui suasana khalwat yang khusyu’.
6. Salah
satu faktor penyempurna ibadah puasa.
7. Salah
satu sarana terbaik untuk mendapatkan Lailatul Qadar.
8. Mengurangi
rasa cinta dunia dan ketergantungan terhadap hal-hal duniawi, dan meningkatkan orientasi
ukhrawi dalam diri seorang mukmin.
9. Menjadi
bekal ruhani khusus untuk menjalani kehidupan pada masa-masa sesudahnya.
10. Salah
satu momentum istimewa untuk bisa menikmati lezat dan manisnya ibadah.
IV.
KESIMPULAN
Ø I’tikaf
adalah berdiam diri dan merenungkan segala nikmat yang diberikan-Nya di dalam
masjid untuk beribadah kepada Allah.
Ø Hukum
I’tikaf dapat Sunnah dan juga bisa wajib, I’tikaf bisa sunnah jika dilakukan
seorang muslim secara tathawwu’ (suka rela) dengan tujuan taqarrub ilallah,
mengharap pahala dari-Nya dan dalam rangka ber-qudwah (berteladan) kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Adapun i’tikaf wajib adalah i’tikaf
nadzar, dimana seseorang mewajibkan beri’tikaf atas dirinya, baik melalui
nadzar umum maupun nadzar khusus.
Ø Dan
hikmah bagi yang mau melakukan I’tikaf adalah a) Mengurangi rasa cinta dunia
dan ketergantungan terhadap hal-hal duniawi, dan meningkatkan orientasi ukhrawi
dalam diri seorang mukmin. b) Menjadi bekal ruhani khusus untuk menjalani
kehidupan pada masa-masa sesudahnya.
V.
PENUTUP
Demikianlah,
makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik.Oleh sebab itu,
masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi
dan memperdalam pemahaman.Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan
dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun
penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi
al-Shawab.
Ayyub,
Syaikh Hasan, Fikih Ibadah, Terj.
Abdul Rosyad Shiddiq, Cet. 1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003.
[1]
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah, Terj.
Abdul Rosyad Shiddiq, Cet. 1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003, h. 669.
[2] http://www.islamnyamuslim.com/2013/06/pengertian-itikaf.html
[3] Syaikh
Hasan Ayyub, op.cit., h. 671.
[4] Ibid., h. 671-672.
[5] http://konsultasisyariah.net/content/view/66/89/
[6]
Syaikh Hasan Ayyub, op.cit., h.
673-674.
[7] Ibid., h. 676.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar