PRIBADI YANG BERSYUKUR
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah : Tafsir
Ayat-ayat Sufistik
Dosen Pengampu : Dr. H.
Hasyim Muhammad, M. Ag.
Disusun Oleh :
Roinal Rois Al Kalim
(124411042)
JURUSAN
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Sepanjang hari,
nikmat dan anugrah Allah Swt. Kita peroleh. Marilah kita lihat diri kita sendiri secara fisik.
Kita diberi indra yang
begitu lengkapnya yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, pernapasan, danperasa. Yang memungkinkan kita mengecap segala
bentuk nikmat duniawi yang enak-enak dan indah. Atau mari kita lihat sekeliling kita,
sinar mentari yang hangat dan tidak pernah lelah membagicerah cayaha,
air dan udara yang
begitu segar, pepohonan sebagai tempat berteduh,
semua itu disediakan
Allah Swt. untuk kita, tanpa membayar.
Itulah sebab Rasulullah
Saw. Menganjurkan agar kita beribadah sebanyak mungkin, sebagai ungkapan syukur
kitakepada-Nya, atas nikmat pemberian-Nya. Ibadah kita kepada-Nya semata-mata berpangkal
dari kesadaran kita sendiri, yakni kesadaran tentang keharusan untuk bersyukur kepada-Nya
karena telah memberi kita begitu banyak nikmat.
Begitu pentingnya bersyukur,
sehingga Allah Swt. memerintahkan kaum Muslimin untuk bersyukur kepada-Nya. Firman-Nya
: (Al-baqarah : 152)
þÎTrãä.ø$$sù öNä.öä.ør& (#rãà6ô©$#ur Í< wur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ
Manusia
diperintahkan bersyukur kepada Allah Swt. bukanlah untuk kepentingan Allah itu
sendiri, karena Allah Swt. ghaniyun ‘anil ‘alamin (tidak memerlukan
apa-apa dari alam semesta), tapi justru untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Karena manusia membutuhkan aturan agar kehidupan bisa berjalan dengan baik.
Karena itu, Allah Swt. yang menciptakan manusia lebih tahu peraturan seperti
apa yang tepat untuk manusia.
Dan ketika
Allah Swt. memerintahkan untuk bersukur, kita harus terlebih dahulu tahu syukur
yang bagaimanakah atau jika kita belum tahu apa itu syukur, kita pahami lebih
lanjut kejelasan syukur yang dimaksut. Ketika kita faham apa maksut dari
keharusan bersyukur tersebut, maka akan terasa nikmat tiada tara dari Allah
Swt. yang begitu luar biasa. Tidak ada kejelekan lagi dari Allah Swt. di mata
hamba-hamba-Nya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Pengertian Syukur?
B.
Bagaimanakah Cara Kita Mensyukuri Nikmat dan Karunia Allah?
C.
Apa Hikmah Bagi Orang-orang yang Mau Bersukur?
D.
Apa Sebab Orang Kurang Bersyukur?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syukur
Secara etimologi (bahasa) kata syukur diambil dari kata syakara,
syukuran, wa syukuran, dan wa syukuran yang berarti berterima kasih
keapda-Nya.Bila
disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka
artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir
artinya yang banyak berterima kasih.[1]
Kata syukur bisa juga di artikan, suatu sifat yang penuh kebaikan
dan rasa menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan
dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.[2]
Ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang dikemukakan tentang pengertian
syukur ini, yaitu sebagai berikut disertai penafsirannya masing-masing.
1.
Surah Al-Furqaan ayat 62
“Dan
dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin
mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (QS. Al-Furqan: 62).
Ayat ini tergolong Makkiyah dan
tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini ada hubungannya
dengan ayat sebelumnya bahwa Allah telah membeberkan beberapa dalil tauhid dan
menunjuk kepada beberapa tanda-tanda kebesaran dan bukti yang ada di dalam alam
yang membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Kemudian Allah kembali
menjelaskan perkataan dan perbuatan mereka yang keji. Karena, sekalipun mereka
telah menyaksikan segala bukti, namun mereka tidak meninggalkan perbuatan
sesatnya malah berpaling dari mengingat Tuhan, sehingga hanya kalau disembah
dan tidak dapat mendatangkan azab kalau tidak disembah. Di samping itu, mereka
membantu para penolong, setan dan menjauhi para penolong ar-Rahman. Jika kau
heran terhadap sesuatu, maka heranlah terhadap perkara mereka, karena
kejahilannya telah sampai kepada membahayakan orang yang datang untuk
memberikan kabar gemberia tentang kebaikan yang meyeluruh jika mreka menaati
Tuhan, dan mengingatkan mereka dari malapetaka dan kebinasaan jika mereka
mengingkari-Nya. Lebih dari itu, rasul tidak mengharapkan imbalan dari dakwah
itu.
Allah juga memerintahkan kepada
rasulnya agar tidak takut terhadap ancaman dan siksaan mereka, tetapi hendaknya
beliau bertawakkal kepada Tuhan, bertasbih seraya memuji-Nya.
Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi
sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan siang silih berganti,
agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengamil pelajaran dari
pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat
tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan
kehidupan akhirat maka dia akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya.
Dengan demikian diketahui bahwa ayat
yang berkenaan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut pada dasarnya
adalah lafal yang berbunyi (ارادشكورا) Jadi arti
syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir
tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.[3]
Penafsiran senada dikemukakan Jalal
al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy
dengan menambahkan bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Rabb yang
telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu.[4]
Departemen
Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas segala
nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya.[5]
Jadi, dapat dipahami bahwa syukur
adalah bersyukur atas segala nikmat Tuhan-Nya dengan mengingat dan berpikir
tentang ciptaan-Nya.
2. Surah
Saba’ ayat 13
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya
dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang
(besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).
Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali
dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba: 13).
Ayat ini tergolong surah Makkiyah
yang tidak ditemukan asbab al-Nuzul, ayat ini menjelaskan bahwa Allah
menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan kepada Sulaiman as,. Yaitu
mereka melaksanakan perintah Sulaiman as untuk membuat istana-istana yang megah
dan patung-patung yang beragam tembaga, kaca dan pualam. Juga piring-piring
besar yang cukup untuk sepuluh orang dan tetap pada tempatnya, tidak berpindah
tempat. Allah berkata kepada mereka “agar mensyukuri-Nya atas segala nikmat yang
telah Dia limpahkan kepada kalian”.
Syukur itu bisa berupa perbuatan begitu pula
bisa berupa perkataan dan bisa pula berupa niat, sebagaimana dikatakan:
أحديكم النعماء مني ثلاث يدي زلساني و
الهير المحيحيا.
Kemudian Dia
menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu dikarenakan
sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas nikmat Allah
swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.[6]
Syukur itu bisa berupa perbuatan
begitu pula bisa berupa perkataan dan bisa pula berupa niat, sebagaimana
dikatakan:Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur
yaitu dikarenakan sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur
atas nikmat Allah swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.
Menurut al-Maragi arti kata asy-Syukur
di atas adalah orang yang berusaha untuk bersyukur. Hati dan lidahnya serta
seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan,
keyakinan dan perbuatan.Dan ada pula yang menyatakan asy-syukur adalah
orang yang melihat kelemahan dirinya sendiri untuk bersyukur.[7]
Sementara itu Ibn Katsir memberikan
arti dari kata asy-syukur adalah berterima kasih atas segala pemberian
dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang.[8]
Penafsiran yang senada dikemukakan
oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman
Ibn Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan
dengan taat menjalankan perintah-Nya.[9]
Jadi, dapat dipahami bahwa syukur
adalah berterima kasih dengan bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya
dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan.
3. Surah
Al-Insaan ayat 9
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Ayat ini tergolong Madaniyah dan
tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini menjelaskan bahwa
Allah tidak meminta dan mengharapkan dari kalian balasan dan lain-lainnya yang
mengurangi pahala, kemudian Allah memperkuat dan menjelaskan lagi bahwa Dia
tidak mengharapkan balasan dari Hamba-Nya, dan tidak pula meminta agar kalian
berterimakasih kepada-Ku, dengan demikian diketahui bahwa ayat yang ada
kaitannya dengan arti syukur dadlam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal
yang berbunyi (شكورا) Menurut al-Maragi
arti kata syukur ini adalah berterimakasih kepada Allah swt.[10]
` Hal senada
dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din
‘Abd ar-Rahman Abi Bakr al-Suyutiy, syukur adalah berterimakasih kepada Allah
swt atas segala nikmat-Nya. Apakah mereka benar-benar mengucapkan hal yang
demikian ataukah hal itu telah diketahui oleh Allah swt, kemudian Dia memuji
kalian, sesungguhnya dengan masalah ini ada dua pendapat.[11]
Berdasarkan penafsiran keempat
mufasir di atas maka dapat disimpulkan bahwa syukur adalah berterimakasih
kepada Allah swt atas segala nikmat-Nya. Demikianlah uraian tentang pengertian
syukur dalam Alquran dengan melihat beberapa penafsiran mufasir terhadap ayat yang
telah ditentukan sebelumnya.
B.
Cara
Mensyukuri Nikmat dan Karunia Allah
Manfaat syukur akan menguntungkan pelakunya. Allah Swt. tidak akan
memperoleh keuntungan atas syukur hamba-Nya dan tidak akan rugi atau berkurang
keagungan-Nya apabila hamba-Nya kufur. Adapun cara mensyukuri nikmat dan
karunia Allah Swt., yaitu :
1. Syukr
al-Qalb (Syukur dengan
Hati)
Ini dilakukan
dengan mengakui sepenuh hati apa pun nikmat yang diperoleh bukan hanya karena kepintaran,
keahlian, dan kerja keras kita, tetapi karena anugrah dan pemberian Allah Swt..
Keyakinan ini membuat sesorang tidak merasa keberatan betapapun kecil dan sedikit
nikmat Allah yang diperolehnya.
Misalnya dulu tidak punya apa-apa sekarang punya kekayaan, dulu
tidak bekerja sekarang dapat pekerjaan, dulu sakit-sakitan sekarang ada dalam
kesehatan, kita cukup sandang dan pangan sementara orang lain hidup dalam
kesulitan. Dengan demikian akan muncul perasaan hati untuk lebih bersyukur
kepada pemberi ni’mat.
2. Syukr
al-Lisân (Syukur dengan
lisan)
Mengakui dengan
ucapan bahwa semua nikmat berasal dari Allah Swt. Pengakuan ini diikuti dengan memuji
Allah Swt. Melalui ucpan Alhamdulillah. Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa
yang paling berhak menerima pujian adalah Allah Swt.
3. Syukr sâiri
al-Jawârih (Syukur dengan
perbuatan)
Yang biasanya
dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan
untuk hal-hal yang positif. Hal ini menggunakan nikmat Allah Swt. Pada jalan dan
perbuatan yang diridhai-Nya.[12]
Sebagai contoh, seseorang yang
mendapatkan kenikmatan yang banyak berupa uang, selain kepentingan diri dan
keluarganya, dana itu juga digunakan untuk kepentingan orang lain seperti
membangun masjid, sarana pendidikan, perbaikan jalan, memberikan beasiswa,
mengatasi kemiskinan dan berbagai kemaslahatan lainnya yang menghantarkan
masyarakat pada kesejahteraan hidup. Inilah sebagian contoh bersyukur dengan
perbuatan/amal baik.
Sikap syukur
perlu menjadi kepribadian setiap muslim. Sikap seperti inilah yang mengingatkan untuk
berterimakasih kepada pemberi nikmat (Allah Swt.) dan perantara nikmat yang
diperolehnya. Dengan bersyukur, ia akan rela dan puas atas nikmat Allah Swt.
yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan usaha guna mendapat nikmat yang
lebih baik.
C.
Hikmah Bagi Orang-orang yang Mau
Bersukur
Ketika
Allah memerintahkan sesuatu kepada kita, pasti ada kebenaran yang akan
diwujudkan, dan ketika Dia melarang, pasti ada keburukan yang hendak dicegah
dari diri kita. Karena itu, bersyukur adalah salah satu yang diperintahkan
Allah Swt. akan memberi manfaat bagi kita. Dalam firman-Nya surah Ibrahim ayat 7 ditegaskan,
øÎ)ur
c©r's?
öNä3/u
ûÈõs9
óOè?öx6x©
öNä3¯RyÎV{
(
ûÈõs9ur
÷Länöxÿ2
¨bÎ)
Î1#xtã
ÓÏt±s9
ÇÐÈ
Dalam ayat tersebut mengemukakan
bahwa ada dua prinsip bersyukur : Pertama, bukti bagi lurusnya barometer
keimanan dalam jiwa manusia. Kedua, jiwa yang bersyukur akan selalu
melakukan muraaqabah (mendekatkan diri kepada Allah Swt.) dalam
mendayagunakan nikmat yang diberikannya itu.[13] Seperti
prinsip bersyukur di atas bisa memberikan empat manfaat yang penting bagi
kehidupan seorang muslim, yaitu:
a. Menyucikan Jiwa
Bersyukur
akan membuat seorang muslim dapat menjaga kesucian jiwanya.
b. Mendorong Jiwa untuk Beramal Saleh
Bersyukur
yang harus ditunjukkan dengan amal saleh membuat seorang muslim selalu
terdorong untuk memanfaatkan apa yang diperolehnya untuk berbagai kebaikan.
c. Menjadikan Orang Lain Ridha
Dengan
bersyukur apa yang diperolehnya akan berguna bagi orang lain dan membuat orang
lain ridha kepada-Nya.
d. Memperbaiki dan Memperlancar Interaksi Sosial
Hanya
orang yang mau bersyukur yang bisa melakukan upaya memperbaiki dan memperlancar
hubungan sosial, karena dia tidak ingin menikmati sendiri apa yang telah
diperolehnya.[14]
Dari uraian di atas tampak bahwa
bersyukur merupakan hal yang paling penting bagi kita dalam kehidupan di dunia
ini yang berdampak positif dalam kehidupan di akhirat nanti.
D.
Sebab Orang Kurang Bersyukur
Syukur pada hakikatnya merupakan konsekuensi
logis bagi manusia sebagai makhluk kepada Allah Swt. Sebagai Tuhan yang telah menciptakan
dan melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap kali manusia terlupa dan
tidak bersukur atas karunia-Nya. Karena itu, ketidak syukuran manusia itu disebabkan
oleh tiga hal.
1. Salah
melakukan ukuran /menilai
Selalu mengukur
suatu nikmat dari Allah Swt. Itu dengan ukuran keinginannya.[15]
Jika keinginannya dipenuhi, ia akan mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, jika belum
dikabulkan, ia akan enggan untuk bersyukur.
2. Selalu melihat
kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat
Perilaku ini
hanya menyuburkan iri, hasad, dan dengki kepada orang lain.[16]
Sedangkan perilaku bagi orang yang beriman haruslah melihat kepada orang yang
kurang beruntung.
3. Menganggap apa
yang didapati dari nikmat Allah Swt. Adalah hasil usahanya
Perilaku ini
menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah Swt. Sebagai pemberi nikmat tersebut.[17]
Padahal tidak ada satu nikmat pun yang datang sendirinya, melainkan Allah Swt.
yang telah mengatur semuanya.
IV.
KESIMPULAN
Dapat dipahami bahwa syukur adalah
bersyukur atas segala nikmat Tuhan-Nya dengan mengingat dan berpikir tentang
ciptaan-Nya. Atau berterima kasih dengan bersyukur atas segala nikmat yang
dilimpahkan-Nya dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan
perbuatan.
Adapun cara mensyukuri nikmat dan karunia Allah Swt., yaitu :
Ø Syukur
dengan Hati
Ø Syukur
dengan lisan
Ø Syukur
dengan perbuatan
Dan
adapun hikmah atau manfaat yang dapat diambil untuk kebutuhan kita sendiri
antara lain :
Ø Dapat
Menyucikan Jiwa
Ø Dapat
Mendorong Jiwa untuk Beramal Saleh
Ø Dapat
Menjadikan Orang Lain Ridha
Ø Dapat Memperbaiki dan Memperlancar Interaksi Sosial
Namun, ada faktor yang mempengaruhi
yang menjadikan ketidaksyukuran tersebut, yaitu :
Ø Salah
melakukan ukuran /menilai
Ø Selalu
melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat
Ø Menganggap
apa yang didapati dari nikmat Allah Swt. Adalah hasil usahanya
Jadi, seluruh kebaikan yang dilakukan atas dasar karena Allâh itu adalah
syukur.
V.
PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh
dari kata baik.Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya
harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman.Tak lupa ucapan
ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak
atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina
al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dimasyqi, Abu al-Fida Ismail Ibn
Katsir al-Quraisyi, Tafsir Alquran al-Azim, Jilid III., Kairo: Dar
al-Hadis, 1414 H/1993 M.
Al-Mahalliy, Jalal al-Din Muhammad Ibn
Ahmad dan Al-Suyuty, Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr, Tafsir Alquran
al-Azim, Libanon: Dar al-Fikr, 1991.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir
al-Maragi, Jilid IV., Beirut: Dar al-Firk, t.th.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi,
Jilid VII., Beirut: Dar al-Firk, t.th.
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus
al-Munawwir Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progesif, 1984.
Asghari, Basri Iba, Solusi Alquran –
Problematika Sosial, politik, dan Budaya, Cet. I., Jakarta: Rinekea Cipta,
1994.
Departemen Agama RI, Alquran dan
Tafsirnya, Jakarta, Ferlia Citra Utama, 1996/1997.
Fathani, Abdul Halim, Ensiklopedi
Hikmah (Memetik Buah Kehidupan di Kebun Hikmah), Jogjakarta: Darul Hikmah,
2008.
Yani, Ahmad, Be Excellent: Menjadi
Pribadi Terpuji, Cet. 1., Jakarta: Al Qalam, 2007.
[1]Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progesif, 1984, h. 785-786.
[2]Basri Iba Asghari, Solusi Alquran – Problematika Sosial, politik,
dan Budaya, Cet. I., Jakarta:
Rinekea Cipta, 1994, h. 68.
[3]Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Jilid VII., Beirut:
Dar al-Firk, t.th, h. 28.
[4]Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd
al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuty, Tafsir Alquran al-Azim, Libanon: Dar
al-Fikr, 1991, h. 266.
[5] Departemen Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jakarta: Ferlia
Citra Utama, 1996/1997, jilid VII, h.
39.
[6] Ahmad Mustafa al-Maragi, Op.cit, Jilid VII, h. 67.
[7]Ibid.
[8]Abu al-Fida Ismail Ibn Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi, Tafsir
Alquran al-Azim, Jilid III., Kairo: Dar al-Hadis, 1414 H/1993 M, h. 507.
[9]Jala al-Din Muhammad Ibn Ahma al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd
al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyutiy, Op.cit, h. 309.
[10]Ahmad Mustafa al-Maragi, op.cit, Jilid IV, h. 455.
[11]Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din ‘Abd
al-Rahman Abi Bakr al-Suyutiy, op.cit, h. 423.
[12]Abdul Halim Fathani, Ensiklopedi Hikmah
(Memetik Buah Kehidupan di Kebun Hikmah), Jogjakarta: Darul Hikmah, 2008,
h. 735.
[13] Drs. H. Ahmad Yani, Be Excellent: Menjadi Pribadi Terpuji, Cet.
1., Jakarta: Al Qalam, 2007, h. 251.
[14] Ibid., h. 251-252.
[15]Abdul Halim Fathani, op.cit, h. 732.
[17]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar