PENGENDALIAN SYAHWAT FARJI’
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :
Tasawuf II
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Muhayya, M.Ag.
Disusun Oleh :
Roinal Rois Al Kalim (124411042)
JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Syahwat
merupakan fitrah manusia dan manusia merasa indah jika syahwatnya terpenuhi
maka syahwat menjadi penggerak tingkah laku. Jika seseorang sedang lapar atau
haus maka tingkahlakunya selalu mengarah kepada tempat dimana dapat diperoleh makanan
dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat seksual maka perilakunya juga
selalu mengarah kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual. Begitulah
seterusnya, perilaku manusia sangat dpengaruhi oleh syahwat apa yang sedang
dominant dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat politik, syahwat pemilikan,
syahwat kenyamanan, syahwat harga diri, syahwat kelezatan dan lain-lainnya..
Syahwat itu wataknya seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan melakukan apa
saja tanpa kendali, karena anak-anak hanya mengikuti dorongan kepuasan, belum
mengerti tanggung jawab.Jika dididik, maka jangankan anak-anak. Binatangpun
tingkahlakunya bisa dikendalikan. Syahwat yang dimanjakan akan mendorong
orang pada pola hidup glamour dan hedonis.
Syahwat, yang
sering diterjemahkan dengan hasrat seksual, sebenarnya memiliki pengertian yang
jauh lebih luas. Dalam pengetian bahasa (Arab), syahwat dimaknai sebagai
kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi
dan materiil. Dalam fitrahnya, syahwat bukanlah sesuatu yang layak dibenci,
namun merupakan karunia Allah yang harus dikendalikan, sehingga memiliki nilai
tambah bagi setiap diri (pribadi) manusia. Ego (nafs) manusia bisa terbawa ke
arah positif atau negatif, tergantung pada kemampuan setiap diri (pribadi)
manusia untuk mengarahkannya. Oleh karenanya, menjadai tugas setiap manusia
untuk mengarahkan syahwat ke arah yang serba positif dan mengendalikannya
jangan sampai menuju ke arah yang serba negatif.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apakah yang dimaksud dengan Syahwat?
B.
Apa Macam-macam Syahwat?
C.
Bagaimanakah cara mengendalikan Syahwat farji’?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syahwat
Kalimat
syahwat disebut al-Qur'an
dalam berbagai kata bentukannya sebanyak tiga belas kali, lima kali di
antaranya dalam bentuk masdar, yakni dua kali
dalam bentuk mufrad dan tiga kali
dalam bentuk jama'.[1] Secara lughawi, syahwat artinya menyukai dan
menyenangi (syahiya,
syaha-yasha, atau syahwatan), sedangkan maknanya adalah
kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya (nuzu’an nafsi ilama turiduhu , نزوع
النّفس الى
ما تريده)[2] Dalam bahasa Arab,
syahwah yang berasal dari
kata شها – شهى
– يشهى – شهوة.
Dengan
singkat Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengartikan syahwat yaitu nafsu atau keinginan
bersetubuh, kebirahian.[3]
Demikian pula WJS Poerwadarminta mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu atau
kegemaran bersetubuh.[4]
Arti yang sama terdapat dalam Kamus
Modern Bahasa Indonesia, syahwat berarti nafsu, keinginan,
terutama keinginan bercampur antara laki-laki dan perempuan.[5]
Adapun
Al-Qur'an menggunakan term syahwat
untuk beberapa arti:
Pertama, dalam kaitannya
dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti pikiran orang karena mengikuti
hawa nafsu seperti dijelaskan dalam al-Qur’an
surat al-Nisa/4:27
Kedua, dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan
dan kesenangan seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali 'Imran/3:14 dan Maryam/19:59.
Ketiga, berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-A'raf/7:81, dan QS.
al-Naml/27:55.
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut
al- Qur’an, di dalam diri manusia
terkandung dorongan-dorongan yang mendesak manusia untuk melakukan hal-hal yang memberikan kepada kepuasan seksual, kepuasan kepemilikan, kepuasan kenyamanan
dan kepuasan harga diri.
Orang-orang yang menapaki jalan Allah, dari
bermacam-macam aliran
(thariqat) dan suluk mereka, telah bersepakat bahwa nafsu insaniah itu sebagai penghalang bagi hati insani untuk mencapai
Tuhannya. Hidayat Allah tidak akan menembus dalam sanubarinya, sebelum ia berhasil
menundukkan bahkan melenyapkan hawa nafsunya.
B.
Macam-macam Syahwat
Dalam
kajian tasawuf-akhlak, nafsu itu lazim dibagi ke dalam dua kategori:
Pertama
adalah nafsu
marah (nafs gadabiyyat), yakni nafsu yang mendorong orang untuk marah
atau benci kepada apa saja yang mengganggu atau berbahaya bagi kehidupannya.
Karena adanya nafsu marah itu, ia berupaya menyingkirkan gangguan atau bahaya
itu, dan kalau ia tidak mampu menyingkirkannya, ia akan didorong oleh nafsu itu
untuk menyingkirkan diri sendiri, agar jauh dari bahaya itu. Kedua adalah
nafsu senang (nafs syahwaniyyat), yakni yang mendorong orang untuk mendapatkan,
memiliki, atau dekat dengan apa yang menyenangkan dirinya.
Nafsu,
yang keberadaannya vital bagi setiap manusia, bersifat buta, dan karena itu
perlu dikembangkan serta dikontrol secara benar dan baik oleh akal atau ajaran
agama. la dapat dimisalkan seperti sungai yang bisa mengalir tenang dan bisa
meluap atau menghancurkan, dan karena itu perlu dikontrol dengan sistem
bendungan dan irigasi yang baik, sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi
kehidupan manusia dan lingkungannya. Nafsu yang tidak terkontrol dengan baik
akan menghasilkan kerusakan, tapi yang terkontrol dengan baik, niscaya membuahkan
kebaikan.
Nafsu
marah yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau
ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang berani dalam
kebenaran. Sebaliknya, bila nafsu marah seseorang tidak dikembangkan niscaya
menjadi manusia pengecut, atau kalau dikembangkan tanpa kendali, niscaya
menjadi manusia nekad, yang merugikan diri sendiri.
Nafsu
senang (syahwat), yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh
akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang bersih
(suci). Sebaliknya, ia akan jatuh menjadi manusia serakah (rakus), bila ia
membiarkan nafsunya berkembang merajalela, tanpa kontrol, atau menjadi manusia
beku, tak berselera, bila nafsu syahwatnya itu dibiarkan tak berkembang.
Demikianlah, nafsu yang bersifat vital itu perlu dikembangkan oleh akal yang
bijaksana, atau akal yang mendapat penerangan dari agama yang benar. Nafsu yang
sering dikatakan senantiasa mendorong kepada kejahatan (nafs ammarat),
tidak lain dari nafsu yang lepas dari kontrol akal yang bijaksana.[6]
Kedua, mencintai kelezatan dunia. jika hati manusia
ini sudah terbelenggu penyakit cinta dunia, kedudukan, popularitas, atau harta kekayaan,
maka syahwat dan nafsunya yang secara alami cenderung pada kejelekan— akan mengendalikan
hatinya agar menjadi budak bagi semua yang dicintainya. Bagaimana jika nafsu
liar ini bebas memangsa dunia yang dicintainya? Akibatnya, bimbingan hati
nurani atas semua jasad akan lepas. Tidak akan ada lagi hidayah yang
membimbingnya, selain dorongan nafsu semata. Demikian halnya dengan pencinta
popularitas, yang mendambakan setiap orang mengenal kebaikan atau kemahirannya,
untuk mendapatkan status yang lebih tinggi di tengah masyarakat.[7]
Penyakit
hati yang satu ini akan menyebabkan munculnya penyakit-penyakit lain, seperti 'ujub
(merasa paling hebat ibadahnya), riya' (sombong), dan terlalu
bergantung pada amal kebaikannya sehingga lupa bahwa di antara kebaikannya
tersimpan banyak kesalahan. Lebih parah lagi jika penyakit dunia dan status ini
menyerang para pemuka agama. Agama akan dijadikan sarana untuk mengumpulkan
materi dan merebut simpati massa, yang pada gilirannya akan mendorongnya
menjadi budak nafsu yang menghalalkan segala cara.
Akan
tetapi, bagi mereka yang mendapatkan pemeliharaan dari Allah, tentu saja tidak
demikian. Bagi mereka, dunia, kedudukan, dan popularitas duniawi yang
didapatkannya tidak akan pernah menggusurnya hanyut dalam kerusakan; karena
semua aspek duniawi yang mereka peroleh tidak pernah mendapat tempat di
hatinya. Mereka bahkan berkuasa mengatur dan mengendalikan dunia sebagaimana
yang dilakukan oleh para nabi, para wali, dan para ulama yang saleh.[8]
Seseorang
yang terpanah cinta dunia menganggap kehidupan itu hanyalah apa yang dapat
dilihat, didengar dan rasakan di dunia ini. Mereka dipermainkan oleh dunianya
sehingga sebanyak-banyaknya mengumpulkan dan menghimpun seluruh materi dunia
yang dia cintai. Banyak manusia yang menjadi buta dan dungu dengan tipuan
dunianya. Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk meraih kemenangan
dalam kompetisi duniawi yang segera akan berakhir dengan kematian, sementara
dirinya lelah karena diperbudak dunia. Mereka selalu merasa belum
mendapatkannya. Padahal mereka tidak merasakan apa pun selain bayangan
fatamorgana yang menjanjikan kesegaran semu di tengah kehausan. Adanya larangan
hubbud-dunya merupakan peringatan agar
setiap orang selalu waspada dalam menghadapi dan mengantisipasi seluruh
problematika dan dinamika kehidupan di dunia.[9]
Ketiga, syahwat dalam arti nafsu seks yang
menyimpang atau free sex. Elisabeth Lukas, seorang logoterapis kondang,
sebagaimana dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman mengatakan: salah satu
prestasi penting dari proses modernisasi di dunia Barat, yakni
melepaskan diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat,
sekaligus berhasil meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua
bidang kehidupan.[10]
Di antaranya, yaitu pertama, “kebebasan seks dan peluang untuk
melakukannya ternyata menjadikan fungsi hubungan seks bukan sebagai ungkapan
cinta kasih melainkan sebagai tuntutan dan keharusan untuk berhasil
meraih puncak kenikmatan; kedua, makin sering terjadi gangguan fungsi
seksual pada pria dan wanita dewasa”.[11]
C.
Upaya Pengendalian Syahwat
Seorang yang
berakal perlu mengetahui bahwa menderita karena menahan keinginan lebih mudah
dari menuruti keinginan itu sendiri. Dampak yang paling kecil yang dihadapi
oleh orang-orang yang selalu mengumbar syahwatnya, mereka tidak dapat merasakan
nikmatnya, karena tidak mudah melepaskan diri dari rasa ketergantungannya,
karena ia telah menjadi kebiasaan hidup mereka, seperti kebiasaan bersetubuh dan
mabuk-mabukkan. Berfikir jernih tentang masalah-masalah seperti itu dapat
mempermudah manusia untuk mengendalikan syhwatnya. Termasuk juga, jika manusia
memikirkan dirinya, maka ia akan menilai syahwatnya sebagai sesuatu yang hina,
karena ia mengetahui bahwa ia dijadikan bukan untuk menyetujui segala keinginan
syahwatnya. Sebab, seekor onta mampu makan lebih banyak dari seekor burung
kecil, karena itu, seekor burung kecil lebih mampu menempuh perjalanan jauh
dari seekor onta.
Begitu juga, pada umumnya binatang
dapat bebas mengumbar nafsunya, karena mereka tidak mempunyai fikiran yang
pelik. Demikian juga, kalau seorang pandai mengendalikan nafsunya dan ia mengetahui
berbagai kekurangannya, pasti ia sadar bahwa ia tidak diciptakan untuk
mengumbar nafsunya.[12]
Menurut Imam Yahya Ibn Hamzah,
perkara terbesar yang sering mencelakakan manusia adalah nafsu perutnya. Nafsu
itulah yang telah mengeluarkan Adam dan Hawa dari tempat abadi ke tempat penuh kehinaan, kerendahan, dan kebutuhan, ketika
mereka berdua melanggar larangan agar tidak memakan buah dari suatu jenis pohon. Tetapi karena nafsu telah mengalahkan mereka, mereka tetap
memakannya. Maka tampaklah aurat keduanya. Sesungguhnya perut adalah sumber nafsu itu, sekaligus merupakan asal mula semua
malapetaka. Sedangkan nafsu seks, yang bersifat birahi hanya mengikuti nafsu
perut.[13]
Menurut
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bahwa cara menepis hawa nafsu ada lima puluh cara dan
yang paling utama di antaranya ada sepuluh cara yaitu:[14]
a. Harus ada semangat secara bebas agar muncul kecemburuan terhadap dirinya
sendiri.
b. Modal kesabaran untuk menghadapi masa-masanya yang terasa pahit.
c. Kekuatan jiwa yang bisa mendorongnya berani menenggak kepahitan itu, karena
keberanian merupakan kesabaran sesaat, dan sebaik-baik hidup adalah yang bisa diketahui
seseorang berkat kesabarannya.
d. Mencermati secara baik akibat suatu kejadian dan mencari kesembuhan dengan
menenggak kepahitan itu.
e. Mengamati dan mempertimbangkan penderitaan yang semakin bertambah dari pada
kenikmatan menuruti nafsu.
f. Mempertahankan kedudukannya di sisi Allah dan di hati manusia. Ini lebih
baik dan lebih bermanfaat baginya daripada kenikmatan karena mengikuti nafsu.
g. Lebih mementingkan kenikmatan menjaga kehormatan daripada kenikmatan
melakukan kedurhakaan.
h. Kesenangan mengalahkan musuh, mengusir dan menimbulkan kemarahannya. Sebab
ia tak akan mendapatkan jaminan keamanan dari mereka. Allah senang jika
hamba-Nya yang Mukmin menghindari musuh-musuh-Nya dan membenci mereka.
i.
Berpikir bahwa dia tidak diperuntukkan bagi
nafsu, tapi dipersiapkan untuk suatu urusan yang besar. Urusan ini tidak akan diperoleh
kecuali dengan memusuhi nafsu.
j.
Jangan membuat diri sendiri seakan-akan kondisi
hewan lebih baik dari kondisinya. Dengan nalurinya, hewan bisa membedakan
antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.
Sedangkan
menurut Ghazâlî yang bisa menundukkan nafsu dan melunakkan kesenangan nafsu itu
hanya tiga, yaitu:[15]
1.
Mencegah kesenangan nafsu. Karena, hewan
tunggangan (kuda) yang nakal itu dapat melunak bila dikurangi makanannya.
2.
Membebani nafsu dengan ibadah yang
berat-berat. Karena, khimar itu bila ditambah muatannya dan dikurangi
makanannya maka menjadi tunduk dan menurut.
3.
Memohon pertolongan Allah Azza wa Jalla
IV. KESIMPULAN
Sumber segala dosa adalah syahwat perut, dan
dari situlah timbul syahwat kemaluan. Dan Manusia akan menganggap baik setiap
kejelekan yang datang dari diri (nafsu)nya dan hampir-hampir tidak dapat
melihat celanya, padahal nafsu tetap memusuhi dan membuat madlarat.
Tidak memakan waktu lama, nafsu itu tentu akan menjerumuskannya ke dalam keterbukaan
aib dan kerusakan, sedangkan ia tidak merasa, kecuali jika Allah menjaganya dan
menolongnya mengalahkan nafsu, dengan anugerah dan rahmatNya.
V.
PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta
masih jauh dari kata baik.Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah
saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman.Tak lupa
ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua
pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina
al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok,
Achmad, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an,
Jakarta: Paramadina, 2000.
Ibn
Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid V, Dar al-Ma’arif.
Depdiknas,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 2002.
Poerwadarminta,
W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka, 1976.
Zain,
Sutan Muhammad, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
tth.
Tim
Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, Anggota IKAPI, 1992.
Al-Qorni,
Uwes, Penyakit Hati, Bandung: Rosda Karya, 2003.
Al-Halwani,
Aba Firdaus dan Sriharini, Manajemen Terapi Qalbu, Yogyakarta: Media
Insani, 2002.
Bastaman,
Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi islami,
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995.
Jauziy,
Al-Imam Ibnul, Terapi Mengatasi Penyakit Rohani, Rembang: Pustaka
Anisah, 2003.
Yahya,
Iman ibn Hamzah, Kiat-Kiat Mengendalikan Nafsu, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001.
Qayyim,
Ibnu, 50 Cara Menepis Hawa Nafsu, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Dar al
Falah, tth.
Imam
Al-Ghazâlî, Minhaj al-'Abidin, Beirut: Dar-al-Fikri, tth.
[1]
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam
Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 2000, hlm. 156
[2] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid
V, Dar al-Ma’arif, hlm, 3432-3435.
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka,, 1976, hlm. 985.
[6] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, Anggota IKAPI, 1992, hlm. 723
[9] Aba Firdaus Al-Halwani dan Sriharini, Manajemen
Terapi Qalbu, Yogyakarta: Media Insani, 2002, hlm. 34 – 35.
[10] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi islami, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995,
hlm. 192.
[11] Ibid.
[12] Al-Imam Ibnul Jauziy, Terapi
Mengatasi Penyakit Rohani, Rembang: Pustaka Anisah, 2003, hlm. 21-22.
[13] Iman Yahya ibn Hamzah, Kiat-Kiat
Mengendalikan Nafsu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 43.
[14] Ibnu Qayyim, 50 Cara Menepis Hawa
Nafsu, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Dar al Falah, tth, hlm. 65 – 69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar