Senin, 14 April 2014

PENGENDALIAN SYAHWAT FARJI’ (MAKALAH))



PENGENDALIAN SYAHWAT FARJI’
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf II
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Muhayya, M.Ag.





 









Disusun Oleh :
Roinal Rois Al Kalim (124411042)




JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.             PENDAHULUAN
Syahwat merupakan fitrah manusia dan manusia merasa indah jika syahwatnya terpenuhi maka syahwat menjadi penggerak tingkah laku. Jika seseorang sedang lapar atau haus maka tingkahlakunya selalu mengarah kepada tempat dimana dapat diperoleh makanan dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat seksual maka perilakunya juga selalu mengarah kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual. Begitulah seterusnya, perilaku manusia sangat dpengaruhi oleh syahwat apa yang sedang dominant dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat politik, syahwat pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga diri, syahwat kelezatan dan lain-lainnya.. Syahwat itu wataknya seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan melakukan apa saja tanpa kendali, karena anak-anak hanya mengikuti dorongan kepuasan, belum mengerti tanggung jawab.Jika dididik, maka jangankan anak-anak. Binatangpun tingkahlakunya bisa dikendalikan. Syahwat yang dimanjakan akan mendorong orang  pada pola hidup glamour dan hedonis.
Syahwat, yang sering diterjemahkan dengan hasrat seksual, sebenarnya memiliki pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengetian bahasa (Arab), syahwat dimaknai sebagai kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi dan materiil. Dalam fitrahnya, syahwat bukanlah sesuatu yang layak dibenci, namun merupakan karunia Allah yang harus dikendalikan, sehingga memiliki nilai tambah bagi setiap diri (pribadi) manusia. Ego (nafs) manusia bisa terbawa ke arah positif atau negatif, tergantung pada kemampuan setiap diri (pribadi) manusia untuk mengarahkannya. Oleh karenanya, menjadai tugas setiap manusia untuk mengarahkan syahwat ke arah yang serba positif dan mengendalikannya jangan sampai menuju ke arah yang serba negatif.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.      Apakah yang dimaksud dengan Syahwat?
B.       Apa Macam-macam Syahwat?
C.       Bagaimanakah cara mengendalikan Syahwat farji’?
III.       PEMBAHASAN
A.      Pengertian Syahwat
            Kalimat syahwat disebut al-Qur'an dalam berbagai kata bentukannya sebanyak tiga belas kali, lima kali di antaranya dalam bentuk masdar, yakni dua kali dalam bentuk mufrad dan tiga kali dalam bentuk jama'.[1] Secara lughawi, syahwat artinya menyukai dan menyenangi (syahiya, syaha-yasha, atau syahwatan), sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya (nuzu’an nafsi ilama turiduhu , نزوع النّفس الى ما تريده)[2] Dalam bahasa Arab, syahwah yang berasal dari kata شهاشهىيشهى شهوة.
            Dengan singkat Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan syahwat yaitu nafsu atau keinginan bersetubuh, kebirahian.[3] Demikian pula WJS Poerwadarminta mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu atau kegemaran bersetubuh.[4] Arti yang sama terdapat dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, syahwat berarti nafsu, keinginan, terutama keinginan bercampur antara laki-laki dan perempuan.[5]
            Adapun Al-Qur'an menggunakan term syahwat untuk beberapa arti:
Pertama, dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Nisa/4:27
Kedua, dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan dan kesenangan seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali 'Imran/3:14 dan Maryam/19:59.
Ketiga, berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-A'raf/7:81, dan QS. al-Naml/27:55.
            Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut al- Qur’an, di dalam diri manusia terkandung dorongan-dorongan yang mendesak manusia untuk melakukan hal-hal yang memberikan kepada kepuasan seksual, kepuasan kepemilikan, kepuasan kenyamanan dan kepuasan harga diri.
            Orang-orang yang menapaki jalan Allah, dari bermacam-macam aliran (thariqat) dan suluk mereka, telah bersepakat bahwa nafsu insaniah itu sebagai penghalang bagi hati insani untuk mencapai Tuhannya. Hidayat Allah tidak akan menembus dalam sanubarinya, sebelum ia berhasil menundukkan bahkan melenyapkan hawa nafsunya.

B.       Macam-macam Syahwat
            Dalam kajian tasawuf-akhlak, nafsu itu lazim dibagi ke dalam dua kategori:
            Pertama adalah nafsu marah (nafs gadabiyyat), yakni nafsu yang mendorong orang untuk marah atau benci kepada apa saja yang mengganggu atau berbahaya bagi kehidupannya. Karena adanya nafsu marah itu, ia berupaya menyingkirkan gangguan atau bahaya itu, dan kalau ia tidak mampu menyingkirkannya, ia akan didorong oleh nafsu itu untuk menyingkirkan diri sendiri, agar jauh dari bahaya itu. Kedua adalah nafsu senang (nafs syahwaniyyat), yakni yang mendorong orang untuk mendapatkan, memiliki, atau dekat dengan apa yang menyenangkan dirinya.
            Nafsu, yang keberadaannya vital bagi setiap manusia, bersifat buta, dan karena itu perlu dikembangkan serta dikontrol secara benar dan baik oleh akal atau ajaran agama. la dapat dimisalkan seperti sungai yang bisa mengalir tenang dan bisa meluap atau menghancurkan, dan karena itu perlu dikontrol dengan sistem bendungan dan irigasi yang baik, sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Nafsu yang tidak terkontrol dengan baik akan menghasilkan kerusakan, tapi yang terkontrol dengan baik, niscaya membuahkan kebaikan.
            Nafsu marah yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang berani dalam kebenaran. Sebaliknya, bila nafsu marah seseorang tidak dikembangkan niscaya menjadi manusia pengecut, atau kalau dikembangkan tanpa kendali, niscaya menjadi manusia nekad, yang merugikan diri sendiri.
            Nafsu senang (syahwat), yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang bersih (suci). Sebaliknya, ia akan jatuh menjadi manusia serakah (rakus), bila ia membiarkan nafsunya berkembang merajalela, tanpa kontrol, atau menjadi manusia beku, tak berselera, bila nafsu syahwatnya itu dibiarkan tak berkembang. Demikianlah, nafsu yang bersifat vital itu perlu dikembangkan oleh akal yang bijaksana, atau akal yang mendapat penerangan dari agama yang benar. Nafsu yang sering dikatakan senantiasa mendorong kepada kejahatan (nafs ammarat), tidak lain dari nafsu yang lepas dari kontrol akal yang bijaksana.[6]
            Kedua, mencintai kelezatan dunia. jika hati manusia ini sudah terbelenggu penyakit cinta dunia, kedudukan, popularitas, atau harta kekayaan, maka syahwat dan nafsunya yang secara alami cenderung pada kejelekan— akan mengendalikan hatinya agar menjadi budak bagi semua yang dicintainya. Bagaimana jika nafsu liar ini bebas memangsa dunia yang dicintainya? Akibatnya, bimbingan hati nurani atas semua jasad akan lepas. Tidak akan ada lagi hidayah yang membimbingnya, selain dorongan nafsu semata. Demikian halnya dengan pencinta popularitas, yang mendambakan setiap orang mengenal kebaikan atau kemahirannya, untuk mendapatkan status yang lebih tinggi di tengah masyarakat.[7]
            Penyakit hati yang satu ini akan menyebabkan munculnya penyakit-penyakit lain, seperti 'ujub (merasa paling hebat ibadahnya), riya' (sombong), dan terlalu bergantung pada amal kebaikannya sehingga lupa bahwa di antara kebaikannya tersimpan banyak kesalahan. Lebih parah lagi jika penyakit dunia dan status ini menyerang para pemuka agama. Agama akan dijadikan sarana untuk mengumpulkan materi dan merebut simpati massa, yang pada gilirannya akan mendorongnya menjadi budak nafsu yang menghalalkan segala cara.
            Akan tetapi, bagi mereka yang mendapatkan pemeliharaan dari Allah, tentu saja tidak demikian. Bagi mereka, dunia, kedudukan, dan popularitas duniawi yang didapatkannya tidak akan pernah menggusurnya hanyut dalam kerusakan; karena semua aspek duniawi yang mereka peroleh tidak pernah mendapat tempat di hatinya. Mereka bahkan berkuasa mengatur dan mengendalikan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi, para wali, dan para ulama yang saleh.[8]
            Seseorang yang terpanah cinta dunia menganggap kehidupan itu hanyalah apa yang dapat dilihat, didengar dan rasakan di dunia ini. Mereka dipermainkan oleh dunianya sehingga sebanyak-banyaknya mengumpulkan dan menghimpun seluruh materi dunia yang dia cintai. Banyak manusia yang menjadi buta dan dungu dengan tipuan dunianya. Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk meraih kemenangan dalam kompetisi duniawi yang segera akan berakhir dengan kematian, sementara dirinya lelah karena diperbudak dunia. Mereka selalu merasa belum mendapatkannya. Padahal mereka tidak merasakan apa pun selain bayangan fatamorgana yang menjanjikan kesegaran semu di tengah kehausan. Adanya larangan hubbud-dunya merupakan peringatan agar  setiap orang selalu waspada dalam menghadapi dan mengantisipasi seluruh problematika dan dinamika kehidupan di dunia.[9]
            Ketiga, syahwat dalam arti nafsu seks yang menyimpang atau free sex. Elisabeth Lukas, seorang logoterapis kondang, sebagaimana dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman mengatakan: salah satu prestasi penting dari proses modernisasi di dunia Barat, yakni melepaskan diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat, sekaligus berhasil meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan.[10] Di antaranya, yaitu pertama, “kebebasan seks dan peluang untuk melakukannya ternyata menjadikan fungsi hubungan seks bukan sebagai ungkapan cinta kasih melainkan sebagai tuntutan dan keharusan untuk berhasil meraih puncak kenikmatan; kedua, makin sering terjadi gangguan fungsi seksual pada pria dan wanita dewasa”.[11]
C.      Upaya Pengendalian Syahwat
            Seorang yang berakal perlu mengetahui bahwa menderita karena menahan keinginan lebih mudah dari menuruti keinginan itu sendiri. Dampak yang paling kecil yang dihadapi oleh orang-orang yang selalu mengumbar syahwatnya, mereka tidak dapat merasakan nikmatnya, karena tidak mudah melepaskan diri dari rasa ketergantungannya, karena ia telah menjadi kebiasaan hidup mereka, seperti kebiasaan bersetubuh dan mabuk-mabukkan. Berfikir jernih tentang masalah-masalah seperti itu dapat mempermudah manusia untuk mengendalikan syhwatnya. Termasuk juga, jika manusia memikirkan dirinya, maka ia akan menilai syahwatnya sebagai sesuatu yang hina, karena ia mengetahui bahwa ia dijadikan bukan untuk menyetujui segala keinginan syahwatnya. Sebab, seekor onta mampu makan lebih banyak dari seekor burung kecil, karena itu, seekor burung kecil lebih mampu menempuh perjalanan jauh dari seekor onta.
            Begitu juga, pada umumnya binatang dapat bebas mengumbar nafsunya, karena mereka tidak mempunyai fikiran yang pelik. Demikian juga, kalau seorang pandai mengendalikan nafsunya dan ia mengetahui berbagai kekurangannya, pasti ia sadar bahwa ia tidak diciptakan untuk mengumbar nafsunya.[12]
            Menurut Imam Yahya Ibn Hamzah, perkara terbesar yang sering mencelakakan manusia adalah nafsu perutnya. Nafsu itulah yang telah mengeluarkan Adam dan Hawa dari tempat abadi ke tempat penuh kehinaan, kerendahan, dan kebutuhan, ketika mereka berdua melanggar larangan agar tidak memakan buah dari suatu jenis pohon. Tetapi karena nafsu telah mengalahkan mereka, mereka tetap memakannya. Maka tampaklah aurat keduanya. Sesungguhnya perut adalah sumber nafsu itu, sekaligus merupakan asal mula semua malapetaka. Sedangkan nafsu seks, yang bersifat birahi hanya mengikuti nafsu perut.[13]
            Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bahwa cara menepis hawa nafsu ada lima puluh cara dan yang paling utama di antaranya ada sepuluh cara yaitu:[14]
a.       Harus ada semangat secara bebas agar muncul kecemburuan terhadap dirinya sendiri.
b.      Modal kesabaran untuk menghadapi masa-masanya yang terasa pahit.
c.       Kekuatan jiwa yang bisa mendorongnya berani menenggak kepahitan itu, karena keberanian merupakan kesabaran sesaat, dan sebaik-baik hidup adalah yang bisa diketahui seseorang berkat kesabarannya.
d.      Mencermati secara baik akibat suatu kejadian dan mencari kesembuhan dengan menenggak kepahitan itu.
e.       Mengamati dan mempertimbangkan penderitaan yang semakin bertambah dari pada kenikmatan menuruti nafsu.
f.       Mempertahankan kedudukannya di sisi Allah dan di hati manusia. Ini lebih baik dan lebih bermanfaat baginya daripada kenikmatan karena mengikuti nafsu.
g.      Lebih mementingkan kenikmatan menjaga kehormatan daripada kenikmatan melakukan kedurhakaan.
h.      Kesenangan mengalahkan musuh, mengusir dan menimbulkan kemarahannya. Sebab ia tak akan mendapatkan jaminan keamanan dari mereka. Allah senang jika hamba-Nya yang Mukmin menghindari musuh-musuh-Nya dan membenci mereka.
i.        Berpikir bahwa dia tidak diperuntukkan bagi nafsu, tapi dipersiapkan untuk suatu urusan yang besar. Urusan ini tidak akan diperoleh kecuali dengan memusuhi nafsu.
j.        Jangan membuat diri sendiri seakan-akan kondisi hewan lebih baik dari kondisinya. Dengan nalurinya, hewan bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.

            Sedangkan menurut Ghazâlî yang bisa menundukkan nafsu dan melunakkan kesenangan nafsu itu hanya tiga, yaitu:[15]
1.      Mencegah kesenangan nafsu. Karena, hewan tunggangan (kuda) yang nakal itu dapat melunak bila dikurangi makanannya.
2.      Membebani nafsu dengan ibadah yang berat-berat. Karena, khimar itu bila ditambah muatannya dan dikurangi makanannya maka menjadi tunduk dan menurut.
3.      Memohon pertolongan Allah Azza wa Jalla


IV.       KESIMPULAN
            Sumber segala dosa adalah syahwat perut, dan dari situlah timbul syahwat kemaluan. Dan Manusia akan menganggap baik setiap kejelekan yang datang dari diri (nafsu)nya dan hampir-hampir tidak dapat melihat celanya, padahal nafsu tetap memusuhi dan membuat madlarat. Tidak memakan waktu lama, nafsu itu tentu akan menjerumuskannya ke dalam keterbukaan aib dan kerusakan, sedangkan ia tidak merasa, kecuali jika Allah menjaganya dan menolongnya mengalahkan nafsu, dengan anugerah dan rahmatNya.


V.          PENUTUP
            Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik.Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman.Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Achmad, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid V, Dar al-Ma’arif.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 2002.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka, 1976.
Zain, Sutan Muhammad, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, tth.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Anggota IKAPI, 1992.
Al-Qorni, Uwes, Penyakit Hati, Bandung: Rosda Karya, 2003.
Al-Halwani, Aba Firdaus dan Sriharini, Manajemen Terapi Qalbu, Yogyakarta: Media Insani, 2002.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi islami, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995.
Jauziy, Al-Imam Ibnul, Terapi Mengatasi Penyakit Rohani, Rembang: Pustaka Anisah, 2003.
Yahya, Iman ibn Hamzah, Kiat-Kiat Mengendalikan Nafsu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Qayyim, Ibnu, 50 Cara Menepis Hawa Nafsu, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Dar al Falah, tth.
Imam Al-Ghazâlî, Minhaj al-'Abidin, Beirut: Dar-al-Fikri, tth.



[1] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 156
[2] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid V, Dar al-Ma’arif, hlm, 3432-3435.
[3] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 2002, hlm. 1114.
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka,, 1976, hlm. 985.
[5] Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, tth, hlm. 893.
[6] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Anggota IKAPI, 1992, hlm. 723
[7] Uwes Al-Qorni, Penyakit Hati, Bandung: Rosda Karya, 2003, hlm. 10 – 11.
[8] Ibid., hlm. 12.13
[9] Aba Firdaus Al-Halwani dan Sriharini, Manajemen Terapi Qalbu, Yogyakarta: Media Insani, 2002, hlm. 34 – 35.
[10] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi islami, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995, hlm. 192.
[11] Ibid.
[12] Al-Imam Ibnul Jauziy, Terapi Mengatasi Penyakit Rohani, Rembang: Pustaka Anisah, 2003, hlm. 21-22.
[13] Iman Yahya ibn Hamzah, Kiat-Kiat Mengendalikan Nafsu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 43.
[14] Ibnu Qayyim, 50 Cara Menepis Hawa Nafsu, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Dar al Falah, tth, hlm. 65 – 69.
[15] Imam Al-Ghazâlî, Minhaj al-'Abidin, Beirut: Dar-al-Fikri, tth, hlm. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar