BAB 1
PENDAHULUAN
Ditinjau secara bahasa, hadis maudhu’ merupakan bentuk isim
maf’ul dari وَضَعُ-وَضَعَ.
Kata “وَضَعَ” memiliki beberapa makna, antara
lain “menggugurkan”, misalnya kalimat عَنْهُالْجِنَايَةَوَضَعَ
(Hakim mengugurkan hukuman dri seseorang). Juga bermakna “meninggalkan”,
misalnya ungkapan مَوْضُوْعَةُإِبِلُ (Unta yang ditinggalkan di tempat
pengembalaannya). Selain itu juga, mempunyai makna “Mengada-ada dan
Membuat-buat”, misalnya kalimat الْقِصَّةَهٰذِهِفُلَانُوَضَعَ
(Fulan membuat-buat dan mengada-ngada kisah itu).
Jadi,
kita dapat menyimpulkan bahwa hadis maudhu’ adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan, maupun
taqrir-nya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dan dalam penggunakan
masyarakat Islam, hadis maudhu’ disebut juga hadis palsu.
1.
RUMUSAN MASALAH
A. gimana sejarah munculnya hadis maudhu’?
B. apa faktor-faktor penyebab munculnya hadis
maudhu’?
C. apa ciri-ciri hadis maudhu’?
D. apa hukum membuat dan meriwayatkan hadis-hadis
maudhu’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. sejarah munculnya hadis maudhu’
Sejarah masuknya hadis maudhu’ ini
merupakan akibat dari keberhasilan dhakwah Islamiyah ke seluruh plosok dunia,
yang masuknya secara massal penganut agama lain ke dalam Islam, secara tidak
langsung menjadi faktor munculnya hadis-hadis palsu. Pada dasarnya mereka masuk
ke agama Islam karena disamping ada yang benar-benar ikhlas tertarik dengan
ajaran Islam yang di bawa oleh para da’i, ada juga golongan dari mereka yang
dikenal dengan kaum munafik ini, adalah golongan yang menganut agama Islam
dikarenakan terpaksa tunduk pada kekuasaan Islam pada waktu itu.
Golongan munafik tersebut senantiasa
menyimpan dendam dan dengki terhadap Islam dan penganutnya. Mereka senantiasa
menunggu peluang yang tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati
orang-orang Islam.
Datanglah waktu yang ditunggu-tunggu
oleh mereka, yaitu pada masa pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan (w. 35 H).
Golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama.[1] Salah seorang tokoh penganut
Yahudi yang menyatakan telah memeluk Islam adalah Abdullah bin Saba’, ia adalah
tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan.
Dengan bertopengkan pembelaan kepada
Sayyidina Ali dan ahli Bait, ia menjelajah ke segenap plosok untuk menabur
fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali (w. 40 H) lebih berhak
menjadi kholifah darpada Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar (w. 13
H) dan Umar (w. 23 H). Hal itu karena, menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan
wasiat dari Nabi SAW. Lalu, untuk mendukung propaganda tersebut, ia membuat
hadis maudhu’ (palsu) yang artinya, “Setiap Nabi itu ada penerima
wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali”.[2]
Namun, penyebaran hadis maudhu’ pada
masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup
dan mengetahui dengan penuh yakin kepalsuan suatu hadis. Sebagai contoh,
Sayyidina Utsman, ketika beliau mengetahui hadis maudhu’ yang dibuat
oleh Ibnu Saba’, beliau mengambil tindakan dengan mengusir Ibnu Saba’ dari
Madinah. Begitu juga, yang dilakukan oleh Sayyidina Ali setelah beliau menjadi
khalifah.[3]
Para sahabat ini mengetahui bahaya
dari hadis maudhu’ karena ada ancaman yang keras yang dikeluarkan oleh
Nabi SAW. terhadap orang yang memalsukan hadis, sebagaimana sabda Nabi SAW., “Barang
siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, dia telah menempah tempatnya di
dalam neraka.”[4]
Walaupun begitu, golongan ini terus
mencari-cari peluang yang ada, terutama setelah terjadinya pembunuhan Utsman. Kemudian,
muncul golongan-golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela atas
kematian Utsman, golongan yang mendukung Ali, dan golongan yang tidak memihak
kepada golongan kedua. Kemudian untuk memengaruhi orang banyak supaya memihak
kepada golongannya masing-masing, orang-orang munafik dari masing-masing
golongan tersebut membuat hadis palsu yang menunjukkan kelebihan dan
keunggulannya.[5]
Diriwayatkan oleh Imam Muslim (w.
261 H) dari Tawus (w. 106 H) bahwa pernah suatu ketika dihadapkan Ibnu Abbas
(w. 68 H) suatu kitab yang di dalamnya mengandung keputusan-keputusan Ali radhiallahu
‘anhu. Lalu, Ibnu Abbas menhapusnya, kecuali sebagian kecilnya (yang tidak
dihapus). Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) memperkirakan bagian yang tidak dihapus
itu sekitar sehasta.[6]
Walaupun begitu, tahap penyebaran
hadis-hadis maudhu’ pada masa ini masih lebih kecil, karena masih banyaknya
tabiin yang menjaga hadis-hadis dan menjelaskan di antara yang lemah dan yang
sahih.
B. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB MUNCULNYA HADIS MAUDHU’
Terdapat berbagai faktor yang
menyebabkan hadis maudhu’ ini muncul, antara lain sebagai berikut.
1.
Pertentangan Politik
dalam Soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan umat Islam timbul
setelah terjadi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan, bnyak pemberontakan saat kekhalifahan
digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Umat Islam pada masa itu terpecah
belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela
terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang mendukung kekhalifahan
Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang siffin, muncul pula beberapa golongan
lainnya, seperti Khawarij dan pendukung Muawiyyah (w. 60 H).[7]
Golongan-golongan tersebut, untuk
mendukung golongannya masing-masing, dan golongan Syi’ah dan Rafidhah mereka
membuat hadis maudhu’ (palsu) yang paling banyak.
Hadis maudhu’ yang di buat
orang-orang syi’ah adalah untuk keutamaan-keutamaan ‘Ali dan Ahli Bait. Dan
juga bertujuan untuk mencela dan menjelek-jelekkan Abu Bakar r.a. dan ‘Umar
r.a.
Contoh hadis maudhu’ yang dibuat
oleh golongan Syi’ah adalah,
عِبَادَتِهِفِىعِيْسَىوَإِلَىهَيْبَتِهِفِيْمُوْسَىوَإِلَىحِلْمِهِفِىإِبْرَاهِيْمَوَإِلَىتَقْوَاهُفِىنُوْحِوَإِلَىعِلْمِهِفِىأَدَمَأَرَادَأَيَنْظُرَإِلَىمَنْ
.عَلِيِّإِلَىفَلْيَنْظُرْ
“Barang siapa yang ingin melihat Adam
tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin
melihat Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang
kehebatannya, ingin melihat Isa tentang Ibadahnya, hendaklah ia melihat Ali.”
2.
Adanya Kesengajaan dari
Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini merupakan golongan Zindiq, Yahudi, Masuji, dan Nashrani yang
selalu menyimpan dendam terhadap agama
Islam. Golongan ini tidak mampu melawan Islam secara terbuka yang kemudian
mereka mengambil jalan yang buruk ini. Membuat
hadis maudhu’ (palsu) dengan
jumlah yang besar untuk merusak ajaran Islam.
Faktor itu merupakan faktor awal
munculnya hadis maudhu’. Hal
iniberdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat
Islam dengan bertopengkan kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia
adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk agam Islam. Oleh sebab itu, ia
berani menciptakan hadis maudhu’ pada saat masih banyak sahabat utama masih
hidup.[8]
Tokoh-tokoh yang terkenal yang
membuat hadis maudhu’ dari kalangan orang Zindiq ini, adalah:
a.
Abdul Karim bin Abi
Al-Auja, telah membuat sekitar 4.000 hadis maudhu’ tentang hukum halal-haram.
Akhirnya, ia dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman, Walikota Bashrah;
b.
Muhammad bin Sa’id
Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur;
c.
Bayan bin Sam’an
Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin ‘Abdillah.[9]
Khlifah Al-Mahdy dari Dinasti Abbasiyah adalah Kholifah yang sangat keras
membasmi gerakan orang-orang Zindiq ini.
Contoh hadis maudhu’ yang diciptakan
oleh orang-orang Zindiq tersebut adalah,
.الْمُشَاةَنِقُوَيُعَاالرُّكْبَانَفِحُيُصَا،أَوْرَقِجَمَلِعَلَىرَبُّنَاعَشِيَّةَلُيَنْزِ
“Tuhan kami turun dari langit pada sore
hari, di ‘Arafah dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan
orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang berjalan.”
3.
Mempertahankan Madzhab
dalam Masalah Fiqh dan Masalah Kalam
Para pengikut mazhab fiqih dan pengikut ulama kalam, yang bodoh dan dangkal
ilmu agamanya, membuat pula hadis-hadis maudhu’ (palsu) bertujuan untuk
menguatkan paham pendirian imamnya.
Contoh dari mereka yang fanatik terhadap mazhab Abu Hanifah yang menganggap
tidak sah shalat, saat mengangkat kedua tangan di kala shalat.
.لَهُصَلَاةَفَلَاالصَّلَاةِفِىيَدَيْهِرَفَعَمَنْ
“Brrang siapa
mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, tidak sah shalatnya.”
Dan masih ada
hadis maudhu’ yang dibuat oleh golongan mutakallimin
mengafirkan orang yang berpendapat bahwa Al-Quran adalah ciptaan baru
(makhluk), yang disandarkan kepada Nabi.
4.
Membangkitkan Gairah
Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
Mereka membuat hadis-hadis palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau
dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui hadis tarhib wa targhib (anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang tidak
baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik), dengan cara
berlebih-lebihan.[10]
Seperti hadis-hadis yang dibuat Nuh ibn Abi Maryam tentang keutamaan
Al-Quran. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab,
“saya dapati manusia telah berpaling dari membaca Al-Quran maka saya membuat
hadis-hadis ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-Quran.”[11]
5.
Menjilat Para Penguasa
untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Mereka membuat hadis palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para
penguasa sehingga dari perbuatannya, mereka mendapat upah dengan diberi
kedudukan atau harta.
C. CIRI-CIRI
HADIS MAUDHU’
Para ulama Muhaditsin, di samping
membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui sahih, hasan, atau dhaif suatu hadis,
merka juga membuat ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadis.
Ciri-ciri ke-maudhu’-an suatu hadis dapat dilihat pada sanad dan matan.
1.
Ciri-ciri yang Terdapat
pada Sanad
a.
Rawi tersebut terkenal
berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang yang terpercaya yang meriwayatkan
hadis dari dia.[12]
b.
Pengakuan dari si pembuat
sendiri,
c.
Kenyataan sejarah, mereka
tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang rawi bahwa ia
menerima hadis dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru
tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun
Ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadis dari Hisyam Ibn Amr kepada
Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?”. Ma’mun
menjawab, “Pada tahun 250 H.” Mendengar
itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”[13]
d.
Keadaan rawi dan
faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadis maudhu’.
2.
Ciri-ciri yang terdapat
pada Matan
a.
Keburukan Susunan Lafazhnya
Ciri hadis ini akan kita
ketahui setelah kita mendalami ilmu Bayan. Dengan mendalaminya kita akan
merasakan susunan kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi SAW., dan mana
yang tidak mungking keluar dari mulut Nabi SAW.
b.
Kerusakan Maknanya
1.
Karena berlawanan dengan
akal sehat, contoh hadis :
.رَكْعَتَيْنِبِلْمَقَامِسَبْعًاوَصَلَّتْبِالْبَيْتِطَافَتْنُوْحٍِسَفِيْنَةَإِنَّ
“sesungguhnya bahtera Nuh
berthawaf tujuh kali keliling Kabah dan bersembahyang di maqam Ibrahim dua
rakaat.”
2.
Karena berlawanan dengan
hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan,
3.
Karena bertentangan
dengan ilmu kedokteran, contoh hadis :
شَيْءٍِكُلِّمِنْشِفَاءٌُاَلْبَاذِنْجَانُ
“Buah terong itu penawar bagi segala penyakit.”
4.
Karena menyalahi
undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal terhadap Allah. Akal menetapkan
bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluknya.
5.
Kerena menyalahi
hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadis yang menerangkan bahwa
‘Auj ibn ‘Unuq mempunyai panjang tiga ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya
dengan air bah, ia berkata, “Bawalah aku ke dalam piring mangkukmu ini.” Ketika
topan terjadi, air hanya sampai ke tumitnya saja. Kalau mau makan, ia
memasukkan tangannya ke dalam laut, lalu membakar ikan yang diambil-nya ke
panas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.[14]
6.
Karena mengandung
dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali,
7.
Bertentangan dengan
keterangan Al-Quran, hadis mutawatir,
dan kaidah-kaidah kulliyah.
Contoh hadis maudhu’ yang
maknanya bertentangan dengan Al-Quran adalah,
.أَبْنَاءٍِسَبْعَةِإِلَىالْجَنَّةَالزِّنَالَايَدْخُلُوَلَدُ
“Anak zina itu tidak dapat masuk surga samapi tujuh
turunan.”
Hadis ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-Am’am
(6):164,
164. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal
Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu
kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa
seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain atau masing-masing memikul
dosanya sendiri-sendiri.
8.
Menerangakan suatu
pahala yang sangat besar terhadap
perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap
suatu perbuatan yang kecil.
Contohnya, yaitu:
يَسْتَغْفِرُوْنَلُغَةٍأَلْفِسَبْعُوْنَلِسَانٍأَلْفِسَبْعُوْنَئِرًالَهُطَاالْكَلِمَةِتِلْكَمِنْاللهُخَلَقَإِلَّااللهُلَاإِلٰهَقَالَمَنْ
.لَهُ
“Barang siapa mengucapkan tahlil (la ilaha
illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai
70.000 lisan, dan setiap lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun
kepadanya.”[15]
D.HUKUM MEMBUAT
DAN MERIWAYATKAN HADIS MAUDHU’
Umat Islam telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadis maudhu’
ini dengan sengaja hukumnya haram secara muthlaq,
bagi mereka yang sudah mengetahui hadis itu palsu. Adapun mereka yang
meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadis ini adalah
palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau membacakannya), tidak ada dosa
atasnya.[16]
Mereka yang tidak tahu sama sekali
kemudian meriwayatkan atau mereka mengamalkan makna hadis tersebut karena tidak
tahu, tidak ada dosa atasnya. Tetapi, sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadis yang dia ceritakn
atau amalkan itu adalah hadis palsu, hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau
tetap dia amalkan, sedangkan dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali,
hukumnya tidak boleh.[17]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khathib,
Muhammad ‘Ajjaj. 2003. Ushul Al-Hadits. Terj.
H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Rahman, Fatchur.
1974. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung:
Al-Maarif.
Wijaya, Utang Ranu. 1996. Ilmu
Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ash-Shiddieqy, M.
Hasbi. 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
[1]Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah. Al-Israiliyyat
wa Al-Maudhuat fi Kutup At-Tafsir. Hlm. 20.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Al-Imam An-Nawawi. Muqaddimah Shahih
Muslim bi Syarh An-Nawawi. Bab Taghliz Al-Kidzb ala Rasulillah Hadis
no. 3.
[5]Abdul Fatah Abu Ghudah. Lamhaat Min
Tarikh As-Sunnah Wa Ulum Al-Hadits. Hlm.45; Syahbah. op.cit. hlm.
20-21
[6]An-Nawawi. op.cit. hlm. 77.
[7]Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib. Ushul Al-Hadits. Terj. H.M. Qodirun dan
Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm. 353-354.
[8]Syahbah. op.cit. hlm. 20.
[9]Fatchur Rahman. Ikhtisar Musthalahul Hadist. Bandung: Alma’arif. 1974. Hlm.
180-181.
[10]Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996. Hlm. 193.
[11]M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakrata:
Bulan Bintang. 1987. Hlm. 254.
[14]Rahman. op.cit. hlm. 170.
[16]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Hlm. 187.
[17]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar